Oleh: Wawan Susetya
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS Al Israa’ : 1).
Ayat tersebut menginformasikan tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw pada suatu malam. Peristiwa Isra’ yakni perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina itu, kemudian diteruskan dengan perjalanan Mi’raj (dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha) untuk mendapatkan perintah shalat lima waktu dari Allah Swt. Dan, itu merupakan mukjizat dari Rasulullah Saw yang sangat dahsyat hingga tanda-tandanya masih bisa dirasakan oleh kaum muslimin sampai sekarang.
Prof. Achmad Baiquni MSc, PhD dalam bukunya Al Qur’an; Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi mengatakan, peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Saw tersebut sesungguhnya merupakan salah satu mukjizat yang menantang IPTEK. Kita sebagai muslim mengimani peristiwa besar yang disebutkan dalam al-Qur’an itu. Keimanan ini bagi bagi kita, yang hidup di zaman modern, bukan lagi sekedar merupakan kepercayaan melainkan suatu keyakinan yang diperkuat oleh penemuan sains yang mutakhir. Dalam rangka penelitian fisika dan kosmologi, para ahli telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa alam yang kita huni ini tercipta sekitar 15 milyar tahun yang lalu dari suatu titik singularitas fisis, dengan suhu yang “tak terhingga” tingginya dan kerapatan energi yang “tak terhingga” pula besarnya, laksana ledakan yang maha dahsyat. Foto-foto dari Cosmic Background Explier (COBE) menguatkan keyakinan ini, pada saat itu ruang dan wkatu menjadi terbentang dan materi terhampar ke seluruh pelosok jagad raya.
Allah Swt berfirman dalam Surah Al Anbiya : 30: “Apakah orang-orang kafir itu tidak melihat bahwa langit (ruang alam) dan bumi (materi alam) itu semula padu; kemudian Kami pisahkan mereka itu.”
Demikianlah, apa yang difirmankan Allah sekitar 14 abad yang lalu menyatakan dengan tepat tentang kejadian alam semesta yang baru disadari oleh para ahli ilmuwan sekitar tahun 1960-an.
Sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw ke Sidratul Muntaha (langit ke tujuh) pada malam 27 Rajab—sebagaimana yang diperingati sebagian kaum muslimin di tanah air—ternyata ada sentimentil, kegenitan, kecemburuan antara langit dan bumi. Mereka yang mestinya ‘hidup rukun’ secara harmonis, kenyataannya malah saling menonjolkan kehebatannya masing-masing. Mereka menonjolkan “ego”-nya bahwa dialah yang paling unggul dari yang lain.
Dalam buku Perdebatan Langit Dan Bumi (Wawan Susetya, 2005), disebutkan bahwa bumi merasa lebih hebat daripada langit karena Allah telah menghiasnya dengan berbagai negara, beberapa laut, sungai-sungai, tanam-tanaman, beberapa gunung dan lain-lainnya.
Mendengar ucapan bumi seperti itu, langit tidak serta-merta mempercayainya. Maka, dikatakannya kepada bumi: “Saya lebih baik daripada kamu, karena matahari, bulan, bintang-bintang, beberapa falak, buruj, ‘arsy, kursi dan surga ada pada saya.”
Bumi masih bertahan dengan berbagai dalihnya yang jitu. Bumi pun berkata: “Di tempat saya, rumah yang dikunjungi dan untuk thawaf para nabi, para utusan, para wali dan sekalian orang-orang yang beriman.”
Langit masih tidak mau kalah, dengan berbangga diri mengatakan bahwa di langit ada Baitul Ma’mur untuk ber-thawaf para malaikat penghuni langit dan ada surga tempar arwah para nabi, para utusan dan arwah para wali dan sholihin.
Lagi-lagi, bumi merasa dirinya lebih baik daripada langit. Maka dikeluarkannya jurus pamungkas sebagai andalannya: “Sungguh pemimpinnya para nabi dan utusan bahkan sebagai pungkasannya para nabi dan kekasih Tuhan seru sekalian alam, utama-utamanya segala yang wujud serta kepadanya penghormatan yang paling sempurna itu tinggal di tempat saya. Dan dia menjalankan syariatnya pun di tempat saya!”
Baru setelah mendengarkan perkataan bumi yang terakhir itu—yakni menyinggung tentang nabi akhir zaman Muhammad Saw—maka langit menjadi lemah dan terdiam seribu bahasa. Tidak bisa menjawab lagi. Kini, langit mengakui dengan jujur bahwa bumi ternyata lebih unggul, lantaran ada kekasih Allah yang tinggal di sana. Karena langit merasa dirinya kalah terhadap bumi, maka dia menghadap kepada Allah dan berkata: “Ya Tuhanku, Engkau telah mengabulkan permintaan orang yang terpaksa (tertimpa bahaya) bila dia berdoa kepada Engkau; dan saya telah tidak mampu menjawab kepada bumi. Maka saya minta kepada Engkau agar supaya Muhammad, Engkau naikkan kepada saya. Sehingga, saya akan menjadi mulia dengan sebab Muhammad (kekasih-Mu) sebagaimana bumi telah menjadi mulia dengan kebagusannya dan dia berbangga.”
Atas permohonan langit itu, Allah mengabulkan permintaannya, kemudian Allah memberikan wahyu kepada Malaikat Jibril pada malam tanggal 27 Rajab: “Janganlah engkau (Jibril) bertasbih pada malam ini; dan hai ‘Izrail engkau jangan mencabut jiwa pada malam ini!”
Mendengar firman Allah seperti itu, lantas Jibril bertanya: “Apakah telah datang qiyamat?”
Allah menjawab, “Tidak, hai Jibril; tetapi pergilah engkau ke surga dan ambillah Buraq, teruslah pergi kepada Muhammad dengan Buraq itu.”
Jibril pun pergi dan dia melihat 40.000 Buraq sedang bersenang-senang di petamanan surga dan di wajahnya masing-masing terdapat nama Muhammad. Dan Jibril melihat di antara Buraq-buraq itu ada seekor Buraq yang menundukkan kepadalanya sedang menangis dan bercucuran air matanya.
Setelah ditanya oleh Jibril, Buraq yang menangis tadi berkata: “Ya Jibril, sungguh saya telah mendengar nama Muhammad sejak 40.000 tahun, maka pemilik nama itu telah jatuh tertinggal di hatiku dan saya sesudah itu menjadi rindu kepadanya dan saya tidak mau makan dan minum lagi dan saya laksana terbakar oleh api kerinduan.”
Jibril dengan bijaksana mengatakan bahwa dia akan mengajak Buraq tadi kepada orang yang dirindukannya itu sekarang juga. Maka, Jibril memakaikan pelana dan kekang kepada Buraq itu dan membawanya kepada Nabi Muhammad Saw pada peristiwa akbar Isra’ Mi’raj itu. (Usman Alkhaibawi, Durratun Nasihin: A’rajiyyah).
Begitulah awal kisah peristiwa Isra’ Mi’raj yang merupakan mukjizat Rasulullah. Peristiwa tersebut begitu sangat menakjubkan, sehingga ketika disampaikan oleh Kanjeng Nabi keesokan harinya, maka ada yang mengimani (mempercayainya) dan ada pula yang mengingkarinya. Golongan para sahabat nabi, Abu Bakar, Sayyidina Ali, Siti Aisyah, Ibn Abbas dan sebagainya meyakini dengan keimanan yang mendalam terhadap peristiwa itu, tetapi golongan orang-orang kafir dan munafik tidak mempercayainya.
Keingkaran orang-orang kafir terhadap peristiwa itu, misalnya, ada yang mendatangi kepada Nabi Saw dengan berkata: “Hai Muhammad, berdirilah engkau!”
Rasul pun berdiri.
Orang kafir tadi berkata lagi, “Angkatlah salah satu kakimu!”
Rasul pun mengangkat salah satu kakinya.
Setelah itu, orang kafir tadi berkata, “Angkatlah kakimu yang satunya!”
Maka, Rasulullah menjawab: “Apabila saya angkat, maka saya akan jatuh.”
“Kalau engkau tidak bisa mengangkatnya sejengkal saja dari bumi, maka bagaimana engkau mengangkatnya ke langit bahkan ke sidratul muntaha?” begitu orang kafir tadi menghina Kanjeng Nabi dengan kata-katanya yang pedas.
Maka Nabi Saw bersabda, “Keluarlah engkau dari masjid ini dan ceritakan percakapan ini kepada Ali, maka dialah yang akan menjawab kamu!”
Orang kafir tadi lantas keluar dari masjid dan menjumpai Ali serta menceritakan percakapannya dengan Rasulullah. Apa jawaban Ali? Ali, setelah mendengarkan uraian orang kafir tadi, lantas menghunus pedangnya dan memenggal kepala orang kafir tadi hingga mati seketika.
Mengetahui peristiwa itu, para sahabat protes kepada Ali seraya berkata: “Mengapa engkau membunuh dia, sedang kata-kata Nabi Saw bisa diterima oleh akal yaitu menyuruh engkau menjawab dan tidak membunuhnya?”
Kata Ali: “Itulah jawaban terhadap orang yang menentang. Karena sesungguhnya Rasulullah itu bukannya tidak mampu menjawab, akan tetapi Beliau tahu bahwa dia tidak akan mau menerima jawaban, sehingga Beliau mengirimkannya kepada saya untuk dibunuh!”
Dan, memang, sesungguhnya Rasulullah dengan daya dan kekuatannya sendiri memang tidak mampu meninggi naik ke atas meskipun hanya sejengkal saja. Tetapi persoalan mi’raj adalah bisa terjadi dengan kekuatan dari Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Kuat, yang semua kekuasaan dibandingkan dengan kekuasaan-Nya hanya laksana sebutir atom dibanding kebesaran matahari atau laksana setetes air dibanding dengan air laut.
Apa yang ditanyakan orang kafir mengenai isra’ mi’raj Nabi Saw, tentu, tidak sambung. Kata Budayawan Emha Ainun Nadjib, “Sama dengan jangan ditanyakan apa badan Rasulullah ikut Isra’ Mi’raj atau tidak. Bukan begitu. Karena ketika Beliau berubah atau transformed menjadi energi yang memakai kecepatan mi’raj—yaitu kecepatan yang dulu bisa memindahkan istana Ratu Balqis sekejepan mata sebelum Sulaiman selesai berkedip, istana sudah ada di situ—maka pada saat itu tubuh Rasulullah sudah menjadi barqun, yang menaiki buraqun. Dia sudah menjadi halilintar, sudah menjadi cahaya maha cahaya.” (Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib, 2001).
Begitulah, peristiwa Isra’ Mi’raj memang tidak bisa diterima oleh rasio, melainkan dengan keyakinan atau keimanan kepada Allah. Jika dilihat ke belakang, betapa banyak mu’jizat yang diberikan Allah kepada para rasul-Nya, seperti tongkat Musa a.s yang mampu berubah menjadi ular yang sangat besar serta mampu membelah lautan menjadi daratan, begitu pula mu’jizat Isa a.s yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit bahkan bisa menghidupkan orang yang sudah mati atas izin Allah, kehebatan mu’jizat Ibrahim a.s yang dibakar tidak mati dan tidak merasakan sakit, dan sebagainya.
Isra’ Mi’raj sebenarnya merupakan bentuk karunia Tuhan kepada umat Muhammad dengan datangnya perintah shalat lima waktu sebagai syariat yang telah ditetapkan-Nya. Puncak kewalian adalah awal kenabian. Sedangkan Rasulullah Saw adalah penyempurna nabi-nabi. Dan, syariat yang dibawa dan diajarkannya adalah syariat dalam Rukun Islam, termasuk shalat di dalamnya. Umat Muhammad diharapkan senantiasa taat kepada Allah dengan mengikuti Rasul-Nya. Dan barangsipa mengikuti Rasul, maka berarti orang tersebut mencintai Allah karena tunduk patuh dan berserah diri terhadap syariat yang telah ditetapkan Allah kepada Muhammad berserta umatnya.
Memahami Formula Materi-Energi-Cahaya
Jika dikontekstualkan dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut di atas jelas sangat bermakna. Peristiwa Isra Mi’raj, misalnya, bisa dirumuskan sebagai peristiwa hijrah, perpindahan, atau lebih tepatnya sebagai tranformasi, semacam proses perubahan atau ‘penjelmaan’ dari materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya. (Wawan S dkk, “Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib”, 2001).
Menurut budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), sebenarnya sederhana saja. Kalau dalam ekonomi: uang itu materi, kalau diputar atau digerakkan atau ‘dilemparkan’ maka menjadi energi. Itu kejadian Isra’ namanya. Tinggal kemudian energi ekonomi itu akan digunakan (di-mi’raj-kan) untuk keputusan budaya apa? Peristiwa Isra’ bergaris horisontal. Negara-negara bertekhnologi tinggi adalah pelopor Isra’ dalam pengertian ini. Pertanyaan berikutnya terletak pada garis vertikal tahap mi’raj sesudahnya. Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau menjadi cahaya. Artinya, produk-produk tekhnologi didayagunakan untuk budaya kehidupan manusia dan masyarakat yang menyehatkan jiwa raga mereka dunia-akhirat. Sebaliknya, kalau transformnya ke bawah, berarti transform ke atau menjadi kegelapan.
Pun demikian, materi juga bisa berupa apa saja; badan, akal, mobil, alat kerja, bak mandi dan sebagainya. Apa jadinya jika materi tersebut tadi dibiarkan saja tanpa dienergikan (digerakkan)? Uang, misalnya, jika dibiarkan saja disimpan di rumah, tentu lama-kelamaan nilai kursnya akan makin berkurang. Maka, hendaknya uang tadi dienergikan (digerakkan): dipakai usaha, sehingga bisa makin bertambah-tambah.
Begitu pula dengan badan, akal, kendaraan, bak mandi dan seterusnya, jika (materi) tadi hanya dibiarkan saja, maka akibatnya akan ‘membusuk’ atau tidak berarti apa-apa. Bahkan bisa merugi. Badan saja jika tak digerakkan, misalnya dipakai olah raga, tentu akan kurang sehat atau sakit. Begitu pula dengan akal (otak), jika tak dilatih untuk berpikir, jadinya akan menjadi tumpul. Maka, semuanya harus dienergikan!
Di dalam teknologi, tanah itu materi. Ia bisa ditranformasikan menjadi genting atau batu-bata. Logam menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik atau apa pun. Tinggal untuk apa atau kemana arah mi’raj-nya.
Tetapi jangan lupa bahwa setelah dienergikan harus diteruskan menjadi cahaya. Cahaya artinya segala sesuatu yang menjadi lebih baik, barokah, menyelamatkan, menyejahterakan, dan menyejukkan dan seterusnya. Jika berdagang, cahaya berarti mendapatkan keuntungan atau laba, sehingga sebagian dari rizki yang dikaruniakan Allah tadi dibelanjakan di jalan-Nya. Jika sedang sekolah, cahaya itu artinya lulus ujian dengan nilai yang baik dan ilmunya bisa diterapkan atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan kemanfaatan. Jika bertani, cahaya artinya bisa menghasilkan hasil tanaman yang melimpah dengan kualitas baik, sehingga bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari petani dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Itu semua merupakan refleksi atas makna cahaya atau kebarokahan yang manfaatnya bisa dirasakan oleh diri sendiri, keluarga, lingkungan kecil, lingkungan yang lebih besar hingga merambah ke tingkat negara bahkan dunia internasional.
Kebalikan dari cahaya adalah kegelapan. Bagaimana keadaan seseorang jika dia berada di tempat yang gelap? Maka, baik dia membuka mata maupun memejamkan mata tidak ada bedanya alias sama saja. Orang yang berada dalam kegelapan tidak mengetahui arah: mana selatan dan mana utara. Orang yang gelap akan menjadi bingung; tidak mampu membedakan antara yang haq dan yang batil.
Maka, Rasulullah datang dengan menawarkan Islam yang terang-benderang! Muhammad Saw membawa cahaya yang menerangi. Tetapi, anehnya, karena saking terangnya cahaya itu, orang-orang Jahiliyah merasa mblereng atas cahaya yang terang-benderang itu. Orang yang gelap tidak lagi bisa membedakan antara yang terang dan gelap.
Wajar saja jika orang-orang kafir itu tidak bisa mempercayai perjalanan Kanjeng Nabi dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu. Padahal, Allah telah menurunkan ayat: “Subhanaanal ladzii asraa bi’abdihi lailan” (Maha suci (Allah) yang telah menghendaki hamba-Nya berjalan di waktu malam). (Mi’raajiyyah). Dalam ayat yang permulaannya berisi kalimat ta’ajjub (kagum) tersebut menunjukkan adanya hubungan bahwa berita yang datang sesudah itu merupakan perkara yang menyalahi kebiasaan atau merupakan peristiwa luar biasa sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang tidak seorang pun mampu mengerjakannya selain Allah ta’ala sendiri.
Adapun hikmahnya surat di dalam Al Qur’an yang dimulai dengan kalimat tasbih ada dua segi:
Pertama, bahwasanya orang-orang Arab itu bertasbih terhadap segala perkara yang menakjubkan. Maka seakan-akan Allah ta’ala ta’jub dari sebab hamba-Nya (orang-orang) yang mengejek dan menghina utusan-Nya yaitu Muhammad Saw.
Kedua, tasbih pada permulaan surat tersebut sebagai penolakan terhadap mereka; karena ketika Beliau berbicara atau menyampaikan berita Isra’-Mi’raj, mereka mendustakannya. Maka arti tasbih pada ayat tersebut yaitu Allah Maha Suci dari menjadikan atau mengutus utusan yang pendusta. (Al Imam Abu Haris).
*