Oleh : H. UUD KHUDRI khudhory , SH.MH.
( Advokat / pemerhati sosial dan politik )
Gila, Insanity atau madness dalam bahasa Inggris. Sarap, orang Betawi bilang. Orang Jawa menyebutnya edan, gendeng, dan sableng. Majnun dalam bahasa Arab. Orang Sunda lebih suka menyebutnya gélo.
Wikipedia mendefinisikan gila sebagai istilah umum tentang gangguan jiwa yang parah. Secara historis, konsep ini telah digunakan dalam berbagai cara. Di lingkungan dunia kesehatan lebih sering digunakan istilah gangguan jiwa.
Kata kegilaan sering pula digunakan untuk menyatakan tidak waras, atau perilaku sangat aneh. Dalam pengertian tersebut berarti ketidaknormalan dalam cara berpikir dan berperilaku.
Dalam perkembangan masyarakat, istilah yang cenderung negatif ini bisa jadi diartikan positif. Frasa seperti “ide gila”, “karya gila”, dan semacamnya lebih cenderung bernada pujian, yang berarti nyeleneh, unik, menyamping (out of the box), dan sebagainya.
Ada pula yang menyematkan gila pada seseorang yang dianggap mabuk agama. Belakangan ditambah lagi dengan “mabuk Pancasila”.
Robert Graves berpendapat religious fanaticism is the most dangerous form of insanity. Fanatik terhadap agama adalah bentuk gila yang paling membahayakan. Jika Pancasila disakralkan, maka pendapat ini bisa bergeser bahwa mabuk Pancasila juga tak kalah berbahaya.
Orang yang merasa “paling” hebat diantara manusia, itulah salah satu jenis orang gila. Pada tingkat inilah, orang masuk golongan upnormal. Maka benar pepatah Arab “Al-Junun Funun” gila itu bermacam-macam.
Merasa paling pancasilais, dialah si gila itu. Merasa paling kaya, juga orang saraf. Orang yang merasa “paling beragama”, tentu saja si majnun. Mentang-mentang diangkat menjadi anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP, lalu merasa diri sangat pancasilais, paling pancasilais, maka sudah pasti itu orang edan.
Fase Mabuk
Sebelum masuk pada fase gila, biasanya didahului dengan mabuk: hilang kesadaran; suka yang berlebihan, tergila-gila.
Mabuk adalah sebuah keadaan sang pelaku tidak sadar akan dirinya. Penyebabnya macam-macam. Bisa karena minum minuman beralkohol. Namun mabuk paling membahayakan tentulah mabuk agama. Juga mabuk Pancasila yang sudah mulai diupayakan sejajar dengan agama.
Tentu ada ciri-cirinya orang mabuk Pancasila. Seperti orang teler, mereka teriak “aku Pancasila” tapi tak ngerti omongannya sendiri. Mereka tidak paham sejarah tapi sok paham. Pancasila pun menjadi berhala baginya.
Memutar Ulang
Mereka juga gampang menuduh orang lain “tidak pancasilais”, “anti Pancasila”, “bahaya Pancasila” dan lainnya. Di antara mereka juga menghadap-hadapkan agama dengan Pancasila.
Sejarah sepertinya mau diputar ulang. Pertarungan politik hendak dilanjutkan kembali. Urusan Pancasila dibuat belum kelar. Dulu, tatkala Pancasila digodok, dibahas, bahkan diperdebatkan hingga menghasilkan rumusan akhir seperti Pancasila saat ini, memang memunculkan aliran terkuat yakni “Kebangsaan” dan “Islam”. Kebangsaan berspirit sekuler sedangkan Islam didukung oleh kekuatan keagamaan.
Perjuangan politik umat Islam saat itu adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 maka akhir rumusan adalah sebagaimana yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Umat Islam telah memberi “hadiah” pada bangsa. Pancasila disepakati sebagai dasar penyelenggaraan negara. Ironisnya, kini yang secara simbolik menyatakan “aku Pancasila” atau “Pancasila harga mati” atau sejenisnya itu mengarahkan tudingannya kepada umat Islam. Mereka menyebar racun dan permusuhan bahwa kekuatan umat Islam itu radikal dan intoleran serta menjadi “bahaya Pancasila”.
Tuduhan yang kadang seenaknya dan tidak bertanggungjawab.
Disadari pada tahun-tahun politik seperti sekarang ini tidak jarang penipuan, kebohongan, kecurangan, kezhaliman, fitnah dan adu domba dengan mengatasnamakan agama, juga Pancasila. Inilah yang memunculkan istilah “mabuk agama” dan “mabuk Pancasila tapi krisis moral”.
Bila kondisi ini dibiarkan maka akan berubah menjadi “gila agama, gila Pancasila, tapi krisis moral.” Agama dan Pancasila dipolitisasi sesuai keinginan dengan menghalalkan
berbagai macam cara demi tercapai ambisi politiknya.
Dulu kaum sekuler dan komunis berlindung di Pancasila untuk mengamankan diri. Agama dimusuhi dan dipecah-belah. Pancasila menjadi senjata sekaligus benteng persembunyian untuk misi sesat. Memperkuat kekuasaan dengan menciptakan musuh buatan yang disebut radikalisme, intoleran, ekstremisme bahkan terorisme. Penuh dengan prasangka dan kebencian menuduh bahwa kaum beragama adalah anasir berbahaya. Mengancam Pancasila.
Pancasila merupakan kesepakatan, perjanjian, dan keseimbangan politik. Bukan berhala. Karenanya dahulu ada diskursus Pancasila sebagai ideologi terbuka yang bisa didiskusikan. Hanya orang komunis yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Lalu dengan doktrin “membela Pancasila” semakin anti pada agama.
Mereka tidak menyadari bahwa ketika “gila Pancasila” kian berkembangbiak maka pada akhirnya “gila agama” pun akan turut berkecambah. Sudahlah, jadi waras itu lebih indah.