Keindahan dan peninggalan cerita adalah suatu prasasti dimana kita dapat berbangga bahwa orang terdahulu telah mampu berbuat dan bangga sebagai putra-putri terbaik di bumi Nusantara. Gali lah..!!!
Kembali menemukan gelora Sajadah PanjangMu Ya Robb, Saya kem-Bali untuk bertholab lita’arrofu min Ahlith Thoriqiyyah karena Hub-Mu dan Rohman Rahim-Mu dari para masyayekh warosyah yang tersurat maupun tersirat dalam benak nurani dari para Mursyidin min Ahlith Thoriqiyyah An- Nahdliyah.
~Jika kau tahu pahit kau akan menemukan kemanisan.
Jika kau tahu manis dalam pahit kamu akan menemukan kepahitan.~
Itulah sebuah pepatah spirit yang sangat berguna bagiku dalam bekal menapak tilas suatu perjalanan yang diiringi dengan sebuah catatan pergerakan dengan hembusan nafas spirit Kebun Merah Putih (Cinta Tanah Air) sebagian dari hidupnya sebuah ke-imanan diri sebagai insan manusia Indonesia sejati yang tetap belajar dari didikan para salafus sholihin yaitu para guru Mursyid thoriqiyyah yang selalu mendidik bukan sekedar mengajar akan tetapi di lihatkan sebuah didikan Khususiyah yang selalu bernafaskan La ilahaillallah.
Perjalanan dengan tema sebuah cinta Tanah Air Indonesia dengan Spirit Kebun Merah Putih; Nasionalisme dan spritualitas anak bangsa harus selalu diasah guna menghargai apa yang sudah menjadi bagian qodrat iradatnya “Sumpah Pemuda” yang lahir pada 28 Oktober 1928 yakni; berbangsa Satoe Indonesi serta berbahasa Satoe Indonesia; La ilahaillallah.
Mulai seminggu yang lalu saya meneruskan perjalanan dari bumi kelahiran Grobog-an lanjut ke terminal Tirtonadi (Surakarta) menuju Kota Surabaya lalu naik kendaraan menuju Nusa dua Bali; di Bali saya belajar sama sesepuh Hindu Majapahit sampai diajak melihat keindahan kebhinnekaan dalam kehidupan manusia yang ada di bumi dewata, sampai menyambut hari raya Galungan dan Kuningan.
Seraya merah putih kembali meneruskan perjalanan dari Nusa Dua Bali menuju pelabuhan Padang Bae ke Pelabuhan Lembar (Lombok Barat – NTB) terus menuju di Bumi Mataram disambut hangat sama Sahabat-sahabati PMII Lombok Barat; kita saling berdiskusi tentang kaderisasi dan mengkaji sebuah nilai dasar pergerakan (NDP), lalu saya melanjutkan napak tilas ziarah ke makam para Auliya yang ada di kota Mataram.
Lalu dua hari di Mataram saya melanjutkan silaturrahim serta zirah ke Tuan Guru (Kyai Guru) Al- Marhum PW NU NTB).
Kemudian dilanjut bertemu pula sahabat-sahabat aktivis yang dulu pernah bersama dalam PKL 2013 di Sidoarjo dengan tema: “Save Pemimpin Negarawan”.
Berhening sejenak saya bersama sahabat saya yang dulu pernah bersama-sama dalam “Demangan Melawan” di Solo yaitu Sahabat Zal kelahiran Sumbawa yang sekarang tinggal di Lombok Tengah mengantar perjalanan diriku menuju maqbaroh Tuan Guru Syekh Zaenuddin (Pendiri Nadhlatul Wathon) hingga saya belajar dan dikenalkan dengan tarekatnya Nadhlatul Wathon yaitu Hizib.
Selanjutnya silaturrahim ke sahabat cunk dan sahabat-sahabat LTN NU Lombok Timur yang sekarang memimpin pengurus Lakpesdam NU Lombok Timur berbagi rasa dan cerita sejarah proses saat dulu melanjutkan serta menyelesaikan Studi Pasca Sarjana di Malang dan di Kediri.
Lalu siang itu berlanjut silaturrahim ke tokoh Kyai Sofyan (Murid Syekh Jalil Mustaqim) PETA Tulungagung, beliau penerus Khususiyah Tarekat Syadzaliyah.
Lalu saya melanjutkan perjalanan naik kapal perintis dari pelabuhan Kayangan – Lombok Timur menuju Pelabuhan Bima dengan waktu yang lumayan lama di kapal yaitu semalam sehari, sore senja matahari Senin; 24 Februari 2020 saya tiba di pelabuhan Bima terus bermalam di Langgar kecil yang bernama “Babur Rahmah”.
Semalam saya istirahat di langgar kuno karena tiket kapal menuju Ende (Flores – NTT) besok siangnya kira- kira pukul 16.00 WITA, guna napak tilas dimana Ende adalah rumah pengasingan Bung Karno dan sang Istri Inggit serta anak dan mertua.
Di Ende lah Pancasila lahir atas sebuah perenungan yang sangat lama ketika Bung Karno di asingkan.
Maka dari itu niat kembali napak tilas sejarah kebangsaan selalu saya gemakan ke kawan-kawan maupun masyarakat desa untuk selalu mengingat sejarah Indonesia beserta sejarah perjuangan para pemuda, guru bangsa untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia.
“Jika kita kehilangan Emas masih bisa dibeli kembali di toko Emas, Jika kita kehilangan kekasih tahun depan masih bisa berjumpa kembali, akan tetapi jika kita kehilangan Tanah Air (Indonesia) mau kemana?.”
Salam Hangat dari Kader Pergerakan (Kader Muda Nahdliyin) yang selalu cinta bertani dan mengabdi.
Bima, 24 Februari 2020
Edy Sembiring
(Langgar Babur Rahmah)
Totok Budiantoro
Koresponden MM.com