Pasukan Elit Marsose Belanda Yang Berasal Dari Pribumi Asli Ambon, Batak, Makasar dan Madura

Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (tentara kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilyawan di Aceh. Berikut ini :

Marsose ditugaskan di Hindia Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Sisingamangaraja XII di Sumatra Utara, yang pada tahun 1907 berhasil mengalahkan dan menewaskan Sisingamangaraja XII. Pada Perang Aceh, Marsose dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan Aceh.

Mulanya, sebenarnya Belanda terlalu menganggap enteng menaklukan wilayah Aceh yang dirasa “cukup mudah ditaklukan”. Nyatanya, dari tahun 1873 hingga awal tahun 1880, Belanda memperoleh begitu banyak kerugian. Bahkan nilainya mencapai 115 juta florin. Biaya yang begitu besar dibanding hasil yang didapat.

Belanda dalam kurun waktu tersebut, hanya sanggup menguasai Aceh dalam luas wilayah sebesar 74 Km2. Artinya, Belanda hanya mampu menguasai kota Raja (Keraton) dan Masjid Raya Aceh saja. Di luar itu, Belanda tak memiliki kuasa apapun. Artinya, sebenarnya Belanda dikepung pasukan gerilyawan Aceh. Dan hal ini pula yang justru menguntungkan pasukan Aceh. Musuh mereka, yakni Belanda bagaikan digiring di satu titik pertempuran saja. Sehingga memudahkan para gerilyawan Aceh untuk melakukan serangan taktis yang menghasilkan efek yang besar.

Dan Belanda, benar-benar menganut paham “Gecocentreerde Linie” atau pola bertahan yang sangat konvensional. Dari serangkaian kegagalan yang dialami Belanda tersebut, sampailah mereka pada kesepahaman bersama bahwa Belanda harus berbehan dalam menghadapi Aceh.
Belanda akhirnya mempekerjakan seorang Antropolog untuk meneliti perihal masyarakat Aceh. Ditunjuklah seorang bernama Snouck Hurgronje seorang Antropolog untuk “memata-matai” masyarakat Aceh yang sukar dikalahkan dalam peperangan tersebut. Salah satu tugas Hurgronje adalah menyelidiki lebih dalam kondisi sosial budaya masyarakat Aceh, agar, Belanda dapat masuk dan menguasai masyarakat Aceh.

Dalam serangkaian cara untuk menguasai Aceh, lahirlah sebuah ide yang berasal dari seorang Minang bernama Mohammad Syarif. Ia mencetuskan pembentukan korps pasukan khusus yang dibentuk untuk menghadapi gerilyawan Aceh. Syarif sendiri merupakan seorang pribumi yang pro terhadap Belanda. Ia memberikan usulannya tersebut pada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn dan juga kepada Kepala Staf Militer J.B. van Heutsz. Dari usulan tersebut, akhirnya dibentuk sebuah pasukan elit bernama pasukan Marsose atau dikenal pula dengan sebutan Korps Mareschausse yang didirikan pada tanggal 2 April 1890 dan tercatat dalam sebuah surat keputusan yang ditandatangani Ratu Belanda yang berjudul “Staatsblad Van Nederlandsch Indie”.

Korps ini bukan sembarang korps. Melainkan sebuah tentara bayaran berdarah dingin yang anggotanya merupakan pribumi. Hanya pimpinannya saja yang berdarah Belanda. Keunggulan yang ditawarkan oleh pasukan ini adalah karena mereka pribumi yang dilatih khusus, mereka akan lebih mengenal musuh mereka yakni sesama pribumi. Artinya, bisa dikatakan, korps Marsose ini ditugaskan untuk membunuh saudara mereka sendiri. Dengan peralatan canggih di zamannya dan gaji besar, pasukan Marsose dikenal sebagai pasukan elit berdarah dingin.

Yusuf

Jurnalis Citizen