Menara.Madinah.com,”Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah,hai bangsaku!
Indonesia negriku
Engkau panji martabatku
S’yapa datang mengancammu
Kan binasa dibawah dulimu”.
Syair diatas adalah cuplikan lagu Yaa Lal Wathon/Syubhanul Wathon(Pemuda Cinta Tanah Air) yang diciptakan oleh KH.Abdul Wahab Chasbullah sepulangnya belajar di Tanah Suci Mekah,jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.Lagu Syubhanul Wathon yang sudah booming di kalangan santri dan umat Islam Indonesia tersebut liriknya berisikan nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme untuk menggelorakan semangat juang demi melawan dan mengusir penjajah dari nusantara.
Kyai Abdul Wahab Chasbullah yang sering disebut Mbah Wahab adalah seorang alim,aktivis pergerakan,jurnalis,tokoh penggerak berdirinya NU,pejuang dan ahli diplomasi.Beliau adalah putra dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Latifah,lahir di Tambakberas,Jombang pada 31 Maret 1888.Diwaktu kecil,Mbah Wahab dibina oleh ayahnya yang seorang pengasuh Pondok Tambakberas tentang ilmu-ilmu agama.Dibiasakan juga untuk sholat berjama’ah dan dibangunkan malam untuk Tahajud.
Beranjak dewasa,pendiri kelompok diskusi Tashwirul Afkar(Pergolakan Pemikiran) dan Madrasah Nahdhlatul Wathon tahun 1916 tersebut belajar di berbagai pesantren di Pulau Jawa ,mulai dari Pesantren Langitan(Tuban),Mojosari(Nganjuk),Cepoko Tawangsari(Surabaya),Kademangan,dan langsung berguru dengan Kyai Kholil Madura lalu ke Pesantren Tebu Ireng,Jombang.
Di usia 27 tahun,beliau pergi ke Mekah untuk berguru pada para ulama nusantara yang bermukim disana.Mereka antara lain:Kyai Mahfudh Termas(Pacitan),Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi,Kyai Bakir (Yogya) dan Kyai Asy’ari (Bawean).Disamping itu,beliau juga belajar dengan ulama yang bukan dari Indonesia.Misalnya Syaikh Sa’id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajunaid.
Kiprah beliau dalam pendirian Nahdhlatul Ulama begitu besar.Beliau menghimpun dukungan dari para kyai dan yang tak kalah pentingnya mencetuskan dasar-dasar kepemimpinan NU yang terbagi dalam dua badan yaitu Syuriyah dan Tanfidziyah.
Kisah spiritual mengiringi berdirinya Nahdhlatul Ulama 31 Januari 1926.
Sebelum NU berdiri,Mbah Wahab menulis surat untuk Sunan Ampel yang telah lama wafat,ditulis dengan Bahasa Arab.Surat itu tidak dilipat,namun digulung.Lalu dibungkus kain dan dimasukkan dalam makam Sunan Ampel di Surabaya.
Mbah Wahab berkata pada beberapa kyai dan pendereknya,”jika surat itu dalam 3 hari hilang dari tempat ia memasukkan ,berarti Sunan Ampel merestui berdirinya NU.
Setelah tiga hari memasukkan surat tersebut,Mbah Wahab ziarah lagi ke maqbaroh Sunan Ampel dengan rombongan yang lebih banyak.Ternyata surat tersebut tak berada ditempatnya lagi.Akhirnya Kyai Wahab pulang dan segera menghadap KH.Hasyim Asy’ari agar segera mendeklarasikan pendirian Nahdhlatul Ulama.
Mbah Wahab memiliki pertalian darah dengan para penyebar Islam di Tanah Jawa.Beliau mengidentifikasikan dirinya sebagai penerus langkah perjuangan Pangeran Diponegoro .Maka Mbah Wahab selalu menggunakan sebuah sorban yang dia sebut sebagai sorban Diponegoro ,simbol perlawanan terhadap ketidakadilan atau kedzaliman.Itu dipakai baik dalam acara keagamaan ataupun kenegaraan,dipadukan dengan kain sarung khas nusantara.
Pendiri ,jurnalis sekaligus penyandang dana beberapa majalah dan koran seperti Berita Nahdlatoel Ulama,Oetoesan Nahdlatoel Ulama dan Duta Masyarakat juga dikenal berilmu kanuragan tinggi hingga tak heran beliau pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin(Hizbullah).
Atas jasa dan pengorbanannya bagi bangsa dan negara yang luar biasa,Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menganugerahinya gelar”Pahlawan Nasional” dengan KEPPRES RI No.115/TK/TAHUN 2014 yang diterima ahli warisnya.
Sang kyai yang telah mendedikasikan hidupnya untuk umat,masyarakat dan negara wafat pada 29 Desember 1971 diusia ke-83.Beliau dimakamkan di Kompleks Pemakaman Bani Chasbullah dalam kawasan Pondok Pesantren Tambakberas ,Jombang.
Kontributor:Bro J,bertemu langsung dengan putra Mbah Wahab,KH.Hasib Wahab Chasbullah pada awal 7 Januari 2018 di kediaman beliau,Tambakberas.