MENGENAL KI SUMOCITRO PENDIRI PAGUYUBAN WARGA HARDO PUSORO

Kawruh Hardo Pusoro adalah peninggalan dari Ki Sumocitro, yang berasal dari Desa Kemanukan, Bagelen, Purworejo. Ki Sumocitro adalah putra dari Ki Joyopermadi, cucu dari Ki Mangunwilogo, Demang Popongan, dari trah Bedug (keturunan Sunan Geseng). Ada data yang menyebutkan Ki Sumocitro lahir pada hari Kamis Legi, tahun 1832, di Kemanukan, Purwoejo.

Pada tahun 1876, R. Sumocitro (sebutan beliau saat itu) diangkat sebagai Glondong (koordinator lurah untuk pemungutan pajak) di Kemanukan, menggantikan ayah beliau. Karena permasalahan pajak dengan pemerintah Hindia Belanda, tahun 1880 R. Sumocitro melepaskan jabatan Glondong Kemanukan (yang hanya dijabat beliau selama 4 tahun), dan kemudian memutuskan untuk lebih mendalami kawruh kebatinan, serta pergi mengelana selama beberapa tahun.

Ajaran kebatinan Ki Sumocitro diperoleh dari ayah beliau, yang diwariskan turun-temurun. Oleh Ki Sumocitro ajaran itu diracik dan disusun agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Penyusunan tu dilakukan Ki Sumocitro dengan bertapa di Gunung Kawi, Malang. Maka kawruh Hardo Pusoro yang ada saat ini, sepenuhnya adalah karya Ki Sumocitro, berbasis pada ajaran keluarga beliau.

Ajaran yang telah mulai tersusun itu, kemudian diajarkan kepada beberapa orang yang tertarik untuk mempelajari kawruh ini. Murid-murid Ki Sumocitro yang terkemuka antaranya adalah: Ki Somadijoyo, RM Cokrokesumo (atau dikenal sebagai Eyang Kolektur), Mbah Mulyodirjo (Mantri Kehutanan dari Gombong), Ki Sontodimejo atau Ki Cokrosonto (murid pertama Ki Sumocitro) dari Malang, Ki Glondong Pacekelan, Ki Wongsodiharjo dari Bedug, GPH Notoprojo dari Yogyakarta, Mbah Mul putri, serta Nyi Projosemadi. Para murid utama dan murid langsung dari Ki Sumocitro inilah yang diketahui telah melakukan pembuktian dan mencapai kasunyatan. Tentunya ada pula murid-murid lain dari Ki Sumocitro yang telah mecapai kasunyatan, namun tak sempat tercatat.

Murid langsung Ki Sumocitro yang lain antaranya: Mantri Kadaster di Pasuruan, Ki Heri Purnomo, GKR Dewi dari Yogyakarta, Ki RP Projosemadi, Ki Nirman Rogoatmojo, Mbah Tir, Ki Wirodirjo Ancer Yogya, Ki Joyowinoto, serta Nyi Heri Purnomo. Para murid langsung dari Ki Sumocitro ini yang dianggap sebagai pembawa ajaran, karena ajaran HP harus dan hanya disampaikan secara lisan, melalui para murid itu. Buku atau teks lain hanya berfungsi sebagai media penjelasan.

Dikisahkan bahwa hubungan Ki Sumocitro dengan murid-muridnya cukup akrab, komunikasi biasa dilakukan dalam bahasa Jawa ngoko. Saresehan pun sering diadakan untuk membahas kawruh, maupun sebagai media penegasan proses pembuktian tentang kasunyatan dan kasampurnan. Bentuk hubungan guru-murid tersebut menunjukkan bahwa kawruh HP dikembangkan dalam suasana keilmuan. Kebenaran diperoleh melalui proses pembuktian.

Suasana keilmuan yang berkembang dalam HP, mungkin tak terlepas dari aktivitas Ki Sumocitro sendiri, yang banyak bergaul dengan kalangan keilmuan di Indonesia saat itu. Bersama dengan GPH Notoprojo (salah satu murid beliau), Ki Sumocitro menjadi anggota Perhimpunan Teosofi Hindia-Belanda, yang anggotanya terdiri dari kalangan cendekia Eropa maupun pribumi (antara lain: Rajiman Wedyodiningrat, H. Agus Salim, Ahmad Subarjo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangukusumo, Douwes Dekker {D. Setiabudi}, Suwardi Suryaningrat {Ki Hajar Dewantoro}, dr. Sutomo {pendiri Budi Utomo}, Datuk St. Maharaja, M. Tabrani, R. Sukemi {ayah Bung Karno}, Siti Soemandari, Armin Pane, Sanusi Pane, dll.). Bung Karno dan Bung Hatta pun berhubungan dengan Perhimpunan Teosofi. Belakangan, banyak anggota berlatar Islam yang mengundurkan diri dari Perhimpunan Teosofi, antara lain karena bertentangan dengan anggota Eropa yang berlatar Kristen, serta karena tidak setuju dengan faham Teosofi yang mengakui reinkarnasi.

Teosofi adalah organisasi trans-nasional berpusat di Amerika Serikat, yang tujuannya antara lain memperkuat inti persaudaraan antar umat manusia; serta mempelajari persamaan berbagai agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan, untuk menjembatani hubungan antara kebudayaan Barat dan Timur. Menurut faham Teosofi, perbedaan pada berbagai agama hanya ada di tataran ritual dan syariah, namun pada hakikatnya semua agama menuju kepada kebenaran sejati yang sama. Prinsip ini sejalan dengan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika (tan hana dharma mangrwa) yang dikutip dari kitab Sutasoma. Teosofi terbentuk sebagai reaksi atas menguatnya materialisme di dunia saat itu, sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, serta Revolusi Industri.

Keaktifan Ki Sumocitro dalam Perhimpunan Teosofi Hindia-Belanda tampak antara lain dengan posisinya sebagai Presiden Teosofi wilayah Purworejo, aktivitasnya sebagai pembicara pada beberapa Kongres Teosofi, serta keaktifannya menulis dalam jurnal perhimpunan: Pewarta Theosophie Boeat Tanah Hindia Nederland (PTHN), antara lain artikelnya yang berjudul: Djalan Menoentoet Elmoe Kenjataan, oleh Kijahi Soemo Tjitro, PTHN no.10, tahun 1915, hal 121-122.

Kedekatan Ki Sumocitro dengan para cendekia Eropa, antaranya D. van Hinloppen Labberton, Ketua Perhimpunan Teosofi Hinda-Belanda, serta Dr. G.A.J. Hazeu, Penasihat Gubernur Jenderal untuk Urusan Pribumi, yang juga ahli pewayangan, tampaknya terus berlanjut. Anak-cucu dan keturunan Ki Sumocitro sampai saat ini banyak yang tinggal di Eropa atau Amerika.

Ki Sumocitro wafat pada hari Kamis Legi, 7 September 1922, di Kemayoran, Jakarta. Sampai saat ini seluruh warga HP mengakui, hanya ada satu orang guru kawruh HP, yaitu Ki Sumocitro. Warga pangudi kawruh Hardo Pusoro semua berstatus murid.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com