Ketika di awal-awal ada yang nyantri kepada KH. M. Utsman al-Ishaqy sebanyak 5 orang, beliau mengajak para santrinya berkeliling Kampung Jatipurwo, Sawahpulo, dengan membaca Sholawat Burdah.
Karena lingkungan masyarakat yang kala itu masih kental dengan para peminum, penjudi, létrék, premanisme, bahkan penjaja seks komersil, tidak jarang beliau mendapatkan respon penolakan yang beragam rupa. Dari lemparan batu, diejek, disoraki, dikasih besek mirip berkatan yang ketika dibuka isinya ternyata tai orang, hingga pada pengancaman pembunuhan karena dianggap telah mengusik kenyamanan masyarakat setempat. Padahal di kampung tersebut beliau bukanlah sebagai pendatang.
Bermacam efek balik yang dialami oleh para pembencinya. Ada yang sakit-sakitan, jatuh bangkrut, menjadi gelandangan, gelisah berkepanjangan sampai dengan hilangnya akal. Tapi banyak pula yang tersadar dan bahkan menjadi pendukung setia.
Suatu ketika beliau “matur” kepada guru yang sangat dicintainya, Mbah Kiai Romli (Rejoso Jombang-red), tentang akibat yang menimpa para pembencinya itu. Mbah Kiai Romli hanya bertanya, “Atimu piyé pas naliko nompo iku kabéh, Man (Bagaimana hatimu saat menerima semua itu, Man)?”
Mbah Utsman menjawab, “Kulo mboten menopo, ugi mangapunten (Saya tidak apa-apa, juga memaafkan).”
Lalu Mbah Kiai Romli dawuh, “Yo wés, Man, nék atimu gak popo. Iku ngono metik uwohé déwék (Ya sudah, Man, kalau hatimu tidak apa-apa. Yang demikian itu karena mereka memetik buahnya sendiri).” Alfatihah
(Dikisahkan oleh KH. A. Danyalin bin KH. M. Minanurrahman bin KH. M. Utsman al-Ishaqy).