Oleh : Ayatullah Chumaini
( Writer, journalist, & blogger )
Virus corona telah merambah ke Indonesia. Hal itu terbukti dengan dinyatakan positif corona atas dua orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang bertempat tinggal di Depok, Jawa Barat. Kabar itu menyebabkan permintaan akan masker melonjak drastis. Dari pantauan detikcom, Senin (2/3/2020), pengunjung di Pasar Pramuka, Jakarta Timur menyerbu penjual masker.
Seorang pedagang obat dan alat kesehatan, Neni mengaku harga masker dengan merek Sensi sudah melonjak drastis. Dari yang awalnya dijual dengan harga Rp 25.000 satu box (50 lembar), kini harga masker Sensi ia jual Rp 350.000 atau sudah naik 1400%. “Dari Januari sudah naik. Kemarin-kemarin diborong kebanyakan oleh orang China. Sekarang orang Indonesia yang borong,” kata Neni kepada detikcom di kiosnya, Senin (2/3/2020).
(Detik.com, Senin, 2/3/2020)
Adanya pernyataan pemerintah terkait dua orang WNI positif corona di Indonesia, menimbulkan kekhawatiran serta ketakutan pada rakyat. Pasalnya, belum lama ini penguasa dengan percaya diri dan sesumbar mengatakan Bumi Pertiwi kebal virus tersebut. Bahkan akibat sikap denial yang dilakukan Pemerintah, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengundang kembali TKA asal China untuk bisa segera masuk ke negeri ini.
Kelalaian Pemerintah dengan memberikan kemudahan akses pendatang yang berasal dari China, Jepang, dan negara-negara lain yang sudah terjangkiti virus ini. Tentu saja memberikan efek ketakutan parah apalagi ditambah fakta dua WNI di atas. Namun, bagai jatuh tertimpa tangga pula. Ada saja yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Yakni, adanya kenaikan harga pada alat kesehatan semisal masker sebagai dampak peningkatan permintaan masker dan hand sanitizer.
Ironis! Di tengah upaya masyarakat melawan epidemi virus corona. Adanya kapitalisasi alat kesehatan justru dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh korporat. Negara pun belum terlihat turun tangan untuk melakukan upaya preventif menghadapi wabah virus ini. Dan hingga kini, negara masih melakukan peremehan terhadap virus tersebut. Akhirnya, rakyat masih diminta untuk mengurusi diri mereka sendiri. Sehingga wajar jika adanya kenaikan harga pada masker, negara tak melakukan apapun.
Inilah dampak penerapan sistem kapitalisme. Rakyat mengurus diri sendiri, melawan virus sendiri. Sehingga wajar jika terjadi penimbunan masker dan hand sanitizer oleh oknum-oknum tertentu. Korporasi di bidang kesehatan pun berjaya, mengambil untung sebesar-besarnya. Dan negara menyempurnakan dengan berperan hanya sebagai regulator bukan periayah urusan umat.
Ketika paradigma kehidupan yang diadopsi sekarang rusak dan merusak serta tidak mampu bahkan hanya untuk menjamin kesehatan rakyat, maka dibutuhkan solusi untuk mengatasi problematika pokok tersebut. Yaitu dengan mengganti sistem yang mengatur negeri ini dengan sistem yang jelas dan terbukti berhasil menjaga dan menjamin kesehatan umat sekaligus bersumber langsung dari Sang Pencipta, Allah SWT.
Inilah Islam, dengan sudut pandangnya yang khas sebab bersumber langsung dari Allah SWT. Pola hidup bersih dan sehat sesungguhnya merupakan bagian penting yang diperhatikan dalam Islam. Hal ini terwujud dalam sejumlah dalil Al Qur’an dan sabda Rasulullah saw. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kerusakan.” (TQS. Al Baqarah : 195)
Rasulullah saw juga bersabda, “Barangsiapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman pada keluarganya, dia memiliki makanan pokoknya pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah)
Problem besar yang melekat pada sistem kesehatan saat ini tak hanya dari sisi sistem pelayanan kesehatan, lingkungan dan genetik, tapi juga perilaku. Berbagai penyakit yang saat ini bermunculan tak sedikit yang disebabkan karena faktor perilaku.
Lantas, bagaimana mekanisme khas Islam dalam mencegah munculnya wabah penyakit dan bagaimana kiat Islam untuk mengatasinya?
Kebijakan kesehatan dalam negara Islam sesungguhnya memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip. Pertama, pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua, lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga, pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat, kontrol efektif terhadap patologi sosial.
Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif preventif, kuratif dan rehabilitatifnya. Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.
Pembinaan pola baku sehat dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian islam itu sendiri. Islam sangat memperhatikan pola hidup bersih dan sehat, sanitasi yang sehat termasuk pola perilaku konsumsi makanan yang sehat (halalan thoyyiban) yang menjamin gizi seimbang. Dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Rasulullah saw melarang dari setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.” (Shahih, Diriwayatkan Muslim 1934)
Adapun upaya penyembuhan bagi yang telah terinfeksi penyakit, maka negara akan memenuhi permintaan masyarakat akan obat dan alat kesehatan. Obat-obatan dan alat kesehatan sendiri merupakan bagian penting dalam aspek kuratif. Negara Islam akan berupaya memaksimalkan penemuan obat melalui serangkaian penelitian. Industri kesehatan juga akan didorong untuk menghasilkan produk dari penelitian mengenai obat-obatan dan alat kesehatan dengan biaya penuh dari negara yang diambil dari pos-pos baitul mal.
Adapun untuk penanggulangan saat wabah menyerang suatu wilayah, Islam memiliki mekanisme khas berupa upaya rehabilitatif seperti yang diungkapkan Rasulullah sebagaimana yang dijelaskan dari Abdurrahman bin Auf ra. bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Apabila kalian mendengar wabah tengah mendera suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika menyerang wilayah kalian, maka janganlah engkau melarikan diri.” (HR. Bukhari)
Hal ini terungkap saat Syam khususnya di daerah Amwas diserang wabah Tha’un. Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat dan meminta pendapat mereka. Saat itu, Gubernur Syam Abu Ubaidah berkata kepada Umar, “Apakah engkau akan lari dari takdir Allah?” Umar menjawab, “Seandainya bukan dirimu yang mengatakannya wahai Abu Ubaidah! Benar, aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.” (Muttafaqun ‘alaih)
Abdurrahman bin Auf saat itu tidak ada, ia tidak tahu musyawarah dan dialog antara Umar dan Abu Ubaidah. Ketika dikabarkan kepadanya, ia berkata, “Saya memiliki ilmu tentang hal ini. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ketika Umar ra. mendengar sabda Nabi saw ia merasa tenang, dan bertahmid memuji Allah SWT. Kemudian bersama kafilah kembali ke Madinah, sedangkan gubernur Syam, Abu Ubaidah kembali ke Syam.
Ini merupakan metode karantina yang telah diperintahkan Nabi Muhammad saw untuk mencegah wabah tersebut menjalar ke negara-negara lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Nabi Muhammad mendirikan tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah dan menjanjikan bahwa mereka yang bersabar dan tinggal akan mendapatkan pahala sebagai mujahid di jalan Allah, sedangkan mereka yang melarikan diri dari daerah tersebut diancam malapetaka dan kebinasaan.
Oleh karena itu, hanya Islam yang mampu menjaga serta menjamin kesehatan umat. Maka campakkan sistem yang telah mewabahkan virus ini dan ganti dengan Islam Kaffah. Sungguh tegaknya Islam hanya persoalan waktu. Dan hanya orang-orang beriman dan yakin yang mampu melihat dan mencium wangi kemenangan tersebut. Wallahu a’lam bish shawab.