Oleh : Hadi Winarto
Bersama merebaknya pandemi virus korona, jadi teringat lagi dengan skripsi yang saya tulis saat kuliah di Jurusan Sastra Inggris Unej dulu. Skripsi yang bercerita tentang wabah sampar (The Plague) dalam novel Albert Camus itu butuh waktu sekitar 4 tahun menuntaskannya. Novel itu bercerita tentang wabah Sampar yang menyerang Kota Oran di Aljazair. Wabah Sampar atau pes datang tiba-tiba, seperti tamu yang tak diundang, tetapi merubah seluruh irama kehidupan warga Kota Oran.
Dr Bernard Rieux, Jean Tarrou, Father Panneloux, Jean Cottard dan Raymond Rambert tampil di novel itu mewakili karakter cerita. Percakapan di antara mereka sangat menarik, dan menggambarkan bagaimana kecanggihan Camus menyajikan filsafat eksistensialisme melalui karya sastra.
Bagian yang paling menarik bisa disebut berikut ini. Dr Bernard Rieux percaya bahwa dalam keadaan paling sulit sekalipun saat menghadapi wabah, seorang dokter tidak memiliki pilihan kecuali tetap teguh berada di atas tanggungjawab profesionalnya. Ia harus berada di tengah masyarakat, bekerja melakukan perawatan dan penyembuhan tanpa kenal lelah, bahkan pun jika untuk itu harus kehilangan nyawanya.
Jean Tarrou, yang tumbuh dengan impuls pemberontakan, dan menolak realitas sehari-hari yang dianggap beradab tetapi dalam kenyatannya mempraktikkan kebiadaban dengan menggunakan hukum sebagai selubung pembenarnya, menentang keras praktik hukuman mati (capital punishment). Jean Tarrou memandang situasi Oran yang absurd oleh serangan wabah Sampar berkeyakinan bahwa Sampar sebagai “sebuah hukuman yang tidak berdasar dan harus dilawan”.
Father Panneloux, a man of intellectual, pemimpin gereja terkemuka di Oran, memiliki keyakinan bahwa wabah Sampar adalah wujud pemberian cinta dan penyucian iman yang dikirimkan Tuhan. Jika Sampar diibaratkan sebuah alu raksasa yang bekerja menghancurkan “isi dalam ceruk besar”, dengan menggerus, menghujam, menghancurkan orang-orang tanpa pandang bulu, orang baik maupun jahat, maka di ujungnya, setelah wabah berlalu, akan menciptakan masyarakat yang lebih baik, dengan iman Kristiani baru yang lebih suci dan teguh.
Raymond Rambert sang jurnalis yang bertugas meliput peristiwa wabah menyangkal dirinya berada di Oran, saat terkena aturan tidak bisa keluar kota itu, setelah pemerintah memberlakukan isolasi total, totally lock down terhadap Oran. Rambert mengalami keterasingan yang luar biasa saat menjalankan tugas jurnalistiknya di Oran.
Jean Cottard, orang kecil karyawan pada Oran Prefecture, menerima apapun yang terjadi di kotanya. Jika Sampar tiba-tiba datang membunuhnya, ia akan menerima saja tanpa harus berpikir panjang.
Percakapan yang dibangun di antara para karakter cerita ini sangat hidup. Tidak mudah menyimpulkan pesan akhir yang hendak disuarakan Camus. Mungkin terasa lembut, tetapi terasa kuat sang novelis ingin mengatakan, bahwa untuk sanggup hidup bebas dan merdeka, manusia harus percaya pada kekuatan yang dimilikinya, bukan untuk bisa mengatasi segala persoalan, tetapi sanggup melewati kehidupan, bahkan pada tahap paling sulit sekalipun, dan tak pernah henti melakukan kebaikan, melalui kerja-kerja kemanusiaan, dan menghasilkan solidaritas sejati.
Yang tak kalah absurd adalah bagaimana wabah Sampar berakhir di Oran. Wabah itu datang tiba-tiba, seperti tamu tak diundang. lalu, ketika serum untuk menghentikan wabah ditemukan dan bekerja dengan baik, wabah Sampar tiba-tiba hilang dalam waktu cepat, seperti tamu yang datang tak diundang, kemudian pergi menghilang tanpa pamitan.