Oleh : Mochammad Rifai*
Sudah tidak ada lagi perdebatan UN penting atau tidak. Presiden Joko Widodo telah menyatakan resmi bahwa UN tidak digelar mulai tahun ini. Silakan gembira. Silakan kecewa. Zaman sudah berubah. Dinamisasi kehidupan yang ditopang oleh teknologi sofistikasi berbasis internet nirkabel, memaksa harus berubah. Layanan serba on line, mau tidak mau harus adaptasi. Hari ini tidak melakukan update diri, sudah menjadi bagian dari masa lalu. Layanan pendidikan dan dengan modelnya akan ditinggal laju kereta perubahan jika bertahan di zona staqnan. Kurikulum sekolah setiap saat akan mengalami perubahan mengikuti dinamika perkembangan dunia. Tidak perlu lagi menunggu petunjuk pemerintah untuk melakukan perubahan dinamis kurikulum sekolah. Tuntutan sekolah tidak lagi fokus pada kekuatan prestasi akademik an sich.
UN menjadi tidak dibutuhkan lagi untuk standarisasi atau pemetaan mutu pendidikan pada skala nasional. Tuntutan peningkatan mutu tetap terus dikumandangkan dan ditargetkan. Tetapi tidak dalam bentuk yang selama ini diukur dari perolehan rata-rata nilai cognitif dalam UN. Tidak hanya persoalan boros biaya APBN, akan tetapi triliunan rupiah sia-sia karena kebermaknaannya (meaningfulness) dalam mengantarkan anak-anak secara pragmatis menjadi pribadi yang sukses, tidak siqnifikan. Bahkan pada kebanyakan siswa, menghadapi UN memerlukan uji nyali dengan beban psikologis yang menggetarkan. Orang tua, guru, pemerintah daerah, semuanya berdebar-debar saat UN digelar. Standarisasi kualitas pendidikan dengan perolehan nilai UN sebagai (patokan) konsensus nasional, yang terjadi bertahun-tahun telah terpasung daya kreasi pembelajaran di kelas. Bukan guru hebat kalau hasil UN yang diperoleh anak didiknya tidak bagus. Siswa seolah dijamin tidak memiliki masa depan jika nilai UN-nya jeblok. Kefavoritan sekolah, kehebatan kabupaten dan provinsi diukur dari perangkingan hasil UN. Akibatnya (dulu) nilai kejujuran dan sportivitas diabaikan demi mendapatkan pujian dari hasil UN yang wah. Sejarah buruk dunia pendidikan telah kita lewati.
Nilai out put yang berupa angka-angka itu tetap penting. Tetapi lebih bagus lagi nilai out come-nya, kompetensinya. Pertanyaan masyarakat terhadap lulusan pada suatu sekolah, bukan lagi pertanyaan apa yang kamu dapat, melainkan pertanyaan apa yang kamu bisa?
Pengaruh hasil survey di negara maju (Amerika Serikat) bahwasanya kesuksesan seseorang faktor prestasi akademik ada di urutan likuran, banyak orang mulai ragu dengan mengejar prestasi akademik. Pengetahun coqnitif di sekolah sebagai bentuk kesuksesan mengajarkan kurikulum, guru-guru mulai bimbang saat teori multiple intellengences Howard Gardner dan Antony Wilker lebih diyakini kebenarannya. Demoktarisasi pendidikan harus dijalankan. Potensi masing-masing anak berbeda-beda. Mereka berhak ditumbuhkembangkan potensi yang dimiliki. Mereka tidak bisa dilayani sama, dikomparasikan, dikompetisikan, kecuali kepada mereka yang punya talenta sama. UN tidak bisa melayani itu. UN memandang peserta didik secara coqnitif diasumsikan sama.
UN tiada satu kebijakan untuk membangun konsep merdeka belajar dan merdeka mengajar telah dimulai. Hantu UN sudah tidak lagi membayang-bayangi imajinasi semua pihak terutama siswa dan guru. Semangat belajar terus dipompa. Semangat mengajar ditingkat dengan berbagai metode yang cocok sesuai dengan perkembangan anak dan perkembangan teknologi. Tidak hanya persoalan akademik yang ditekankan dalam pembelajaran di kelas. Pembentukan kepribadian yang berkarakter tidak boleh dilengahkan. Ada 6 C yang menjadi tuntutan pembentukan karakter pada kurikulum abad milineal Rev. Industri 4.0. Pertama mengembangkan kecakapan critical thinking (berfikir kritis, suka bertanya). Kedua communication (cakap berkomunikasi). Ketiga colaboration (cakap membangun hubungan antarpihak). Keempat creativity (daya kreasi, banyak akal/kreatif). Kelima confidence (percaya diri yang kuat, tidak gampang minder, putus asa). Keenam computation (kecakapan membedah atau mengurai masalah sehingga menemukan akar persoalan dan sekaligus bisa menawarkan solusinya). Ketujuh compasion (cerdas hatinya; suka memberi, belas kasihan, peduli, berbagi kebahagiaan, empati dan simpati).
Silakan guru mengajar dengan model dan cara apapun. Dan silakan siswa belajar sesuai selera hati pilihan talentannya (potensi yang bisa dikembangkan). Bukan tidak penting prestasi akademik, tetapi menentukan lebih banyak jalan kesuksesan bagi mereka yang kompeten di bidangnya disertai dengan berkepribadian unggul, mengagumkan. Selamat menjadi pembelajar yang merdeka, sukses tanpa UN.
Penulis :Kepala SMA Negeri Taruna Santri Darussholah Singojuruh, Banyuwangi.