Oleh: Wawan Susetya
“Sesungguhnya yang dimaksud kaya itu
bukanlah kaya harta, tetapi kaya hati.”
(HR Bukhari).
Ketika Bung Karno, Presiden RI pertama, membangun Tugu Monas dan Masjid Istiqlal Jakarta, tentu bukan tanpa maksud. Begitu pula dengan pembangunan Gedung MPR RI di Senayan Jakarta. Semua mengisyaratkan kaya makna; metafor dan perlambang yang substantif.
Dilihat dari bentuknya, Tugu Monas adalah lambang kejantanan, sedangkan Masjid Istiqlal adalah lambang perempuan. Sebagaimana pula prasasti peninggalan sejarah di zaman Hindu-Budha dulu—yang banyak ditemukan sekarang—yakni; lingga dan yoni yang kental sekali dengan pengejawantahan simbolisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Simbol laki-laki dan perempuan, dalam kehidupan ini memang sangatlah penting. Sebab, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dirajut dalam ikatan kokoh dalam perkawinan akan melahirkan generasi umat manusia sejak zaman Nabi Adam-Siti Hawa sampai sekarang. Bisa dibayangkan, misalnya, jika tak ada jalinan hubungan antara laki-laki dengan perempuan—dalam ikatan perkawinan—maka kehidupan ini akan mengalami kepunahan. Itulah pentingnya nafsu dalam diri manusia—khususnya yang menyangkut syahwat seksual—yang diberikan Tuhan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula dengan nafsu makan pada manusia, hal itu juga bermakna untuk melanggengkan re-generasi umat manusia dalam kehidupan.
Yang patut dijadikan perenungan adalah semua bentuk kenikmatan—entah seksual atau nikmatnya makan dan minum—sebenarnya hanya berlangsung sebentar saja. Jika seseorang terjebak ke dalam nuansa syahwat tadi, misalnya melakukan zina—melakukan hubungan intim bukan dengan isteri yang sah—atau makan dan minum yang berlebihan termasuk minum-minuman keras, tentu akan mendapatkan dosa besar, sebab telah melanggar rambu-rambu yang sudah jelas di dalam kitab suci-Nya.
Simbolisasi Gedung MPR
Gedung MPR di Senayan Jakarta, bentuknya seperti keong emas; sebangsa siput, bekicot (king-king), kol, atau sejenisnya. Hewan-hewan tersebut, sejak lahirnya, memang telah memiliki keunikannya; yakni memiliki rumahnya sendiri. Jelas hal tersebut berbeda dengan makhluk hidup lainnya, hewan-hewan yang lain, termasuk manusia yang telanjang bulan ketika dilahirkan.
Rupanya, ‘rumah’ yang dimiliki oleh keong emas, siput, bekicot (king-king), kol, dan sebagainya itu merupakan metafor dari dalam perjalanan ruhaniah manusia sebagai sesuatu yang boleh dikatakan sebagai ‘kaya jiwa’ atau ‘kaya hati’.
Hal itu senada dengan pengertian kaya menurut Rasulullah Saw yang menjelaskan melalui sabdanya: “Sesungguhnya yang dimaksud kaya itu bukanlah kaya harta, tetapi kaya hati.” (HR Bukhari).
Dengan bahasa sederhana, barangkali bisa diungkapkan—sebagai pelajaran—bahwa manusia yang tidak kaya hati masih kalah jika dibandingkan dengan keong emas, siput, bekicot (king-king), kol dan sebagainya. Entah, siapa perencangnya, dengan demikian Gedung DPR/MPR RI—yang dimaksudkan sebagai rumah rakyat—sangatlah tepat, asalkan para ‘penghuni’-nya (para wakil rakyat) memiliki kepekaan nurani terhadap tugas yang diembannya.
Wacana Spiritual Mengenai Bekicot (King-King)
Ketika penulis bertandang ke rumah salah seorang beguron—seorang tokoh spiritualis yang banyak menggali ayat-ayat alam; yang rumahnya di desa terpencil jauh dari kota—penulis mendapat penjelasan yang unik mengenai bekicot (king-king) dan kol.
Menurut tokoh spiritual tadi, bekicot (king-king) tersebut sebenarnya menggambarkan sosok spiritual yang telah bek (Bhs Jawa: penuh)—sesuai kadar ukurannya masing-masing, mungkin se-gelas, se-cerek, se-gentong, se-sumur, atau se-laut—sehingga jika puluhan, ratusan, ribuan bekicot dikumpulkan dalam satu tempat akan berangkulan dan bermesraan. Bahkan, mereka akan bekerja sama atau bersinergi untuk keluar dengan cara merobohkan penutup suatu tempat (bak). Mereka saling menjulurkan ‘orang’-nya—yang dikeluarkan dari ‘rumah abadi’-nya untuk melakukan kerja sama seperti itu. Tidak ada pertengkaran dan permusuhan. Yang ada adalah kedamaian dan kerukunan. Bukankah Allah Swt telah menyatakan “Layukallifullahu nafsan ila wus’aha” (Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya).
Sedangkan kata cot (dari bekicot) yang berakhiran huruf t (T); berarti titis, tanggon, tangguh dan seterusnya yang bermakna cerdas dan perkasa. Bahkan, dilihat dari hurufnya saja (T) sudah bermakna sifat yang adil (berkeadilan), sebab bentuknya bagaikan sebuah timbangan.
Itulah sebabnya, bekicot disebut juga dengan king-king. Dalam Bahasa Inggris, kata king berarti Raja. Padahal, ada dua kata king dalam king-king atau king kuadrat; layaklah ia disebut dengan Raja Diraja. Mengapa disebut Raja Diraja? Ya, sebab hatinya telah penuh dengan kalam Ilahi, muatan spiritualitas dan berkepribadian. Wajar pula jika mereka—bekicot-bekicot itu—tidak ada yang saling menyalahkan dan saling klaim kebenaran seperti kebanyakan para tokoh wakil rakyat di Gedung DPR/MPR di Senayan. Para wakil rakyat yang mestinya menggambarkan aspirasi dan suasana hatinya rakyat, karena terlalu kebablasan, sehingga diberi predikat oleh Gus Dur sebagai “TK” dan “Play Group”.
Demikian halnya dengan kelebihan pada kol; yang sejenis pula dengan bekicot atau keong. Barangkali, masyarakat pada umumnya sering mendengar istilah ‘kol buntet’; bebatuan yang bentuknya mirip seperti kol. Sayangnya, masyarakat umum menyalah-artikan dengan makna yang kurang tepat, misalnya sebagai jimat atau ajian kekebalan. ‘Kol buntet’, biasanya, digambarkan secara berlebihan (vulgar); misalnya jika membawa ‘kol buntet’ tak akan mempan ditembak atau kebal di-bacok dengan senjata tajam. Menurut tokoh spiritual tadi, bukanlah demikian maknanya. Sesuai dengan namanya ‘kol buntet’ (buntet identik dengan menggenggam atau tergenggam tangannya), sehingga tidak ada nuansa kesombongan seperti itu. Yang ada, bahkan, adalah bentuk kerendahan hati (tawadhu’), andhap asor, kearifan, dan tidak menonjolkan kepongahannya.
Dengan keadaan seperti itu, bahkan mungkin bukan hanya para wakil rakyat saja yang harus kembali belajar seperti bekicot (king-king) atau seperti ‘rumahnya’ di Senayan (keong emas) yang berkepribadian penuh nuansa spiritual, tetapi juga tokoh negarawan, cendekiawan, tokoh pers, tokoh politik dan pimpinan parpol dan seterusnya.
Siapa tahu, dengan menggali kembali serta mengoptimalkan peneladanan makna-makna ayat-ayat alam yang tergelar di jagad raya tersebut, kita semua bisa mengembalikan citra bangsa ini seperti sedia kala. Dan, yang utama adalah mengurangi murka Tuhan kepada bangsa yang banyak terkenal melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) ini. Siapa tahu?
*