Kebudayaan Jawa Ya Orang Jawa

 

Para ulama pembawa Islam ke tanah Jawa telah mampu menjadikan Islam sebagai substansi budaya Jawa
Berbeda dengan pengembangan Islam di daerah lain, maka yang terjadi di Jawa lebih bercorak bottom up Islamization yang berlangsung secara intensif dan terus menerus selama ratusan tahun. Sebab bukan sebuah pekerjaan mudah, memahamkan Islam pada masyarakat yang secara kultur sangat berbeda dengan kultur tempat lahirnya Islam, yakni Jazirah Arab.
Ketika pertama kali menjejakkan kakinya di Pulau Jawa, para duta Islam masuk dalam masyarakat yang sama sekali masih asing dengan terma-terma agama tauhid.

Saat itu,agama dan kepercayaan yang berkembang di Jawa adalah Hindu, Budha dan aneka kepercayaan lokal masyarakat yang bertumpu pada pemujaan terhadap arwah leluhur.
Kenyataan seperti itu telah menjadikan para ulama penyebar Islam di Jawa melakukan proses kreatif dalam berdakwah. Para ulama berhasil melakukan Islamisasi bahasa,sehingga elemen-elemen kunci dalam kebudayaan Jawa dipahami dalam kerangka Islamic worldview. Dalam perkembangan selanjutnya, para ulama pembawa Islam ke tanah Jawa telah mampu menjadikan Islam sebagai substansi budaya Jawa. Perubahan tradisi dari sesaji (persembahan untuk makhluk halus) menjadi selametan(ungkapan syukur kepada Allah Subhanaha wa Ta’ala) bukan sekedar islamisasi mantra menjadi doa, akan tetapi lebih merupakan sebuah perubahan radikal dalam kosmologi Jawa.
Pertunjukan wayang, yang merupakan
kesenian paling populer juga mengalami demitologisasi yang luar biasa.
Hal ini tercermin dalam pendapat Kuntowijoyo,”Justru wayang “mencemari” Hinduisme dengan mengadakan demitologisasi secara besar-besaran.

Ketika Betara Guru berebut perempuan dengan Betara Wisnu, ketika Betara Guru iri hati pada Arjuna karena sebutannya sebagai lelaki sejati di jagad raya.
Ketika dewa-dewa dikalahkan raksasa Niwatakawaca dan harus meminta bantuan Arjuna, itu semua sebenarnya adalah pelecehan terhadap pantheon Hindhu.
Wayang tidak lebih dari dongeng yang
banyak terdapat dalam kebudayaan Islam seperti jin, raksasa dan tukang sihir.”
Posisi kisah dalam wayang menjadi sejajar dengan dongen Kancil Nyolong Timun, yang tidak lagi menjadi pandangan metafisika orang Jawa, tetapi lebih sebagai tempat untuk belajar hikmah tentang kehidupun.
Dalam perkembangannya, ada lakon yang memang diciptakan oleh para ulama, seperti lakon Dewa Srani, sebuah karya dari Sunan Giri yang memberikan peringatan dini bahaya kristenisasi.
Dari sini, istilah pribumisasi Islam para wali yang sering diartikan oleh beberapa kalangan sebagai akulturasi Islam dan kejawen menjadi tidak tepat. Sebab dalam tembang dan geguritan karya para ulama Jawa tersebut, lebih merupakan pembahasaan dakwah Islam secara Jawa.

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbicara dalam bahasa kaumnya.
Karena itu, tidaklah mengherankan bila para pujangga kraton, yang selama ini diklaim mewakili pandangan sinkretik Hindu – Islam seperti Ranggawarsito juga merupakan hasil didikan pesantren.
Ranggawarsito dalam Serat Centhini juga menggambarkan orang Kristen adalah mereka yang menyembah Kanjeng Nabi Isa. Sebuah pandangan yang tentunya berangkat dari worldview Islam.
Sehingga dapat dikatakan bahwa distorsi identitas yang ditujukan untuk memisahkan orang Jawa dari Islam tidak pernah berhasil.

Sedangkan serat Rerepen yang digubah oleh Pakubuwono X, juga telah mengingatkan masyarakat Jawa agar menjadikan al-Qur`an sebagai pedoman, “Tinulis sajroning Qur’an,hantepana dadya laku ban hari (Yang tertulis dalam al- Qur’an dihayati menjadi perilaku sehari-hari).” Beliau mewanti-wanti agar jangan ada pemisahan antara Islam dengan Jawa, “Ratu habudaya Jawa, wali panuntun agama” (Jangan ada yang semata Jawa,dan jangan sampai ada yang menjauh dari agama).