Oleh : Ayatullah Khumaini
Kepemimpinan benar-benar diuji saat ada krisis. Dalam situasi krisis akan terlihat pemimpin mana yang betul-betul bisa bekerja, atau yang hanya bisa bicara. Dalam bahasa Cina maupun Jepang krisis ditulis dalam dua huruf kanji. Huruf pertama bermakna bahaya, dan huruf kedua bermakna kesempatan. Dalam krisis tentu saja ada bahaya yang mengintai. Tapi, yang tak kalah penting, selalu ada peluang-peluang baru yang bisa dimanfaatkan.
Tugas pemimpin di saat krisis adalah menjaga dan mengamankan organisasi yang ia pimpin agar tidak terkena bahaya, sekaligus memanfaatkan berbagai peluang untuk keluar, lalu membalik situasi krisis menjadi kesempatan yang menguntungkan.
Tak bisa dipungkiri, tahun 2020 adalah tahun krisis. Sejak tahun lalu sudah diramalkan akan terjadi resesi ekonomi di tahun ini. Perang dagang terhadap Cina yang dikumandangkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengguncang ekonomi dunia. Dalam situasi buruk itu, tiba-tiba keadaan diperparah dengan wabah penyakit corona virus. Efek ekonominya segera kita rasakan.
Yang sudah mengalami akibat langsung dari krisis akibat virus corona adalah bisnis perjalanan dan wisata. Orang-orang takut bepergian. Sangat banyak kegiatan wisata dibatalkan. Pemerintah Arab Saudi menutup pintu untuk kegiatan ibadah umrah. Padahal ini adalah kegiatan perjalanan yang melibatkan jumlah peserta paling besar di muka bumi. Perusahaan penerbangan dan pelayaran sudah merasakan dampaknya.
Dampak di sektor lain segera menyusul. Berbagai perusahaan besar yang beroperasi secara global sudah menghentikan seluruh perjalanan bisnis para eksekutif dan manajernya, guna mencegah terpapar virus corona. Banyak kegiatan produksi dan pemasaran yang akan terganggu. Pasokan bahan baku yang dikirim dari Cina akan segera terganggu pula. Dunia manufaktur segera akan menerima dampak krisis ini.
Bagi Indonesia, krisis sebenarnya sudah berjalan sebelum 2019. Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar begitu nyata mengguncang ekonomi kita. Lalu gonjang-ganjingnya harga seumlah komoditas andalan kita di pasar internasional membuat situasi makin parah. Defisit neraca perdagangan terus berlanjut. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan tinggi di angka 7%, hanya bisa dicapai di angka 5%.
Hingga akhir tahun lalu tidak ada formula yang memadai untuk menggenjot pertumbuhan itu. Kita akhirnya pasrah dengan angka 5%. Dengan adanya wabah ini, berapa persen angka pertumbuhan yang bisa kita harapkan? 3-4%?
Kita bisa membayangkan rentetan hal-hal buruk akan mengancam kita di tahun 2020 ini. Bila dibiarkan akan membawa kita ke situasi yang makin terpuruk. Pemimpin bisa saja berdalih bahwa situasinya memang begini. Tak ada yang bisa kita lakukan. Inilah narasi yang selama ini didengungkan pemerintah. Presiden Jokowi misalnya mengatakan bahwa pertumbuhan yang cuma 5% itu pun harus disyukuri, karena negara lain juga begitu.
Kalau situasi krisis sekarang ini disikapi lagi dengan cara yang sama, maka tahun ini mungkin kita harus tetap “bersyukur” dengan pertumbuhan 3% atau lebih rendah. Kalau cuma bisa mengajak bersyukur, bukan pemimpin namanya.
Ini situasi krisis. Ada kesempatan yang bisa kita manfaatkan di sini. Masalahnya, akankah kita memanfaatkannya? Akankah pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memanfaatkan situasi krisis ini?
Kata kuncinya adalah swasembada. Kita ini negara besar, berpenduduk besar. Kita adalah pasar yang besar bagi produk-produk kita sendiri. Sayangnya selama ini produk-produk kita tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tuan rumahnya adalah produk-produk Cina. Pasar ritel maupunĀ onlineĀ kita dibanjiri oleh produk Cina. Demikian pula pasar bahan baku. Selama ini misalnya, produsen PET menjerit karena pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk Cina.
Jadi apa makna krisis ini dalam sudut pandang peluang tadi? Sedikit banyak pasokan barang dari Cina akan terganggu. Inilah kesempatan bagi produsen dalam negeri untuk mengambil alih pasar. Mulai dari produk-produk ritel, hingga ke bahan baku tadi.
Apa yang membuat produk-produk kita kalah di kandang sendiri selama ini? Poin utamanya adalah harga. Produk-produk Cina bisa dibuat murah dalam angka yang mencengangkan. Kenapa mereka bisa begitu? Efisiensi yang gila-gilaan.
Kita tentu tidak bisa berharap masuk ke pasar yang sama sekali kosong. Tapi krisis ini dipastikan akan membuat ceruk yang cukup besar untuk diisi. Bagaimana menyelinap mengisi ceruk itulah yang harus dipikirkan sekarang.
Tentu saja kita pun tak cukup hanya mengisi ceruk itu sementara, selama ketika produk-produk Cina absen. Kita harus mengambil alih, mengisi ceruk itu, bertahan di situ, dan tumbuh besar. Jangan berharap kita bisa aman dan nyaman selamanya di situ. Suatu saat nanti ketika krisis sudah berlalu, produk-produk Cina akan datang lagi.
Jadi, strateginya memang bukan sekadar bagaimana mengisi ceruk itu dengan produk berharga kompetitif, tapi bagaimana membuat industri dalam negeri, termasuk industri-industri kecil menjadi efisien. Akankah ada paket kebijakan pemerintah yang jeli memanfaatkan situasi krisis seperti ini? Semoga.