Makam KH. NUR IMAN MLANGI SLEMAN JOGJA

MAKAM KH NUR IMAN (RM SANDEYO) MLANGI

Kiai Nur Iman Mlangi atau RM Sandeyo (diperkirakan lahir pada sekitar abad ke-18 atau tahun 1700-an) adalah pendiri dari dusun Mlangi Sleman, Yogyakarta. Mlangi merupakan Kiai pertama yang mengajarkan agama kepada masyarakat setempat sehingga dusun yang dibangun disebut “Mulangi” atau Mlangi.

Silsilah

RM Sandeyo adalah putra pertama dari RM Suryaputra yang bergelar Raja Amangkurat IV dengan RA. Retno Susilowati, putri dari pahlawan nasional Untung Suropati yang saat itu bergelar Adipati Wiranegoro. RM Sandeyo juga merupakan saudara tertua para tokoh kerajaan Mataram antara lain Pangeran Mangkunegara I, Raja Pakubuwana II, dan Raja Hamengkubuwana I.

Sejarah

Pada saat terjadi perang saudara antara Pangeran Puger atau Susuhunan Pakubuwana I dengan kakaknya, Sunan Amangkurat II, dan dilanjut dengan Amangkurat III atau Amangkurat Mas, maka putera Pangeran Puger yang bernama RM Suryoputro melarikan diri ke Jawa Timur, tepatnya di daerah Gedangan dan menyamar sebagai seorang santri di Pondok Pesantren Gedangan. Namanya kemudian diubah menjadi M. Ihsan.

M. Ihsan ditunjuk sebagai pimpinan pemuda santri oleh kepala pondok pesantren, Kiai A. Muhsin. Pada suatu hari, Adipati Wironegoro yang tak lain adalah Untung Suropati berkunjung ke pondok dan melihat M. Ihsan. Sang Adipati merasa mengenal sang pemuda dan meyakin bahwa Ihsan bukanlah santri biasa. Aura kebangsawanan memancar dari wajahnya. Atas perkenan Kiai Muhsin, Adipati memanggil Ihsan dan mengajak ke rumahnya.

Akhirnya diketahui bahwa Ihsan adalah putra pangeran Puger. Ihsan yang sebenarnya adalah RM Suryoputro diminta pulang ke Mataram. Namun sebelumnya dinikahkan dengan puteri Adipati Wironegoro, RA. Retno Susilowati. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah RM Sandeyo yang dititipkan di pondok bersama ibunya sejak masih dalam kandungan. Sementara RM Suryoputro kembali ke Mataram yang masih bergejolak dan dinobatkan sebagai Raja Amangkurat IV atau lebih dikenal dengan nama Amangkurat Jawa.

Setelah dewasa, RM Sandeyo atas perintah ayahnya, dijemput untuk dibawa ke Mataram. Saat itu sedang berkecamuk perang saudara antara ketiga adik RM Sandeyo dari ibu yang berbeda. Untuk mendamaikan, RM Sandeyo mengajukan perjanjiyan Giyanti yang menyatakan bahwa:

Kerajaan Mataram Kartasura dipecah ke dalam dua wilayah, yaitu Prambanan ke arah Timur dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana II dan memiliki ibu kota di Surakarta dan area Prambanan ke arah Barat dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), beribu kota di Yogyakarta.

Sebuah wilayah kecil di daerah Surakarta dibentuk Puro, disebut Puro Mangkunegoro diserahkan kepada RM. Said/Pangeran Sambernyowo.

Setelah situasi tenteram, RM Sandeyo memutuskan untuk tinggal di luar kraton dan membaur bersama penduduk. Kemudian dia tinggal di sebuah desa, berganti nama menjadi Kiai Nur Iman, dan mengamalkan ilmu yang diperoleh di pesantren. Di situ dia mendirikan pondok pesantren yang selanjutnya dikenal dengan nama Pondok Mlangi, dan tempat tinggalnya pun disebut Mlangi.

08032020
MAKAM KH NUR IMAN (RM SANDEYO) MLANGI

Kiai Nur Iman Mlangi atau RM Sandeyo (diperkirakan lahir pada sekitar abad ke-18 atau tahun 1700-an) adalah pendiri dari dusun Mlangi Sleman, Yogyakarta. Mlangi merupakan Kiai pertama yang mengajarkan agama kepada masyarakat setempat sehingga dusun yang dibangun disebut “Mulangi” atau Mlangi.

Silsilah

RM Sandeyo adalah putra pertama dari RM Suryaputra yang bergelar Raja Amangkurat IV dengan RA. Retno Susilowati, putri dari pahlawan nasional Untung Suropati yang saat itu bergelar Adipati Wiranegoro. RM Sandeyo juga merupakan saudara tertua para tokoh kerajaan Mataram antara lain Pangeran Mangkunegara I, Raja Pakubuwana II, dan Raja Hamengkubuwana I.

Sejarah

Pada saat terjadi perang saudara antara Pangeran Puger atau Susuhunan Pakubuwana I dengan kakaknya, Sunan Amangkurat II, dan dilanjut dengan Amangkurat III atau Amangkurat Mas, maka putera Pangeran Puger yang bernama RM Suryoputro melarikan diri ke Jawa Timur, tepatnya di daerah Gedangan dan menyamar sebagai seorang santri di Pondok Pesantren Gedangan. Namanya kemudian diubah menjadi M. Ihsan.

M. Ihsan ditunjuk sebagai pimpinan pemuda santri oleh kepala pondok pesantren, Kiai A. Muhsin. Pada suatu hari, Adipati Wironegoro yang tak lain adalah Untung Suropati berkunjung ke pondok dan melihat M. Ihsan. Sang Adipati merasa mengenal sang pemuda dan meyakin bahwa Ihsan bukanlah santri biasa. Aura kebangsawanan memancar dari wajahnya. Atas perkenan Kiai Muhsin, Adipati memanggil Ihsan dan mengajak ke rumahnya.

Akhirnya diketahui bahwa Ihsan adalah putra pangeran Puger. Ihsan yang sebenarnya adalah RM Suryoputro diminta pulang ke Mataram. Namun sebelumnya dinikahkan dengan puteri Adipati Wironegoro, RA. Retno Susilowati. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah RM Sandeyo yang dititipkan di pondok bersama ibunya sejak masih dalam kandungan. Sementara RM Suryoputro kembali ke Mataram yang masih bergejolak dan dinobatkan sebagai Raja Amangkurat IV atau lebih dikenal dengan nama Amangkurat Jawa.

Setelah dewasa, RM Sandeyo atas perintah ayahnya, dijemput untuk dibawa ke Mataram. Saat itu sedang berkecamuk perang saudara antara ketiga adik RM Sandeyo dari ibu yang berbeda. Untuk mendamaikan, RM Sandeyo mengajukan perjanjiyan Giyanti yang menyatakan bahwa:

Kerajaan Mataram Kartasura dipecah ke dalam dua wilayah, yaitu Prambanan ke arah Timur dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana II dan memiliki ibu kota di Surakarta dan area Prambanan ke arah Barat dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), beribu kota di Yogyakarta.

Sebuah wilayah kecil di daerah Surakarta dibentuk Puro, disebut Puro Mangkunegoro diserahkan kepada RM. Said/Pangeran Sambernyowo.

Setelah situasi tenteram, RM Sandeyo memutuskan untuk tinggal di luar kraton dan membaur bersama penduduk. Kemudian dia tinggal di sebuah desa, berganti nama menjadi Kiai Nur Iman, dan mengamalkan ilmu yang diperoleh di pesantren. Di situ dia mendirikan pondok pesantren yang selanjutnya dikenal dengan nama Pondok Mlangi, dan tempat tinggalnya pun disebut Mlangi.

Area tempat tinggal Kiai Nur Iman merupakan tanah pemberikan Sultan Hamengkubuwono I dan menjadi tanah perdikan yang bebas pajak. Kiai Nur Iman meninggal dan dimakamkan di halaman belakang masjid yang dibangun tahun 1760. Kini masjid dan makam Kyai Nur Iman menjadi tempat ziarah berbagai kalangan dari seluruh pelosok tanah air.

Area tempat tinggal Kiai Nur Iman merupakan tanah pemberikan Sultan Hamengkubuwono I dan menjadi tanah perdikan yang bebas pajak. Kiai Nur Iman meninggal dan dimakamkan di halaman belakang masjid yang dibangun tahun 1760. Kini masjid dan makam Kyai Nur Iman menjadi tempat ziarah berbagai kalangan dari seluruh pelosok tanah air.