Oleh:
Daniel Mohammad Rosyid.
Mendikbud Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan Kampus Merdeka setelah kebijakan Belajar untuk pendidikan dasar dan menengah. Kedua kebijakan itu memiliki semangat yang sama : agar siswa dan mahasiswa tidak menghabiskan waktu di sekolah dan kampus. Artinya jam bersekolah dan berkuliah dikurangi, sisdan mahasiswa didorong agar memiliki pengalaman di luar sekolah dan kampus.
Untuk Kampus Merdeka, para rektor sudah mulai bertemu untuk membicarakan konsekuensi dari kebijakan Kampus Merdeka ini. *Kompartementalisasi kaku yang menjadi ciri khas kampus selama ini akan jebol*. Belajar secara lintas disiplin, ataupun multi disiplin didorong agar terjadi lebih banyak. Magang di dunia kerja diberi bobot belajar yang lebih besar. Kebijakan merdeka belajar akan menghasilkan pelajar yang lebih dewasa dan mandiri.
Departemen di kampus akan fokus pada konpetensi inti yang menjadi penciri khas departemen tersebut. Perkuliahan di luar kompetensi intinya bisa diambil di departemen, fakultas atau kampus lain yang lebih ahli. Mahasiswa Teknik Kelautan ITS bisa mengambil mata kuliah Sosiologi Pesisir di Departemen Sosiologi Universitas Jember.
Kecepatan pertumbuhan _body of knowledge_ penciri sebuah departemen akan berjalan cepat sehingga ketrampilan belajar menjadi jauh lebih penting daripada penguasaan materi kuliah. Mata Kuliah alat seperti logika, matematika, statistik, dan bahasa menjadi makin penting sementara sikap jujur, amanah, dan peduli yang penting bagi setiap pembelajar harus dirasakan sebagai atmosfer akademik yang hidup dan mencerdaskan di kampus.
Kampus merdeka mensyaratkan mahasiswa yang sudah mandiri belajar sebagai hasil dari pendidikan dasar yang membentuk jiwa merdeka. Mahasiswa yang tidak dewasa dan mandiri belajar akan menjadi beban bagi kampus merdeka yang berfokus pada _knowledge production and innovation_.
Banyak kampus saat ini didirikan sekedar untuk menutup-nutupi kegagalan pendidikan dasar dan menengah menyediakan calon mahasiswa yang dewasa dan mandiri belajar. Kegagalan ini sebagian disebabkan oleh pandangan bahwa pendidikan tinggi adalah sekedar kelanjutan pendidukan menengah. Pendidikan tinggi disebut pendidikan tertier, sedangkan pendidikan menengah disebut pendidikan sekunder. Ini keliru.
*Pendidikan tinggi bukan kelanjutan dari pendidikan menengah*. Tradisi kampus sudah ada jauh sebelum tradisi sekolah. Oxford dan Cambridge sudah ada sebelum sekolah-sekolah diadakan untuk meyediakan buruh trampil di Inggris sekitar 200 tahun lalu. Untuk kuliah, syaratnya bukan lulus SMA, tapi kedewasaan dan kemandirian. Pendidikan menengah seharusnya pendidikan yang tuntas menyiapkan pemuda yang mandiri belajar dan siap bekerja, bukan untuk menyiapkan calon mahasiswa. Calon mahasiswa diambil dari warga masyarakat yang sudah mandiri dengan kemampuan akademik tertentu. Tidak semua lulusan pendidikan menengah harus melanjutkan kuliah untuk mandiri dan sukses dalam bekerja.
*Kinerja universitas di Indonesia tertinggal* karena dibebani oleh mahasiswa yang tidak memiliki bakat akademik yang dibutuhkan tapi juga tidak mandiri dan kurang dewasa. Banyak kampus hanya menjadi _diploma mills_ alias pabrik ijazah, gagal menyediakan kolam kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi bangsa yang produktif dan kreatif.
Gunung Anyar, 10/2/2020