Waktu di sidang JR UU Adminduk soal kolom KTP di MK, Saya atas nama MLKI memberikan kesaksian dan pernyataan sebagai “pihak terkait”.
Saya nyatakan, bahwa kami lah para penganut agama/kepercayaan Nusantara yang berhak menyandang istilah agama, karena frase “AGAMA” adalah istilah asli Nusantara dari bahasa Kawi (Jawa/Sunda Kuno), karena dalam istilah Islam/Arab ada 3 istilah, yaitu : “NILAH, MILAH, dan DIN” (hasil diskusi saya dg KH. Aqil Siradj di CSIS), para penganut Hindu menyebutnya “DHARMA” (ini juga sudah saya konfirmasikan dengan tokoh Hindu dari India ketika ada diskusi tokoh-tokoh agama minoritas di Colombo-Srilangka, penganut Buddha menyebutnya “DHAMMA”, sedangkan istilah Barat/Eropa menyebutnya “RELIGION” yg di Indonesiakan menjadi RELIGI.
Saya nyatakan bahwa istilah agama ini kemudian diambil-alih dan diakui menjadi milik sistem keyakinan luar yang datang ke bumi Nusantara, sedangkan pemilik aslinya, secara politik tidak boleh menggunakan istilah agama, dan sebagai gantinya menjadi aliran “KEBATINAN, KEROHANIAN, KEJIWAAN” (padahal batin dan rohani adalah asal dari bahasa arab ketukar baju), yang kemudian belakangan istilahnya menjadi Kepercayaan (sering disebut Aliran Kepercayaan), yang kemudian sejak bernama SKK (1971) para pendahulu kita berjuang untuk menghilangkan istilah “aliran” dengan menggantinya menjadi Kepercayaan terhadap Tuhan YME, dan berhasil sehingga tahun 1973 masuk GBHN dengan istilah “Kepercayaan terhadap Tuhan YME”
Dalam sidang MK, saya katakan kami lah yang berhak menyandang kata agama karena dari bahasa Kawi, sebagaimana istilah gama-gama yang lainnya, seperti : dari(a)gama, adigama, tuhagama, gurugama, parigama, kartagama dan lain lain. Adalah ironis kami sebagai pemiliknya tidak boleh disebut agama, tapi justru semua yang dari luar disebut agama. Akibatnya, mengartikan istilah agamapun menjadi salah kaprah, menjadi a=tidak dan gama = kacau. Jadi kalau arti itu dipakai adigama = keutamaan kacau, gurugama=gurukacau, nagara kartagama yang terkenal jaman keemasan Majapahit jadi nagara sejahtera/teratur kacau ???.
(Waktu sidang saya cukup lama berdebat dengan Hakim MK Patrialis Akbar).
Istilah agama banyak disebut dalam berbagai naskah/manuskrip kuno karya warisan leluhur, seperti “Siksakanda Ng Karesian, Sewakadarma, Amanat Galunggung, Nagara Kretagama” dan pasti masih banyak terdapat dalam naskah/manuskrip kuna yang belum dialih-aksarakan yang masih numpuk di musium.
Akibat sejak tahun 1978 (jaman Orba) dalam GBHN disebutkan Kepercayaan terhadap Tuhan YME bukan agama dan pembinaannya tidak mengarah pada pembentukan agama baru, maka bawah sadar para penghayat (termasuk tokoh-tokohnya) ditekan untuk mengakui bahwa “kepercayaan bukan agama” dan takut bertentangan dengan pemerintah kalau disebut agama (apalagi ada traumatis masa DI/TII dan pasca G-30-S PKI, yang sangat ketakutan disebut PKI. Itulah sebabnya menurut analisis saya yang menjadi salah satu penyebab masih banyaknya penghayat yang sebetulnya murni, tapi belum berani melepas agama “impor” dalam identitas KTPnya.
Kesaksian dan pernyataan saya a/n MLKI dalam sidang MK menurut saya menjadi bahan pertimbangan Amar Putusan MK :
(1) Mengabulkan permohonan paranpemohon untuk seluruhnya.
(2) Menyatakan kata “agama” dalam.pasal 61 ……dst….. bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”
Yang berarti kepercayaan adalah agama juga, sehingga dalam pertimbangan hukumnya, bagi penghayat dalam kolom agamanya dicantumkan “penghayat kepercayaan”.
Jadi kita harus menghentikan pernyataan-pernyataan yang menyebutkan, penghayat adalah non agama. Dan hentikan perdebatan-perdebatan dan kegaduhan yang tidak kondusif soal identitas KTP. Biarkan proses waktu yang merubahnya, karena untuk merubah paradigma yang ditanamkan puluhan bahkan ratusan tahun, tidak mungkin bisa berubah dalam waktu cepat.
Teruslah kita bekerja memperjuangkan hak-hak kita yg belum sepenuhnya kita raih, sehingga kedudukan kita setara, bahkan harus menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri. Teruslah melangkah untuk memperbaiki citra kita sebagai penghayat, karena perlakuan diskriminasi sebagian besar akibat diri stigma negatif.
Terus berikan pemahaman kepada masing-masing warga di lingkungannya masing-masing yang masih belum berani menyatakan identitas yang sebenarnya.
Selain itu kita juga dituntut untuk membuat sistimatika tentang substansi kepercayaan itu sendiri yang menjadi babon (buku induk) bersama tentang kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Saya yakin,kalau semuan diskriminasi hilang dan kita bisa nyaman dengan beridentitas diri sebagai penghayat, maka orang tentu akan dengan senang hati merubah identitasnya, sesuai dengan prinsip dasar kepercayaan adalah “kasunyatan” , karena bagaimana mungkin kita “Manunggal kawulo-Gusti” kalau kita masih dengan sadar membohongi dirinya sendiri dan bohong pada orang lain.
(Engkus Ruswana)
Rahayu … Rahayu …
Totok Budiantoro
Koresponden MM.com