SECANGKIR ILMU PAHAM

Tingkat terbawah dalam ilmu itu adalah *”Faham”*.
Ini wilayah kejernihan logika berfikir dan kerendahan hati.
Ilmu tidak membutakannya, malah menjadikannya kaya. Kaya akan pemahaman dan kepahaman terhadap sesuatu.

Tingkat ke dua terbawah adalah *”kurang Faham”*.
Orang kurang paham akan terus belajar sampai dia paham, dia akan terus bertanya untuk mendapatkan “simpul-simpul pemahaman yang benar”

Naik setingkat lagi adalah mereka yang *”salah Faham”*. Salah paham itu biasanya karena emosi dikedepankan, sehingga dia tidak sempat berfikir jernih. Dan ketika mereka akhirnya paham, mereka biasanya meminta maaf atas kesalah-pahamannya. Jika tidak, dia akan naik ke tingkat tertinggi dari ilmu.

Nah, tingkat tertinggi dari ilmu itu adalah *”gagal Faham”.*
Gagal faham ini biasanya lebih karena “kesombongan dan mengingkari kebenaran akan sesuatu”.

Karena sudah merasa berilmu dan merasa lebih faham dari semua Orang, sehingga dirinya sudah tidak mau lagi menerima ilmu dari orang lain, atau diistilahkan dengan Silopsisme.
Tidak mau lagi menerima masukan dari siapapun (baik itu nasehat dan lain sebagainya), atau pilih-pilih hanya mau menerima ilmu, saran dan nasehat dari yang dia sukai saja, bukan ilmu yang disampaikan, tapi siapa yang menyampaikan kepadanya.

Tertutup hatinya.
Tertutup akal pikirannya.
Tertutup pendengarannya.
Tertutup logikanya.

Dirinya selalu merasa cukup dengan pendapatnya sendiri, dan lebih parahnya lagi, dia tidak menyadari bahwa pemahamannya yang gagal itu, menjadi bahan tertawaan orang yang telah paham.

Dia tetap dengan pendirian dirinya,
dan dia bangga dengan
ke-gagal faham-annya.

Kok “faham” berada di tingkat terbawah dan “gagal faham” berada di tingkat yang paling tinggi ?, “Apa tidak terbalik ?”

*Filosofisnya,”* seseorang yang semakin faham akan sesuatu maka akan bersifat dan berprilaku “semakin membumi, menunduk, dan merendah”.
Dia menjadi semakin bijaksana, karena akhirnya dia tahu, bahwa sebenarnya banyak sekali ilmu yang belum dia ketahui, dia merasa seakan-akan dia belum tahu apa-apa, dan dirinya selalu merasa harus terus belajar dan membaca secara terus menerus seumur hidupnya.
Dia terus mau menerima ilmu, darimana-pun ilmu itu datangnya.
Dia tidak melihat siapa yang bicara, tetapi dia melihat, Ilmu hikmah apa yang disampaikan kepada dirinya.

Dia faham, Ilmu itu ibarat seperti air, dan prinsip air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Semakin dia merendahkan hatinya, semakin tercurah ilmu kepadanya (istiqomah).

Sedangkan gagal faham itu ilmu tingkat tinggi.
Dia merasa seperti Balon Mas yang berada di atas awan. Dia terbang tinggi dengan “kesombongannya”
menganggap dan memandang rendah ke-ilmuan Orang lain yang tak sepaham dengannya, dan merasa “akulah yang paling benar, dan akulah kebenaran itu”.
“Masalahnya”, dia tidak mempunyai pijakan yang kuat, sehingga mudah ditiup angin, dan diterpa gelombang sehingga terombang-ambing tanpa mampu menolak serta sering berubah arah, tanpa arah kejelasan yang pasti.

Akhirnya dia terbawa kemana-mana sampai terlupa jalan pulang, dia “tersesat” dengan pemahamannya yang keliru dan semu. Yang pada akhirnya nanti lambat laun akan dibinasakan oleh kesombongannya dan keingkarannya sendiri. Dia akan mengakui ke-gagal pemaham-annya, dengan rasa penyesalan yang amat sangat mendalam.

“Jadi yang perlu diingat,
akal akan berfungsi dengan benar, ketika hatimu merendah, dan ketika hatimu meninggi, maka ilmu juga-lah yang akan membutakan si pemilik akal”.
“Ternyata disitulah kuncinya”. Diibaratkan “Lidah orang bijaksana, berada didalam hatinya, dan tidak pernah melukai hati siapapun yang mendengarnya”, tetapi hati ” seorang dungu”, berada di belakang lidahnya, selalu hanya ingin perkataannya saja yang paling benar dan harus didengar (silopsisme)”.

“Ilmu itu bersifat open ending”
Semakin digali semakin terasa dangkal.
“Jadi kalau ada seorang yang merasa sudah tahu segalanya, berarti dia belum tahu apa-apa”.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com