Almarhum Candi Tuban Era Kediri-Majapahit Kini Jadi Kandang Kambing

 

Oleh : M. Dwi Cahyono

Bukan hanya manusia ada status “almarhum”,
Candi pun ada yang kini “almarhumah Candi”.
Candi Tuban adalah salah sebuah contohnya.
Petaka arkeolgis tahun 1967 melumatkannya.

A Almarhumah Candi Tuban di Masa Kini

Hanya berjarak kurang 1 Km dari keletakkan Candi Murigambar, konon ada ada arsitektur candi yang juga tersusun dari bahan bata, namanya adalah “Candi Tuban”. Meskipun kedua candi itu berada beda desa maupun beda kecamatan, yaitu : Candi Murigambar di desa Miri Gambar pada Kecamatan Sumber Gempol dan Candi Tuban di Desa Domasan Kecamatan Kalidawir, namun keduanta bertetangga dekat (tonggo teparo). Kedua candi itu berada di satu koridoor jslan desa. Candi Tuban di barat jalan, dan Candi Mirigambar di timur jalan. Tentu koridoir jalan itu adalah “jalan purba”, yang telah ada sejak era awal Kerajaan Kadiri (1049-1222 Masehi). Oleh karena itu, diantara keduanya dijumpai jejak-jeuak arkeologis, antara lain berbentuk lumpang batu (stone mortar) besar, sebaran balik batu dan bata, fragmen keramik dan herabah, sisa patirthan, dsb. Jejak arsitektur patirthan itu didapat di salah satu dan dua “kolam air pula (blumbang)” pada sisi barat jalan, yang menurut legenda lokal dikisah sebagai tempat keberadaan “Meliwis Putih” dalam kisah “Angling Darmo — nama arkhais “Aridharmma”.

Embrio Candi Tuban semestinya telah ada sejak era Kadiri. Mengingat bahwa di sisi utara (lor) Desa Domansan pernah ditemukan Prasasti Candi Tuban bertarikh 17 Mei 1129 Masehi — satu diantara enam prasasti era pemerintahan Baneswara (1117-1135 Masehi). Prasasti batu andesit (linggoprasasti) ini kini menjadi benda koleksi Museum Nasional, yang sejauh ini belum diedisikan (diterbitkan). Prasasti Candi Tuban adalahbyang tertua daru era Kadiri yang pernah diiketemukan di Tulungagung. Dalam kondisi sekarang, candi Tuban nyaris tidak tersisa, setah tahun 1967 — ketika sejumlah tempat di Jawa terkena “petaka arkeologsi” yang memusnahkan tidak sedikit candi — candi ini pun digempur warga. Bata-batanya dijadikan bagan urug alan, sebagaian lainnya dijadikan fondasi rumah. Yang kini masih ada tinggal beberapa bata kuno dan ambang atas pintu candi (doorpel). Adapun area dimana dulu Candi Taban berdiri, kini berubah wujud menjadi kandang kambing dan ayam seralta bangunan kolam ikan.

Candi Tuban kini benar-benar telah berstatus “almarhum”, dan tinggal merupakan cerita masa lalu bahwa konon pernah ada candi bernama “Candi Tuban” pada Desa Domasan. Beruntung Candi Mirigambar behasil selamat dan masih dijumpai jejaknya arsitekturalnya hingga sekarang — meski kondisinya sangat memprihatinkan. Candi Tuban adalah salsh sau contoh mengenaulu konflik politik yang berimbas ke budaya, berdampak vandalistik. Tentu amat disayangkan, dan semoga tak terulang kembali “kebodohan kultural” yang demikian itu. Kerinduann kita terhadap Candi Tuban hanya bisa terobati dengan mengamati foto dokurnenternya, yaitu ketika candi mungil ini masih tegak berdiri meskipu ketika itu belum diekskavasi.

B Sosok Candi Tuban di Masa Lampau

Pasca masa kerahaan Kadiri, utamanya pada masa Majapahit (1292-1527/28 Masehi) , relatif bersama waktu dengan pembangunan Candi Miriganmbar, Candi Tuban direnovasi, dengan bentuk dan ukuran yang serupa. Hal itu antara lain dapat diperiksa sosoknya pada foto dokumenter Oudhkundige Diest (OD) no.2481 tahun 1926, dimana terpampang Candi Tuban sebelum dieskavasi dan direstorasi. Sejumlah pohon tumbuh besar di permukaan atas kaki candi (basement). Perihal deskripsi arsitektur Candi Tuban didapati pada buku “Inleeding Hindoe Javaansche Kunst (IHKK)” karya N.J. Krom tahun 1923. Ukuran candi dipaparkan sebagai “seukuran” dengan Candi Miriganbar tetangganya. Keduamya bagaikan “candi kembar” yang dekatan, dan tentu dahulu di dalam satu konteks sosio-kultural Hindu.

Dengan adanya dua candi yang berdekatan — dan boleh jadi ada sebuah atau lebih candi yang lainnya, tergambar bahwa konon areal perbatasan dua desa (Migambar dan Domasan) ini merupakan “sentra kultura” semenjak era awal Kadiri hingga Majapahit. Adanya (a) temuan prasasti tembaga dekat Candi Mirigambar dari era Wikramawardhana (1389- 1427 Masehi), dan (b) keberadaan dua sumber air besar antara Candi Gambarwetan – Candi Tuban, menjadi bukti adanya kalkulasi ekologis untuk memilihnya sebagai areal permukiman. Walaupun berada di sub-areal selatan Tuluangagung, yang berdekatan dengan Pegunungan Kendeng — masyarakat lokal memyebutnya “Walikukun”, namun cukup layak dijadikan areal kegiatan keagamaan Hindu Saiwa.

Apabila pada candi Miriganbar dipahatkan relief cerita Tantri dan Cerita Panji — Lydia Kieven (2017) mengidentifikasi sebagai “Panji Wasengsari”, maka mrnilik foto OD tahun 1920-an yang menggabarkab relief perempuan naik ikan, sangat mungkin arelief di Candi Tuban adalah “Sri Tanjung”. Apabila benar reliefnya Sri Tanjungg, hal ini menjafi bukti bahwa Candi Tuban mempetilatkan ndikator masa dari era Majapahit. Begitu juga dengan Candi Mirigambar, dimana terdapatya relief Cerita Panji (Wasengsaari) enjadi indikator muasal masanya dari Majapahit. Memang, baik relief cerita Panji ataupun Sr Tanjung acap kedapatan pada candi dari Masa Majapat. Bahkan, pada Pendapa Teras II Penataran, yang berasal dari era Keemasan Majapahit, kedua relief ini hadir bersamaan di Prndapa Teras II. Malahan, Th. G. Th. Pigeaud (1967-1970, I:209) kategorikan cerita Sri Tanjung sebagai ‘Cerita Panji Minor”. Jjak kisah “Angling Darmo (Aridharmma)” tidak didapati baik pada Candi Muriganbar ataupun Candi Tuban. Akuh-aluh, kisah ini hanya hadir dalam tradisi lisan setempat.

Kedua candi ini, yakni Candi Muriganbar dan Candi Tuban), hanyalah sebagian dari bamyak candi yang terdapat di sub-area selatan Tuklungavung. Latar keagamaan dari candi, gua pertapaan, dan situs- situs lain di Tulungagung selatan beragam. Ada yang berlatar Hindu Saiwa, ada yang Mahayana Budglhisme, dan terdapat pula yang berlatarkan agama Rsi. Tempat -tempat peribadatan beragam agama itu berada berdekatan, sehingga menjadi pembukti tentang adanya “terolerans kehidupan beragama” pada mass lalu dii kawasan ini, atau menjadi petunjuk tentang “hidup berdampingan secara damai”. Jadi, Tulungagung selatan tidak hanya kaya tinggalan purbakala, namun sekaligus merupakan khasanah budaya yang beragam dan bertoleransi satu dana lain.
.
C. Areal Perebutan antara Kadiri dan Jenggala

Candi berbahan bata, yang reruntuhannya terbilang dekat dengan Candi Mirigambar dan Candi Tuban adalah Candi Ampel diJoho Kecamatan Kalidawir. Jejak arsitektur era Hindu-Buddha berbahan bata juga Jumpai di Kecamatan Ngunut, dimana pada Desai Sumber ingin Kidul didapatkan prasasti bertarikh 14 April 1204 Masehi. Pada sub-area selatan Tulungagung terdapat fenomena bahwa tinggalan arkeologi, baik artefatual maupun tekstual (prasasti), kedapatan berderet dari Boyolangu ke arah Sumbergempol-Kalidawur, Ngunut selatan hingga Rejotangan selatan. Hal ini menjadi petunjuk adanya “jalan purba” di lembah utara Pegunungan Walikukun, yang dulu menghubungkan desa-desa kuno semenjak era Kadiri hingga Majapahit

Areal DAS Brantas maupun apitan antara seberang selatan Brantas dan sisi utara Pegunung Kendeng ini telah menjadi permukiman cukup ramai pada eranya Pada akhir pemerintahan Kadiri, areal ini menjadi perebutan antara dua kerajaa (Kadiri dan Jenggala) untuk ditempatkannua dalam kekuasaan kerajaannnya. Nampaknya, Kadiri lebih mampu cengkeramkan kekuasaan kerajaannya. Kuatnya pengaruh Kadiri pada kawasan ini lantaran telah semenjak masa pemerintahan Raja Bameswaea (prasasti Tapan I berarikh 11254 Masehi dan Candi Tuban tahun 1129 Masehi), Jayabaya (kroogran bertarikh 11336 Masehi di Pulotondo dan prasasti Tapan II berarikh 1136 Masehi), raja Sarweswara (krogram pada sandaran belakang arca di Goa Tritis bertarikn1160 Masehi), dan kemudian raja Srengga (Kertajaya, Dandang Gendis, antara tahun 1194 -1222 Masehi), dari waktu ke waktu berada dibawah kekuasaan Kadiri. Bentang areakdari Trenggalek- Tulungagung-Blitar riil berada di bawah kuasa Kadiri, sementara ujung barat di Ponorogo dan ujung timur di Malang berada dalam kekuasaan Jenggala. Ada pertatungan sengit dari kedua kerajaan itu untuk perebutkan bentang area antara Ponorogo – Malang.

Terkait dengan pengaruh kerajaan Kadiri di sub-area selatan Tulungagung itu, prasasti Candi Tuban dan Candi Tuban adalah salah pembuktinya. Sayang sekali, prasasti Candi Tuban belum diedisikan dan dikaji tuntas. Demikian pula Candi Tuban telah raib abadi. Dengan kondisi yang demikian itu, maka upaya untuk singkaprkan pengaruh Kadiri di areal itu menjadi terkendala. Jika dulu areal sekitar Candi Tuban menjadi areal perbuat kekuasan dari dua kerajaan (Kadiri dan Jenggala), pada tahun 1960an ketika terjadi perebutan kekuasaan di NKRI, maka tak pelak Candi Tuban pun turut menjadi korban, diraibkan keberadaannya. Apbila dahulu terdapat “toleransi” antara penganut Hindu, Buddha maupun agama Rsi di sub-area selatan Tulungagung, yang terjadi pada medio 1960-an itu adalah “intoleransi”, yakni menhancurkan tinggalan budaya, yakni candi, tempat peribadatan pada mass lampau.

Demikianlah tulisan ringkas bersahaja mengenai Candi Tuban. Salah sebuah peninggalan budaya berupa candi, yang kini benar-benar menyandang status “almarhum candi”. Semogalah memberikan kefaedahan. Semogalah pula kejadian buruk yang dulu pernah menimpanya tidak terulang kembali pada tempat peribadatan lain, bsik yang adalah tinggalan masa lalu atau yang ada kini. Nuwun.

Sangkaling, 18! April 2020
Griya Ajar CITRALEKHA

Catatan : Foto Unggahan dari Riyan Dhamma
pada FB nya.