Ancaman Corona dan Etika sosial kita

Oleh : Ayatullah Chumaini
( Pemerhati sosial, politik dan lingkungan)

Presiden Jokowi secara resmi telah mengumumkan bahwa terdapat dua warga negara Indonesia yang positif terjangkit virus corona (Covid-19). Pernyataan resmi Presiden tersebut mematahkan asumsi bahwa Indonesia “kebal” dari penyebaran virus tersebut.

Sebenarnya sejumlah diplomat dari beberapa negara telah lama memperingatkan bahkan menaruh kekhawatiran bahwa Indonesia sangat rentan terkena penyebaran virus tersebut. Hal itu cukup beralasan mengingat sejumlah negara tetangga telah lama mengumumkan secara resmi kasus corona yang telah menjangkit di negaranya, seperti Malaysia, Singapura, bahkan yang terbaru adalah Australia.

Namun, saat itu pemerintah terkesan tidak merespons secara serius peringatan yang telah disampaikan sejumlah diplomat tersebut. Bahkan ada pernyataan salah satu Menteri yang terkesan “menantang” ancaman corona tersebut. Sangat disesalkan.

Pasca pengumuman Presiden tersebut terjadi goncangan di masyarakat. Ada kepanikan yang terjadi mengingat secara global, tercatat sekitar 3000 nyawa telah terenggut akibat virus ini. Sebagian masyarakat mulai mengambil langkah sigap untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Salah satunya adalah dengan berburu stok masker.

Sayangnya, stok masker di sejumlah toko medis ludes terjual. Jika ada sekalipun, harganya melonjak drastis. Harga masker 1 box (50 lembar) yang semula dijual seharga Rp 25.000 mendadak naik menjadi Rp 350.000. Permintaan tinggi juga terjadi pada hand sanitizer dan antiseptic.

Sebenarnya, jauh sebelum kasus ini santer di Indonesia, sejumlah produsen masker telah melakukan ekspor secara gencar ke beberapa negara yang telah positif terjangkit corona, Tiongkok misalnya. Namun aktivitas ekspor yang gencar sayangnya tidak dibarengi dengan langkah antisipatif dari produsen atau regulasi dari pemerintah untuk menjaga stok domestik di tengah situasi kegentingan global. Dampaknya, ketika kebutuhan dalam negeri mulai meningkat maka produsen tidak mampu memenuhinya.

Pemerintah pun sejauh ini hanya menganjurkan masyarakat untuk tidak panik dan pelbagai saran normatif lain tanpa ada upaya untuk menyediakan perangkat proteksi dini bagi masyarakat dari ancaman virus tersebut. Akhirnya, masyarakat dibuat bingung dan panik kendati pemerintah telah menganjurkan warganya untuk tetap tenang.

Inisiatif untuk peduli

Dalam suasana genting, sejumlah netizen ada yang berinisiatif untuk peduli. Dari pantauan saya, Twitter dan Instagram hampir dipenuhi konten perihal sosialisasi pencegahan penyebaran virus corona. Mereka membagikan sejumlah tips sederhana bagi warganet perihal langkah antisipasi yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan diri dan meminimalisasi potensi terjangkit virus.

Publik juga turut dicerdaskan secara komprehensif bahwa langkah terpenting yang bisa dilakukan tidak semata dengan melindungi diri dengan masker atau alat perlengkapan kesehatan sejenis, tetapi juga bagaimana menunjukkan etika sosial yang tepat kepada sesama di tengah ancaman virus corona yang mulai menjangkiti Indonesia.

Tidak dipungkiri bahwa dengan beredarnya kabar virus corona yang telah menjangkiti Indonesia berdampak pada sikap masyarakat yang menjadi lebih over-protektif terhadap lingkungan sekitarnya. Ketakutan terhadap virus corona akan memberikan pengaruh terhadap sikap sosial masing-masing individu. Kita akan lebih mudah menaruh curiga pada orang yang batuk, bersin, atau terlihat pucat di sekitar lingkungan kita.

Kita akan lebih cenderung memutuskan menjauh ketimbang menanyakan kabar atau sekadar menunjukkan bentuk kepedulian kecil lainnya. Asumsi-asumsi ini sifatnya memang masih spekulatif, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ancaman virus corona ini tidak hanya akan merenggut kesehatan seseorang tetapi juga merenggut rasa sosial kita terhadap sesama.

Ketidakmampuan kita dalam mengelola rasa curiga, takut, sikap over-protektif dalam merespons isu corona ini memiliki potensi untuk merusak hubungan sosial dengan individu lain. Apalagi, jika kita hidup dan aktif dalam lingkungan pergaulan di kantor, sekolah, masyarakat, bahkan keluarga. Adalah hal yang manusiawi ketika kita mulai memberikan respons antisipatif dalam melihat situasi. Namun, ada etika sosial yang perlu dijunjung tinggi dan dipelihara agar hubungan dengan sesama tetap terjaga.

Sebagai contoh, jika kita tengah mengalami kondisi badan yang kurang fit segera berobat ke dokter. Segera gunakan alat proteksi diri seperti masker jika hendak bersosialisasi kendati dokter tidak memberi diagnosis positif corona atau penyakit parah lainnya. Selain itu, kita juga perlu memiliki inisiatif untuk mengurangi interaksi bersentuhan dengan orang lain seperti berjabat tangan dan berpelukan.

Hal ini dilakukan sebagai upaya “sadar diri” dan memastikan orang lain aman dan nyaman bersama kita. Lain halnya jika kita dalam kondisi sehat dan menemukan orang di sekitar kita yang terlihat tidak baik-baik saja. Etika sosial kita terhadap mereka bisa ditunjukkan dengan membujuk mereka untuk pergi ke klinik atau rumah sakit terdekat untuk periksa, atau sekadar bertanya kabar dan memberikan nasihat secara baik untuk menjaga kesehatan.

Tindakan-tindakan sederhana tersebut kita lakukan dengan tetap menjaga kehati-hatian. Hal ini dilakukan sebagai wujud antisipasi kolektif, tindakan melindungi diri dengan memastikan orang-orang di sekitar kita juga terlindungi. Sikap seperti ini adalah cermin dari etika sosial kita terhadap sesama, bahkan dalam kondisi genting sekalipun.

Wabah corona menjadi ketakutan kita bersama. Namun, jangan sampai wabah ini merenggut cara kita memanusiakan sesama. Selain mengedepankan aspek materiil seperti menjaga perilaku hidup sehat, mengenakan masker, berolahraga rutin, dan asupan bergizi, aspek non materiil juga perlu dipelihara seperti etika sosial kita terhadap sesama yang tercermin dari sikap peduli, saling pengertian, dan aware dengan lingkungan sosial kita.

Corona mungkin bisa merenggut nyawa manusia, tetapi ada satu hal yang tidak bisa direnggut olehnya; kemanusiaan.