Kisah HTI, PKS, PAN dan Gerindra

Oleh : Mabroe MS

Judul diatas hanya mereproduksi cerita Perpu Ormas No 2 Tahun 2017 tentang Pembubaran HTI yang sempat digugat di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Sidang yang dipimpin Hakim Tri Cahya Indra Permana akhirnya menolak gugatan yang diajukan HTI dengan didampingi Prof Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukumnya. Gagal melakukan perlawanan hukum melalui meja Pengadilan, HTI pun menggalang dukungan di Senayan, DPR RI, antara lain melalui Fadli Zon (Gerindra) dan Fahri Hamzah (PKS, sebelum pindah partai).

HTI berharap agar Gerindra, PKS & PAN bisa menjadi penggalang kekuatan di Senayan untuk menolak pengesahan Perpu No 2 itu menjadi UU Ormas. Namun, upaya ini pun gagal di tengah jalan karena tujuh Fraksi (PDIP, Golkar, Nasdem, PPP, PKB, Demokrat, Hanura) menyatakan setuju pengesahan Perlu menjadi UU. Dari forum sidang paripurna, Selasa (24/10/2017) itulah nasib & masa depan HTI telah diputuskan oleh perwakilan rakyat Indonesia.

Oleh berbagai kalangan, pembubaran itu hanya menyentuh kulit luarnya saja karena berbagai kegiatan HTI seakan tetap berjalan seperti biasa, cuma nama forum dan majelisnya acapkali mengalami metamorfosis. Aparat mengaku tak punya payung hukum memadai untuk menerjemahkan UU tersebut dalam tindakan nyata. Apalagi HTI juga membawa arena perlawanan itu ke ranah publik sehingga sempat menimbulkan ketegangan sosial cukup serius. Bahkan dalam masa Pandemi seperti ini saja, aroma gerakan itu juga masih terasa dengan menebar isyu-isyu yang sudah usang.

Tentu, gerakan dan upaya HTI dalam menjalankan “dakwah politiknya” itu tak bisa sepenuhnya dipersalahkan karena mereka makin cerdik memanfaatkan panggung demokrasi yang selama ini mereka anggap “thoghut”. Apalagi Negara juga terlihat gamang menghadapi semua itu, bahkan terkesan justru lebih mendorong kelompok masyarakat sipil untuk menanggulangi. Akibatnya, gesekan-gesekan sosial di akar rumput akan semakin sulit dihindari, jika provokasi dibiarkan makin liar.

Sebagai sebuah ikhtiar, gerakan yang dilakukan HTI tentu mendapatkan lahan subur di alam demokrasi. Atas nama demokrasi, mereka mendapatkan panggung perjuangan untuk meningkatkan kekuatan HTI yang saat ini sudah mencapai 3,2% dari total warga Indonesia. Tapi mereka juga punya harapan besar dari berbagai komunitas muslim lain yang punya kesamaan chemistry dengan HTI yang jumlahnya cukup lumayan (9,2%) dengan cita-cita tentang Negara Islam.

Tapi situasi politik makin dinamis, termasuk PAN yang melepaskan diri dari bayang-bayang pendirinya, Amien Rais. Yang jadi pertanyaan, sepeninggal pak Amien dari PAN apakah garis politiknya tak berubah? Kenapa? Beda antara Bang Zulkifli Hasan dengan Pak Amien karena keduanya punya kisah kehidupan politik & keagamaan yang amat jauh berbeda. Bahkan Gerindra saja juga terkesan mengalami metamorfosis, pasca Prabowo bergabung ke Jokowi-KMA. Dengan kata lain, suara Fadli Zon tak lagi dianggap mewakili suara partai.

Sebetulnya, hiruk-pikuk khilafah dan HTI ini hanya digelorakan sejumlah orang saja, tapi mereka cukup militan dan tak pakai rasa malu maupun rasa sungkan. Mereka rajin ber-Medsos dan menggalang opini dari berbagai tokoh termasuk yang dalam kelompok 9,2% tadi. Meski terlihat hanya 3,2% atau 9,2%, tapi suara mereka cukup nyaring karena mereka rajin menyentuh relung emosi keagamaan publik. Pilihan-pilihan diksinya juga sangat fulgar sehingga acapkali sukses mempengaruhi persepsi sebagian masyarakat.

Semua ini merupakan buah dari penerapan demokrasi yang cenderung liberal dan kemajuan teknologi IT. Ruang dakwah makin variatif sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi kelompok mayoritas untuk menandingi teriakan-teriakan pro Khilafah. Dalam alam demokrasi, sepanjang tak melanggar ketentuan konstitusi, maka semuanya menjadi absah untuk dilakukan. Semoga negara sudah mempunyai panduan yang baku untuk menjaga & merawat eksistensi NKRI. Jika tidak, rasanya amat berat untuk mengajak balik kelompok 3,2% itu ke pangkuan NKRI. ###