Oleh : Dina Sofia, S.Pd*
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa telah melewati perjalanan panjang hingga akhirnya dikukuhkan sebagai bahasa persatuan pada kongres pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda”.
Keberadaan bahasa Indonesia di tengah keberagaman budaya Indonesia khususnya keberagaman bahasa sangatlah penting, mengingat Indonesia memiliki kurang lebih 652 bahasa daerah berdasarkan data terakhir Badan Pengembangan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jumlah bahasa daerah tersebut diperkirakan akan terus bertambah karena pendataan masih berlangsung.
Apa jadinya Bangsa Indonesia tanpa Bahasa Indonesia ? Sudah barang tentu tanpa bahasa Indonesia akan sulit sekali terjalin komunikasi antar daerah, pulau, suku, ras, dan antargolongan yang notabene memiliki bahasa daerah masing-masing.
Oleh sebab itulah maka bahasa Indonesia juga merupakan jati diri dari bangsa Indonesia.
Namun, seiring perkembangan zaman, arus teknologi, dan komunikasi yang berkembang cepat dan pesat saat ini seolah-olah telah menenggelamkan posisi bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia tidak lagi digunakan sebagaimana standarnya. Ajakan-ajakan pada poster dan slogan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar hanya sebatas hiasan saja. Bahkan dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun siswa banyak yang tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sering ditemukan tuisan-tulisan yang disingkat seenaknya, kata-kata yang dibentuk semaunya, dengan alasan lebih efisien, “toh”, bapak ibu guru dan siswa lainnya paham akan kata-kata dan tulisan tersebut. Terlebih lagi keberadaan media sosial yang digunakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat khususnya siswa semakin menjauhkan bangsa ini pada penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan tak jarang ditemukan penggunaan kata-kata yang belum tentu semua orang mengerti maknanya. Bahasa gaul atau _alay_ mereka menyebutnya.
Sejauh ini, tak ada aturan atau undang-undang yang melarang penggunaan bahasa gaul atau _alay_ mengingat bahasa sendiri merupakan alat komunikasi mana suka, setiap orang berhak dengan bebas menggunakan bahasa apa saja yang penting komunikan dan komunikator saling memahami sehingga tidak heran jika bahasa gaul atau _alay_ banyak ditemukan dalam komunikasi sehari-hari.
Diakui atau tidak pengguna bahasa _alay_ terbesar adalah generasi muda bangsa ini, yaitu siswa. Generasi yang menjadi penentu akan dibawa ke mana bangsa ini. Akan di bawa ke mana bahasa Indonesia nanti. Tanpa disadari mereka merusak bahasa Indonesia sendiri. Miris bukan ?
Lantas siapakah yang akan mempelajari, menggunakan, dan melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar ? Bahasa Indonesia yang merupakan jati diri bangsa Indonesia ?
Seolah-olah semakin maju teknologi informasi, bangsa ini semakin lemah menujukkan jati dirinya. Kita semakin tak berdaya tergerus oleh arus teknologi dan informasi. Kita semakin terlena oleh media sosial yang menyajikan penyampaian informasi dalam hitungan detik.
Ini adalah tanggung jawab kita semua. Jika kita belum mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar, paling tidak kita jangan memperburuk “rusaknya” bahasa Indonesia. Bolehlah menggunakan bahasa gaul atau _alay_ dalam komunikasi khususnya di media sosial tetapi perlu dibatasi.
Semakin sering berbahasa _alay_, semakin hanyut jati diri bangsa ini. Akhirnya, tidak menutup kemungkinan bahasa Indonesia akan tenggelam dalam “kealayan” anak bangsa Indonesia sendiri.
*Penulis adalah Guru bahasa Indonesia di MAN 3 Jember