Bass Jegug Simbol Kemandirian Milik Tuan Tanah

 

Ahad siang, tiga hari lalu saya bersama Cak Kholisul Fatikhin, Redaktur Pelaksana kediripedia.com bergerak ke selatan. Kang Huda Badot dan Abass Toktok mengabari, temannya berniat menjual bass jegug, alat musik betot akustik. Bersama dua pemuda pemburu besi tua itu kami menembus hujan lebat menuju Dusun Dlangkup, Desa Pojok, Ngantru, Tulungagung.

Dedik Prayogo nama pemilik bass tua. Lajang kelahiran 1995 itu mantan pemain sepakbola yang cukup ternama di sekitar Tulungagung, Blitar, hingga Malang. Di saat karirnya cemerlang, dia mengalami cedera lutut saat bertanding. Manajemen timnya tak mau menanggung biaya pengobatan. Sepatu bola pun digantung, banting stir berdagang baju bekas impor, populer disebut gombek (gombal bekas).

Dua tahun sukses sebagai saudagar, bisnisnya lesu. Gombek susah didapat karena pengepul tak lagi mendatangkan baju negeri manca. Dedik kembali ganti haluan, berburu benda vintage. Belum terasa hasilnya, tapi di rumahnya terkumpul barang lawas dari berbagai era.

“Bass jegug ini dulu milik tuan tanah di kampung sebelah. Ahli waris menjual semua alat musiknya,” kata Dedik.

Meskipun masih tegak, kondisi bass akustik yang kerap dipakai bermain musik keroncong dan jazz, cukup memprihatinkan. Tapi ya sudahlah. Kami angkut saja, siapa tahu bisa diperbaiki. Minimal buat penghibur teras redaksi. Vespa VBB 1964 buluk yang teronggok di depan rumah Dedik kami angkut sekalian, atas permintaan keluarga.

Saat pamit pulang, Ibu Tuminah, ibunda Dedik ikut mengantarkan kami. “Dedik ini anak bungsu saya, tiga kakaknya sudah berkeluarga. Dia anak baik,” kata beliau.

Bu Tuminah benar. Dedik, juga Huda Badot dan Abbas Toktok, adalah para pemuda baik. Mereka hidup dalam ruang kemandirian yang menggetarkan. Meskipun negara berencana menggaji kaum pengangguran, saya yakin mereka lebih memilih hidup merdeka dari hasil kucuran keringat sendiri.

Dwidjo Maksum