Wawan: Nguri-Nguri Bahasa Daerah Untuk Memperkuat Bahasa Nasional

Tulungaging-menara madinah.com-Budayawan Wawan Susetya didaulat memberikan materi diskusi pertama agenda Bulan Suci Bahasa 2019 (21-28 Oktober) di IAIN Tulungagung dengan tema “Bahasa Dan Budaya” usai dibuka oleh Dr. Mohammad Jazeri, M.Pd di aula UKM IAIN Tulungagung kemarin (21/10).

Acara diskusi tersebut diikuti sekitar 200-an orang mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia. Hadir pula Kajur Bahasa Indonesia, Dr. Erna Iftanti, SS, M.Pd dan beberapa orang dosen Bahasa Indonesia lainnya.

Dalam agenda bulan bahasa itu tanggal 21-28 Oktober itu, selain diisi para dosen IAIN Tulungagung, juga nara sumber dari luar. Puncaknya bedah buku Muhidin M. Dahlan yang berjudul Izinkan Aku Jadi Pelacur.

Dalam kesempatan diskusi pertama kemarin, Wawan Susetya mengingatkan kembali mengenai sejarah kongres pemuda I dan II. Kongres I dilaksanakan di Batavia (Jakarta) tanggal 30 April-2 Mei 1926 diketuai oleh Muhammad Tabrani yang menghasilkan kesepakatan bersama mengenai kegiatan pemuda pada segi sosial, ekonomi, dan budaya yang diikuti seluruh organisasi pemuda saat itu seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Betawi, dan sebagainya.

Sementara Kongres pemuda II dilaksanakan tanggal 27-28 Oktober 1928 dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito7 dari PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) yang menghasilkan keputusan penting yang disebut Sumpah Pemuda dan menetapkan Lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman sebagai lagu kebangsaan, stanza 1-3.

Meski dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 telah dipilih bahasa nasional atau bahasa persatuan yang diadopsi dari Bahasa Melayu, namun menurut Wawan, hal itu hendaknya tidak menjadikan kurangnya perhatian terhadap bahasa daerah sesuai sukunya masing-masing sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama. Misalnya mahasiswa yang kebetulan sebagai orang Jawa hendaknya senantiasa nguri-uri (melestarikan) Bahasa Jawa yang kaya makna terutama mengenai falsafah tentang hidup dan kehidupan.

Sementara, dipilihnya Bahasa Melayu pada saat itu merupakan keputusan politik yang berkenaan untuk menyatukan kekuatan politik, sosial, dan budaya dalam mendefinisikan bangsa Indonesia dengan tiga alasan, yakni;

Pertama, Bahasa Melayu telah menjadi bahasa penghubung (lingua franca) dalam kegiatan perdagangan di Nusantara saat itu.

Kedua, Bahasa Melayu sudah meluas dan telah digunakan bahasa pers dan penerbitan.

Ketiga, Bahasa Melayu merupakan bahasa yang demokratis.

Dalam diskusi yang dipandu moderator Erfan Fauzi itu, Wawan mengemukakan pentingnya pengertian bahwa Bangsa Indonesia atau Nusantara itu terdiri berbagai macam suku seperti Jawa, Sunda, Bugis, Batak, Dayak, Madura, dan sebagainya dan beragam agama pula seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Khonghucu, dan Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME. “Selama ini seperti ada kesan seolah-olah semua suku dan agama tadi dinegasikan (di-tidak-kan) karena dianggap primordial. Padahal bangsa Indonesia (Nusantara) itu keseluruhan dari suku-suku dan agama-agama tersebut yang semestinnya bebas mengekspresikan agama maupun kesukuan mereka masing-masing,” tandasnya.

Oleh karena itu, imbuh Wawan, jangan hilangkan bahasa daerah kita masing-masing, justru sebaliknya diharapkan dapat memperkuat khasanah Bahasa Indonesia, bahasa nasional dan bahasa persatuan. Dia menghimbau untuk menjaga bahasa daerah kita, misalnya kita yang lahir sebagai suku Jawa, tentu dengan memperdalam pengetahuan kita untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab Bahasa Jawa, bagi orang Jawa, merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama.

“Belum lagi kalau kita mau menggali khasanah falsafah atau filosofi mengenai aksara Jawa yang sarat dengan makna hidup dan kehidupan, yakni; hanacaraka, data sawala, padha jayanya, maga bathaga,” ujar Wawan seraya mengurai makna falsafah aksara Jawa yang sangat mendalam.   

Wawan pun mengurai kehebatan leluhur atau nenek moyang orang Jawa yang bukan hanya sekedar memiliki sastra Jawa yang adiluhung (sebagian menggunakan Bahasa Kawi), tetapi juga memiliki khasanah sastra yang disebut Sastra Jendra Hayuningrat atau disebut pula Sastra Cetha Wadiningrat, Pangruwating Diyu yang identik dengan Sastra Tanpa Papan, Sastra Tanpa Tulis. Sastra-budaya Jawa itu maknanya ilmu yang bertujuan untuk memayu hayuning bawana (menyelamatkan atau memakmurkan bumi seisinya). Ilmu ini identik dengan membaca ayat alam yang tergelar di jagad raya (ayat kauniyah) dan membaca kedalaman ruang hati yang paling dalam (nurani) melalui tapa brata, yang hasilnya sinkron dan tak bertentangan dengan Kitab suci al-Qur’an (ayat tertulis).

Budaya

“Barangkali kita masih ingat dengan semboyan Bung Karno Sang Proklamator RI mengenai Trisakti bahwa sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal,” kata Wawan seraya menyebutkan tiga poin Trisakti yakni;

Pertama, berdaulat di bidang politik

Kedua, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi

Ketiga, berkepribadian di bidang kebudayaan.

Menurutnya, pemikiran Bung Karno itu akan dapat menyusun kekuatan dan pembangunan bangsa sekaligus sebagai character building kita.

Wawan mengingatkan bahwa kita harus waspada terhadap upaya serangan dari pihak luar, misalnya yang akan menghancurkan bangsa kita.

“Untuk menghancurkan suatu bangsa, maka yang pertama kali dilakukan adalah merusak budayanya. Dan salah satu bagian penting dari budaya adalah bahasanya. Maka bahasa menunjukkan bangsanya,” tandasnya.  

Begitulah pentingnya dalam upaya memelihara atau melestarikan bahasa, terutama bahasa ibu atau bahasa pertama yaitu Bahasa Jawa. Penggunaan Bahasa Indonesia sekarang ini seolah-olah hanya bersifat formalitas, bahasa baku, yang hanya digunakan dalam acara-acara resmi.

Dalam konteks ini, urai Wawan bahwa budaya atau kebudayaan dimaknai sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi hidupnya yang kompleks yang mencakup sebagai berikut Unsur Bahasa, Sistem keyakinan.kepercayaan (hukum adat, susila), Ilmu Pengetahuan, Teknologi atau kecakapan, Sistem Kemasyarakatan/Kekerabatan, Ekonomi (Mata Pencaharian) dan Kesenian.

Tak lupa Wawan juga menyitir pandangan Ki Rangga Warsita dalam Serat Wirid Hidayat Jati mengenai pujangga. Bahwa untuk menjadi pujangga ada 8 (delapan) syarat yang harus dikuasai, yakni;

Parama Sastra; yakni mahir dalam hal sastra.

Parama Kawi; yakni mahir dalam memakai Bahasa Kawi.

Mardi Basa; yakni paham memainkan kata-kata dalam perbendaharaan bahasa.

Mardawa Lagu; mahir dalam seni suara (tembang).

Awicarita; yakni pandai berbicara, bercerita atau pun mengarang.

Mandraguna; yakni menguasai kepandaian/pengetahuan yang kasar maupun yang halus.

Nawungkridha; yakni menguasai pengetahuan lahir dan batin serta arif-bijaksana dan awas waskitha.

Sambegana; yakni memiliki daya ingatan yang kuat/tajam.

Sementara, tambah Wawan, bahwa dalam wilayah Sastra kita mengenal, antara lain;

Pujangga lama dalam Bahasa Melayu, dengan karya syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Tokohnya antara lain Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, dan sebagainya.

Pujangga Balai Pustaka, tokohnya Merari Siregar, Marah Roesli, Mohammad Yamin, dll

Pujangga Baru, tokohnya Sutan Takdir Alisyahbana, Armin Pane dll.

Setelah sesi tanya jawab, moderator mengakhiri diskusi sore itu dengan pemberian piagam penghargaan kepada Wawan Susetya.

Pewarta:

Wawan Susetya