Sayyidina Umar Yang Temperamental

Oleh : Gus Ulil Abshar Abdalla

Khalifah kedua setelah wafatnya Kanjeng Nabi, yaitu Umar bin Khattab, dikenal sebagai sosok dengan beberapa ciri menonjol: kemampuan melihat sesuatu di masa depan (far-sighted), ketangkasannya membaca situasi dan megambil keputusan yang tepat (contoh: usul untuk mengumpulkan Qur’an yang semula terserak dalam sebuah mushaf atau buku yang menyatu), dan sikapnya yang adil.

Walhasil, secara garis besar, dia adalah sosok yang sangat kuat karakternya. Dan dialah sosok paling penting setelah Nabi yang benar-benar “mengubah” sejarah Islam: dari Islam yang hanya menjadi agama di kawasan Arab saja menjadi “global religion”.

Salah satu karakter Umar yang lain adalah wataknya yang ceplas-ceplos, terus terang, tanpa tedeng aling-aling, bahkan cenderung temperamental. Kalau disepadankan dengan orang-orang Jawa, kira-kira Sayyidina Umar mirip masyarakat pesisir yang suka ceplas-ceplos — agak mirip dengan “arek Suroboyo.”

Salah satu peristiwa yang menggambarkan karakternya ini adalah sebuah kisah yang dituturkan dalam “Al-Muwatta'”, kitab kumpulan hadis karya Imam Malik (w. 795 M), pendiri mazhab Maliki. Kisah ini diriwayatkan melalui Muhammad ibn Sirin (w. 729 M), seorang tabi’in besar yang dikenal sebagai ahli tafsir, hadis, dan fikih. Selain itu, dia juga dikenal sebagai sarjana pertama dalam sejarah Islam yang mengembangkan ilmu “menafsir mimpi” (ta’bir al-ru’ya).

Inilah kisah yang dituturkan oleh Imam Malik melalui Ibn Sirin itu.

Suatu hari, Umar berada di sebuah perkumpulan orang-orang yang sedang membaca Qur’an. Kemudian, mendadak Umar meninggalkan jamaah itu, dan pergi ke “belakang”. Tak lama kemudian dia muncul kembali, setelah menunaikan hajat, dan meneruskan bacaan Qur’an-nya.

Seorang yang ada di sampingnya terheran-heran, dan menegur Umar: “Wahai amiral mukminin (presidennya orang-orang beriman), engkau membaca Qur’an begitu saja, tanpa berwudlu, padahal usai buang hajat?”

Dengan spontan, Umar kemudian menjawab: Siapa yang bilang kalau baca Qur’an harus berwudlu dulu? Musailamah?!”

Musailamah, kita tahu, adalah sosok yang hidup sezaman dengan Kanjeng Nabi dan mengaku sebagai nabi. Dia sempat mendapatkan banyak pengikut di kawasan Jazirah Arab sebelah timur, di luar daerah Hejaz (yakni: Makkah dan Madinah). Dalam sejarah Islam, sosok ini dikenal sebagai Musailamah Sang Pembohong (Musailamah al-Kazzab).

Jawaban Sayyidina Umar tersebut menggambarkan sifatnya yang ceplas-ceplos dan temperamental. Oleh Imam Malik, “atsar” atau tindakan Umar ini dijadikan sebagai salah satu hujjah atau argumentasi untuk berpendapat bahwa membaca Qur’an tidak dalam keadaan suci atau berwudlu. Dan inilah posisi mazhab Maliki.

Sekian.