Pamulang-menara madinah.com-Kasus penganiayaan yang menimpa Audrey (14 tahun) telah menyita perhatian publik. Kasus ini bahkan mendapat perhatian luas di media sosial hingga muncul tagar #JusticeForAudrey yang sempat menjadi trending nomor 1 dunia pada Selasa (9/4).
Publik tentu geram kepada para pelaku yang sepertinya tidak menyesal atas perbuatan yang mereka lakukan. Publik juga terkejut mengapa kasus seperti yang dialami Audrey bisa terjadi. Sebagai akademisi, saya terpanggil untuk urun rembuk dalam penanganan kasus Audrey itu.
Pertama, penanganan kasus Audrey itu harus mengedepankan restoratif justice atau keadilan restoratif. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) telah mengadopsi perspektif keadilan restoratif. Sehingga penanganan kasus Audrey harus dibingkai dengan UU SPPA. Selain itu baik korban dan pelaku merupakan anak-anak.
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Pendekatan keadilan restoratif bertujuan melindungi kepentingan anak, terutama anak yang menjadi korban kekerasan dan anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam pendekatan keadilan restoratif, penghukuman bagi pelaku bukan untuk pembalasan. Penghukuman adalah bagian dari pengajaran, karena itu perlu bersifat proporsional dan solutif. Tujuannya adalah agar anak memahami apa yang dilakukannya adalah salah, menyesali apa yang ia lakukan, dan menginternalisasi agar kejadian serupa tidak boleh ia ulangi.
Karena telah mengadopsi perspektif keadilan restoratif, dalam UU SPPA dikenal istilah “diversi” atau penyelesaian dengan proses luar peradilan pidana. Diversi tidak dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari pertanggungjawaban hukum, melainkan menemukan model penyelesaian yang tepat.
Pelaksanaan diversi mengharuskan mengedepankan kepentingan korban dan harus memperoleh persetujuan dan kesepakatan dari korban dan keluarganya. Dengan demikian, tidak boleh ada pemaksaan, intimidasi maupun tekanan bagi keluarga dan korban untuk menyetujui dan menyepakati diversi. Diversi hanya dapat dilakukan terhadap perbuatan yang ancaman pidananya kurang dari 7 tahun. Berapa tahun ancaman bagi pelaku dalam kasus Audrey?
Kedua, UU SPPA telah dengan tegas menentukan prosedur khusus untuk menangani kasus anak berhadapan dengan hukum. Prosedur itu harus dengan ketat dilaksanakan dalam penanganan kasus Audrey, sehingga tujuan dari proses hukum ini dapat tercapai. Rasa geram kita janganlah sampai membuat para pelaku kehilangan hak-haknya sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana.
Lalu, hukuman apa seperti apa yang dapat membuat para pelaku memahami dan menyesali perbuatannya? Penjara hanyalah salah satu bentuk pidana pokok dan jikalau pun itu yang dijatuhkan, bagaimana proses pembelajaran di dalam penjara dapat membuat pelaku jera? Sudah siapkah infrastruktur untuk proses pembelajaran itu?
Terakhir, perlu dicatat, menempatkan penghukuman anak secara proporsional tidak berarti mengabaikan kepentingan korban. Selain itu, perhatian kita pada pemulihan korban dan pemidanaan pelaku sepatutnya sebanding dengan perhatian kita untuk mencegah peristiwa berulang kembali di masa yang akan datang.
Halimah Humayrah Tuanaya; Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Pamulang (HP. 081296074961)
Koresponden MM.com