Oleh : Machmud Suhermono
Sepintas antara work from home (WFH 1) dan work for home (WFH 2) hampir mirip, bahkan kedua kalimat itu hanya beda di huruf “m” saja, namun artinya beda jauh.
WFH yang pertama adalah kerja di/dari rumah. Hal ini bisa dilakukan dilakukan oleh kalangan PNS, pegawai BUMN, guru, dosen atau p egawai swasta besar, yang sistem di kantornya sudah sangat smart. Kalangan ini tidak terlalu terdampak secara ekonomi dan psikologis, bila penerapan status darurat 2 atau 3 minggu diterapkan atau gampangnya semi lockdown.
Sementara WFH yang kedua adalah mereka yang akan tetap bekerja di luar untuk kebutuhan yang di rumah. Mereka adalah para pekerja non formal, seperti tukang, kuli, penjual makanan, sopir angkot, ojek baik yg online maupun offline, pedagang dan pekerja di pasar dll, yang tidak punya gaji bulanan, kadang juga tidak banyak tabungan dan tidak punya pensiun. Dia harus tetap bekerja agar mendapat uang untuk menutupi kehidupan sehari-hari. Kelompok ini rentan secara ekonomi dan psikologis, bila harus mentaati himbauan pemerintah agar 14 hari di rumah. Sebab, hingga malam ini belum ada skema tentang pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelompok mereka.
Nah, karena belum adanya ketegasan dari pemerintah tentang siapa yang menanggung kebutuhan dasarnya, sehingga hingga hari ke 8, jalanan ya masih ramai, orang tetap bekerja seperti biasanya, meski sebagian besar juga mengeluh dagangannya kurang laku, pekerjaan bagi tukang dan kuli banyak yang dihentikan dan penumpang angkot, taksi maupun ojek turun