Kisah Pedih Dibalik Pandemi Corona

Oleh : Mabroer Masmoh

“Gara-gara Corona bang, tarikan jadi sepi. Mestinya yang disuruh di rumah itu yang sakit aja, biar kita tidak ikut susah. Sudah keliling dari tadi, sepi tarikan. Buat beli bensin aja berat,” keluh Mang Asep, sopir angkot Parung-Ciputat. Akibat sepi tarikan alias penumpang, bukan hanya bensin yang nyaris tak terbeli, tapi belanja dapur juga hutang lagi ke warung tetangga. “Apalagi orang seperti saya ini juga nggak punya tabungan,” tambahnya.

Begitulah sekelumit kisah pedih sang sopir angkot yang sudah mulai ubanan itu. Puluhan kilometer telah dilewati, tapi uang setoran belum terkumpul, padahal anak-istri di rumah juga sedang menunggu uang jajan dan uang belanja. Tapi mau gimana lagi, Corona datang seperti mimpi dan buku tabungan di bank pun tak pernah mereka isi.

Tentu Mang Asep tak sendirian. Ribuan atau bahkan mungkin ratusan ribu (tak ada data resmi,red) sopir angkot di berbagai kota di Indonesia tengah mengalami hal serupa. Kalau tetap tinggal di rumah seperti seruan Presiden Jokowi, maka dapur Mang Acep dkk tak akan mengepul karena belanja hari ini ditentukan pendapatan yang dibawa pulang hari ini pula. Mereka tak punya tabungan di bank, apalagi deposito. Mereka juga tak punya honor bulanan karena penghasilan ditentukan dari sisa uang setoran.

Sebelum datang Corona, dompet mereka sudah kembang-jempis oleh himpitan semakin nyamannya angkutan umum seperti transjakarta dan MRT. Selain digencet layanan transportasi publik yang makin diminati penumpang, para sopir angkot itu pun harus bersaing dengan ratusan ribu kendaraan daring seperti Gojek dan Grab. Betapa tidak? Selain kecepatan, juga kemudahan penjemputan sekaligus pengantaran hingga titik lokasi terdekat para penumpang. Belum lagi bonus diskon yang diberikan transportasi daring hingga 50% yang membuat penumpang angkot bermigrasi ke Ojol/ojek online.

Bagi mereka, tak ada pilihan lain kecuali tetap menjalankan angkot, meski sepi penumpang. Kondisi tersebut diperparah oleh kebijakan “merumahkan karyawan, pelajar dan mahasiswa” seperti yang diserukan Presiden Jokowi, tiga hari silam (16 Maret 2020), kemudian diikuti oleh jajaran di bawahnya. Tentu, kepedihan tidak hanya dialami sopir di sekitar Jabodetabek, tapi juga se-nusantara. Situasi ini seperti buah simalakama, tak narik angkot, dompet tak terisi, kalau tetap narik juga nombok karena tak bisa ngejar uang setoran.

Selain sopir angkot, kisah pedih juga dialami para sopir bus antar kota dan antar provinsi. Dibalik kepedihan para sopir itulah, kini para calon penumpang pesawat justru dimanjakan oleh penurunan harga tiket pesawat yang hampir 50% lebih dari hari-hari sebelum merebaknya virus Corona.

Selain para penyedia jasa transportasi umum yang kian merugi, imbas Corona juga menyisakan kisah pedih dari dunia pariwisata. Di dalam bisnis pariwisata, selain objek wisata dan tempat penginapan, juga melibatkan tour leader, angkutan wisata, kuliner, jasa pijat, tempat hiburan seperti karaoke dan lapak oleh-oleh khas daerah wisata.

Dampak dari Corona, icon wisata Indonesia yakni Bali sudah mulai menjerit. Apalagi destinasi wisata baru yang sedang dicanangkan jadi ’10 Bali Baru’ dengan lima destinasi super prioritas yakni Likupang di Minahasa Utara – Sulawesi Utara, Danau Toba, Borobudur, Mandalika di NTB, dan Labuan Bako di NTT yang mendapatkan kucuran APBN 9,35 triliun rupiah. Sedang lima destinasi wisata lainnya yang masuk program ’10 Bali Baru’ adalah Tanjung Kelayang di Kepulauan Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulauan Seribu di Jakarta, Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Morotai di Maluku Utara.

Padahal, dalam periode Jokowi-KMA kali ini, pengembangan wisata menjadi salah satu andalan nasional karena melimpahnya potensi objek wisata yang tersebar di berbagai sudut nusantara.

Tentu saja, itu baru berbicara tentang destinasi wisata alam, belum lagi nasib wisata religi seperti makam Walisongo, makam para tokoh non Walisongo dan pemakaman Gus Dur. Bahkan sudah sepekan lebih, area pemakaman Gus Dur dinyatakan tertutup bagi para penziarah. Padahal, selama ini jumlah kunjungan ke komplek makam Gus Dur mencapai lebih dari 4 ribu penziarah setiap harinya. Puluhan pedagang dan ratusan keluarganya selama ini hanya mengandalkan hasil dagangan yang mereka jajakan kepada para penziarah. Dalam wisata religi ini, ada ratusan ribu pedagang kecil yang mengandalkan nasibnya dari kunjungan para penziarah/wisatawan.

Selain sopir angkot dan para pemangku wisata, juga para pedagang yang selama ini mengandalkan dagangannya dari uang saku para siswa dan mahasiswa. Tentu, kelesuan transaksi di kalangan pedagang itu juga akan berimbas kepada elemen masyarakat yang lain seperti petani dan pekebun. Jutaan rakyat Indonesia kini menjerit karena kebijakan pemerintah yang merumahkan berbagai aktifitas seperti perkantoran dan lembaga pendidikan. Sisi lain, pemerintah juga tak punya banyak pilihan menghadapi akselerasi penyebaran virus yang sangat pesat bahkan kini telah mencapai lebih dari 277 orang yang suspect Corona, 8 orang diantaranya dinyatakan sembuh dan yang meninggal mencapai 5 orang. Oleh karena itu, selain mengantisipasi dampak terburuk dari kebijakan ‘beraktifitas di rumah’ tersebut, pemerintah juga harus mulai menyiapkan langkah antisipatif jangka panjang yakni dengan menguatkan daya tahan masyarakat melalui gerakan menabung pasca recovery musibah pandemic virus Corona. Apalagi masa-masa pelik dan sulit ini akan berlangsung hingga 29 Mei mendatang yakni batas akhir fase Darurat Bencana Covid-19.

Belum lagi soal kultur rakyat Indonesia yang masih belum punya tradisi menabung cukup kuat. Indonesia bukan Jepang atau Tiongkok yang punya tradisi menabung cukup baik. Bahkan di kawasan ASEAN saja, kultur menabung bangsa Indonesia (30,87%) berada di urutan paling bawah karena masih kalah dengan Brunai Darussalam, Singapura (46,73%) dan Thailand (35,11%). Oleh karena itu, kultur menabung harus menjadi salah satu program alternatif pemerintah ke depan agar potensi penabung generasi milenial khususnya pelajar yang mencapai 69,3 juta pelajar plus sekitar 7 juta mahasiswa itu bisa menjadi kekuatan alternatif bangsa Indonesia kelak.

Oleh karena itu, berbagai kemudahan harus diberikan oleh negara melalui berbagai outlet keuangan inklusi agar rakyat makin mudah dan suka menabung. Kendati nominal tabungan sekedar uang receh sekitar 1-2 ribu rupiah/hari, tapi jika dikalikan jumlah pelajar & mahasiswa setiap harinya, maka triliunan rupiah akan terkumpul. Jika seandainya 50 juta dari 78,3 juta (pelajar & mahasiswa) yang nabung Rp 1000;/hari x 25 hari kerja, maka akan terkumpul dana tabungan tak kurang dari 1,25 triliun rupiah/bulan.

Dengan kultur menabung itulah, masa-masa kelam seperti saat ini bisa diantisipasi sejak dini. Setidaknya, sebagian besar masyarakat kita kelak akan lebih siap jika menghadapi situasi yang pelik, semisal ada kebijakan lockdown dari pemerintah karena kondisi darurat bencana virus atau yang lain. Bukankah lebih arif jika menjadikan berbagai musibah itu sebagai pelajaran sekaligus dipetik hikmahnya dengan merancang program antisipasi ke depan yang lebih memberdayakan rakyat, bukan sekedar membangun mereka jadi bangsa konsumtif? ###