Oleh : Mabroer Masmoh
Memasuki hari kelima penetapan Corona sebagai virus pandemi, akhirnya Corona juga berhasil memaksa Presiden Jokowi untuk ‘meliburkan’ semua kegiatan; tak perlu kerja di kantor, tak perlu kuliah di kampus, tak perlu sekolah di ruang kelas dan ibadah cukup di rumah. Sepintas menyenangkan, tapi ibu-ibu di dapur mulai resah karena gula makin langka, dan harga komoditas pun mulai beranjak naik. Aksi borong mulai kelihatan, meski belum merata, tapi urusan dapur ini juga harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah, bukan hanya soal bonus ‘liburan’ dari Corona.
Bagi 25,14 juta penduduk Indonesia, Corona bukan satu-satunya virus yang membuat mereka galau. “Besok makan apa?.” Sembako alias sembilan bahan pokok itulah problem utama yang masih mereka hadapi. Angka 25 juta lebih menjadi kecil (9,41%) jika disejajarkan dengan jumlah penduduk yang mencapai 269,6 juta, namun jumlah itu tetap sangat besar apalagi kalau melihat kisah pilu dari berbagai pelosok nusantara, seperti orang tinggal di kandang hewan, makan sabun, serta kisah pedih lainnya. Semua itu merupakan PR besar pemerintahan Jokowi-KMA, apalagi salah satu penyebab kemiskinan juga masih terbuka ruang geraknya; korupsi. Betapa tidak pedih? Satu sisi kita melihat berita ada korupsi trilyunan rupiah, seperti Jiwaraya 13,7 trilyun rupiah, BLBI, Century, Pertamina, Pelindo, PLN, Garuda, Krakatau Steel, Angkasa Pura II dan terakhir konon ASABRI juga diterpa dugaan serupa. Itu kasus kelas kakap lho? Belum yang tak terungkap ke publik. Miris rasanya untuk membayangkan.
Pada sisi rakyat yang benar-benar jelata (9,41%) itu, mereka baru saja bernafas lega karena Mahkamah Agung telah membatalkan kenaikan iuran BPJS, tapi kini harus bermasker dan mengurung diri karena serangan virus Corona. Yang membuat kita sedih, ketika iuran BPJS kembali ke angka semula, rakyat disuguhi angka subsidi puluhan trilyun rupiah. Tentu saja tidak ‘aple to aple’ untuk memperhadapkan kasus korupsi dengan subsidi BPJS, tapi nalar rakyat kecil tak punya pilihan kecuali membandingkan. Bagi mereka, negara wajib hadir untuk memperlihatkan keadilannya bahwa korupsi juga tak cukup hanya diselesaikan secara retorika belaka. Meski telah berlapis institusi penegak hukum, mulai yang konvensional seperti Kejaksaan dan Kepolisian hingga yang adhoc seperti KPK dan Satgas Saber-Pungli, namun seakan rakyat telah dibuat makin putus harapan.
Seperti halnya Corona, virus korupsi pun juga menjangkiti setiap lapisan dan tak pandang eselon. Efek keduanya sangat mencekam dan bisa mematikan, oleh karena itu tak heran jika ada juga gagasan bahwa koruptor kelas kakap layak dihukum mati dan tak wajib disalati. Sebagaimana kasus kematian akibat virus Corona, ada pemikiran agar jenazahnya tak dimandikan seperti halnya jenazah para syuhada’ agar kematiannya menjadi akhir dari penyebaran virus, bukan sebaliknya. Yang satu tak dimandikan karena bahaya yang ditimbulkan, sedangkan koruptor itu dampak jangka panjang akibat ulahnya yang memiskinkan dan membodohkan jutaan rakyat. Yang membedakan, virus Corona mempunya durasi penyebaran terbatas, kalau korupsi ini masih jadi PR bersama padahal amanat Reformasi telah berusia 22 tahun, namun belum menunjukkan gelagat untuk sembuh total.
Sambil menikmati ‘liburan’ di rumah, ada baiknya seruan para Ulama agar kita memperbanyak doa dan tafakkur itu dipenuhi. Semoga virus Corona segera beranjak pergi dan berkenan membawa serta virus korupsi yang sudah mewabah di semua lapisan dalam berbagai skala dan volume di nusantara ini. Bukankah kehadiran virus telah mengirimkan pesan kuat bahwa kekayaan dan jabatan bukan segala-galanya. ###