*Surabaya,MenaraMadinah*-Menjamurnya jurnalisme warga (Cityzen Jurnalism) di Indonesia belum memiliki payung hukum.yg jelas. Banyak penulis yg dengan mudah terjebak dalam pasal Ujaran Kebencian di UU ITE. “Karena itu pemerintah wajib memikirkan nasib jurnalis warga ini,” kata H Surya Aka, saat pidato Hari Pers Nasional usia menerima penghargaan Cityzen Jurnalism terbaik Indonesia versi website Menara Madinah Surabaya.
Penghargaan diserahkan bersama 24 jurnalis dan 24 spiritualis terbaik di Prime Hotel Surabaya Minggu 9 Februari 2020.
Menurut Aka, gagasan penghargaan ini akan menjadi lebih bersemangat para jurnalis nitklizen di Era Melenial.
Nitizen Jurnalism adalah kreasi masyarakat, dalam menikmati kebebasan berpendapat. Tumbuh subur walaupun atas semangat swadaya/sukarela.
Harusnya pemerintah memberikan perlindungan hukum.
Hari Pers tahun ini, kata Aka, ditandai banyaknya masyarakat korban UU ITE. Karena UU ini mengandung kelemahan.
Pertama, tidak ada pasal yg menunjuk lembaga yg berperan jadi penengah bila terjadi konflik antar media dan warga. Sehinga warga yg dirugikan lamgsung lapor polisi. Ancamannya penjara.
Beda dengan UU 40/99 tentang Pers menunjuk Dewan Pers yg menengahi konflik pers. Hukuman paling keras dipecat dari wartawan dan bisa dipidana.
Begitu juga UU 32/2002 tentang Penyiaran. Bila konflik atau warga dan stasiun tv maka dimediasi KPI Komisi Penyiaran Indonesia..”Hukuman paling berat ditutup programnya. Tidak sampai dipenjara, tandas Aka yg juga ketua Umum DPP FORSA (Fans Of Rhoma and Soneta).
Oleh karena itu Aka mengusulkan amandemen agar UU ITE direvisi atau membuat UU baru agar Jurnalisme Warga diakui keberadaannya. “Belum lagi aplikasi Youtube. Siapa yg berwenang mengawasi tayangan Youtube?. Bukan KPI juga bukan Dewan Pers.” Husnu Mufid