Oleh : H. Uud kudri Khudhory ,S.H.,M.H.
Belum genap seratus hari presiden dilantik. Utang biaya kampanye dan janji-janji pun belum lagi lunas. Bahkan masih ada pendukung dan tim sukses yang belum kebagian kursi jabatan.
Kini sudah ada wacana menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Padahal wacana itu jelas-jelas menabrak konstitusi. Namun tentu tak akan dianggap mengancam NKRI karena itu hanya sebuah wacana.
Dalam konstitusi sudah diatur masa jabatan presiden hanya dua kali. Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Sudah jelas, UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Ini artinya cukup dua periode saja, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
Wacana menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode bukan hanya bertentangan dengan konstitusi. Bahkan ada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga harus diubah. Dalam UU tersebut, Pasal 169 huruf N menyatakan syarat menjadi Presiden dan Wapres adalah belum pernah menjabat di posisi itu selama dua kali masa jabatan untuk jabatan yang sama. Tentu Pasal tersebut tentu harus diubah oleh Sang Pembuat UU yakni DPR. Selain itu, UU dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan itu juga harus diubah.
Memang dalam sistem demokrasi, hukum itu dibuat oleh manusia. Kapan saja bisa diubah sesuai kepentingan si pembuat UU tersebut. Jika ada kepentingan yang tak sesuai maka Hukum bisa diubah dan disesuaikan. Bahkan dalam kondisi tertentu presiden bisa mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang).
Jadi langkah pertama adalah mengubah konstitusi. Nampaknya tak akan banyak mengalami kesulitan asalkan dapat cocok dalam berbagi kepentingan dengan para politisi. Bukankah sebagian besar partai sudah merapat dalam kekuasaan? Dan kalaupun nanti Konstitusi sudah diubah oleh MPR, lalu DPR lambat mengubah UU tentang Pemilu, maka bisa saja presiden mengeluarkan Perpu.
Hal itu sangat berbeda dengan sistem Khilafah. Setidaknya ada tiga perbedaan menonjol dalam masalah jabatan kepala negara ini.
PERTAMA, Masalah standar aturan hukum yang dipakai menentukan berapa lama jabatan itu. Dalam sistem demokrasi, hukum dibuat atas kesepakatan manusia. Sedangkan dalam sistem khilafah, Hukum yang berlaku harus bersumber pada Kitab Suci dan Sunnah. Sehingga manusia tak punya hak mengubah hukum Allah yang ada dalam kitab Suci dan Sunnah serta Ijma sahabat.
KEDUA, Masalah waktu lamanya menjabat. Masa Jabatan Presiden dibatasi hanya dua periode atau sesuai kesepakatan. Justru masa jabatan Khalifah tidak dibatasi oleh waktu dan periode, melainkan dibatasi dengan hukum Syara’. Jabatan Khalifah boleh sebentar atau lama. Ia boleh diberhentikan ditengah jalan kapan saja jika terbukti melanggar syara’ dan boleh menjabat hingga akhir hayat jika taat terhadap syara’. Ia bisa tetap dipertahankan selama masyarakat masih menyukainya dan tidak ada aturan yang dilanggar.
Dahulu, setelah Abu Bakar ra. Dibaiat dan dilantik menjadi khalifah, ia malah ingin minta berhenti. Ia menutup pintunya selama tiga hari, dan setiap hari—selama tiga hari itu—ia mendatangi para sahabat. Abu Bakar ra. berkata, “Saudara-saudara sekalian. Sungguh Aku meminta kalian untuk mencabut kembali baiat kalian, lalu kalian membaiat orang yang kalian cintai.”
Namun permintaan mundur dari Jabatan itu ditolak oleh para sahabatnya dan juga rakyatnya. Ketika itu Ali bin Abu Thalib ra. berdiri, dan berkata: Kami tidak akan memecat engkau dan kami tidak akan meminta untuk memecat engkau (Al-Muttaqi, Kanzul Ummâl fi Sunani al-Aqwâl wa al-Af’âl, V/657). Bagaimana dengan kini? Adakah presiden yang baru dilantik lalu minta berhenti?
KETIGA, yang Membatasi Jabatan Khalifah adalah syarat tertentu. Selama ia masih memenuhi syarat tersebut maka ia akan menjabat sampai meninggal atau sampai tak memenuhi salah satu syarat sebagai khalifah.
Dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: (Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah, maka ia wajib didengar dan ditaati (HR Muslim).
Hadis tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa baiat terhadap Khalifah bersifat mutlak dan tidak terikat dengan jangka waktu. Tetapi ia dibatasi, harus sesuai dengan Kitabullah. Dengan demikian masa jabatan seorang khalifah tidak terbatas waktu tapi dibatasi dengan ia melanggar atau mematuhi ketentuan Kitabullah.
Penjelasan lain dapat kita temukan dalam kitab Muqaddimah ad Dustur, “…Selama Khalifah mampu mempertahankan dan melaksanakan hukum syariah serta mampu menjalankan tugas-tugas negara, maka ia tetap menjabat sebagai khalifah, kecuali terdapat perubahan keadaan yang menyebabkan dirinya tidak layak lagi menjabat sebagai khalifah sehingga ia wajib segera diberhentikan.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 165).
Pada masa Khulafaur Rasyidin dulu, mereka pun dibaiat menjadi Khalifah tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Masing-masing dari Khulafaur Rasyidin itu memimpin sejak dibaiat sampai meninggal dunia. Dengan demikian hal itu merupakan Ijmak Sahabat.
Ijmak Sahabat di Saqifah Bani Saidah menunjukkan bahwa Islam tidak menetapkan bagi Khalifah batasan waktu tertentu. Namun, Islam membatasi jabatan Khalifah dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jika ada satu syarat yang dilanggar, Khalifah bisa diberhentikan dari jabatannya. Jika ia memenuhi semua persyaratan, ia tetap memimpin pemerintahan sepanjang hidupnya, selama ia masih layak dan mampu memikul semua tanggung jawabnya, serta menjalankan semua kewajiban syariah yang menjadi dasar pembaiatannya (Samarah, An-Nizhâm as-Siyâsi fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah, hlm. 66-67).
Periode masa jabatan Khalifah memang tidak terbatas dan tidak memiliki masa waktu tertentu. Namun, jika pada diri Khalifah terjadi sesuatu yang mengakibatkan dirinya dipecat, atau yang mengharuskan dirinya dipecat, maka masa jabatannya berakhir dan ia dipecat. Walaupun demikian, pemecatan dirinya bukanlah pembatasan masa Kekhilafahan, tetapi hanya merupakan kejadian berupa rusaknya syarat-syarat Kekhilafahannya.
Dengan demikian, meski kepemimpinan Khalifah tidak memiliki masa waktu tertentu untuk jabatannya, ia bisa diberhentikan kapan saja ketika ia sudah tidak lagi memenuhi ketentuan syarat akad sebagai Khilafah.