Jember, 17 Oktober 2019-menaramadinah.com- Universitas Jember menambah tiga orang profesornya. Dua orang profesor baru berasal dari Fakultas Kedokteran Gigi, yakni Prof. Dr. drg. Herniyati., M.Kes., sebagai guru besar bidang Ortodonti. Kedua, Prof. Dr. drg. Ristya Widi Endah Yani., M.Kes., sebagi guru besar di bidang Ilmu Kedokteran Gigi Masyarakat. Sementara itu profesor ketiga adalah Prof. Dr. Drs. Hadi Prayitno, M.Kes., dari FISIP yang meraih predikat guru besar di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat. Ketiganya dikukuhkan secara resmi sebagai guru besar dalam rapat terbuka senat Universitas Jember yang dilaksanakan pada hari Kamis, 17 Oktober 2019 di Gedung Soetardjo.
Dalam pidato pengukuhannya, Moh. Hasan, Rektor Universitas Jember mengingatkan bahwa profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi seorang dosen. Sebagai jabatan tertinggi tentu dalam mencapainya tidaklah mudah, diperlukan usaha kuat untuk mencapainya.
“Oleh karena itu saya berharap dalam konteks keilmuan, seorang profesor harus mampu memainkan peran sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan menjadi inovator yang membimbing para koleganya. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, kehadiran profesor baru diharapkan meningkatkan kinerja Universitas Jember agar mampu memberikan sumbangan pencapaian SDGs 2030 mendatang yang juga berarti mengusahakan kesejahteraan masyarakat,” ungkap Moh. Hasan.
Dengan tambahan tiga profesor ini, maka semenjak berdirinya di tahun 1964, Universitas Jember telah menghasilkan 84 profesor. “Dari data yang ada, jumlah profesor yang masih aktif mengajar di Kampus Tegalboto sejumlah 50 profesor dengan catatan tiga orang profesor tengah mendapatkan penugasan di luar Universitas Jember. Selain itu masih ada tujuh dosen yang saat ini pengurusan guru besarnya masih berproses di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,” jelas Agung Purwanto, Kepala Humas dan Protokol Universitas Jember di sela-sela pengukuhan tiga profesor baru.
Temukan Kopi Sebagai Obat Percepat Perawatan Gigi Pada Pemakai Behel
Profesor pertama yang akan dikukuhkan adalah Prof. Dr. drg. Herniyati, M.Kes., yang akan membawakan orasi berjudul Potensi Kopi Pada Proses Remodeling Jaringan Periodontal Gigi Untuk Mempercepat Perawatan Ortodonti. Menariknya, profesor yang turut membidani kelahiran Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember ini mengangkat potensi kopi sebagai bahan obat bagi mereka yang tengah melakukan perawatan ortodonti. Ortodonti sendiri adalah bidang di ilmu kedokteran gigi yang fokus pada bagaimana memperbaiki atau membetulkan letak gigi.
“Sering kita lihat seseorang yang kebetulan letak giginya tidak beraturan kemudian harus memakai behel gigi untuk memperbaiki letak giginya. Nah pemakaian behel gigi ini cukup lama, bisa mencapai dua hingga tiga tahun tergantung pada kondisi giginya. Selama memakai behel gigi maka pasien harus cermat merawat giginya sebab jika lalai merawat maka justru berpotensi menimbulkan penyakit pada gigi dan gusi. Bentuk perawatan bisa berupa menyikat gigi dengan sikat gigi khusus hingga obat yang diminum atau dioleskan pada gigi. Masalahnya kemudian, obat yang ada masih obat kimia yang memiliki potensi efek samping,” jelas Prof. Herniyati.
Ternyata Prof. Herniyati menemukan kopi berpotensi sebagai obat untuk mempercepat pemulihan bagi pemakai behel gigi. Menurutnya kopi memiliki kandungan kafein dan antioksidan, dua unsur yang bermanfaat dalam mempercepat pemulihan bagi pasien pemakai behel gigi. “Hasil penelitian saya di laboratorium pada tikus percobaan, maka pemberian ekstrak kopi mempercepat pergerakan gigi ortodonti. Hal ini karena efek kafein pada peningkatan osteoklastogenesis melalui peningkatan Receptor Activator of Nuclear Factor. Sementara itu kandungan aktioksidan pada kopi meningkatkan jumlah firoblas ligamen periodontal,” ungkapnya lagi.
Potensi kopi sebagai obat untuk mempercepat pemulihan bagi pasien pemakai behel gigi diharapkan menjadi alternatif pengobatan baru mengingat bahannya alami sehingga meminimalkan efek samping. “Memang masih perlu penelitian lanjutan agar ditemukan komposisi yang pas berapa dosis kopi yang tepat untuk diberikan kepada pasien. Saat ini saya terus meneliti bagaimana agar obat berbahan kopi tadi akan dipatenkan dan rencananya akan saya proses sehingga berbentuk kapsul atau gel sehingga memudahkan dalam pemakaiannya,” kata Prof. Herniyati. Dirinya juga berharap, temuannya ini membuka pemanfaatan potensi kopi yang lebih luas mengingat kopi menjadi salah satu produk andalan Jember dan Besuki Raya.
Awas, Karies Rampan Bisa Jadi Pintu Masuk Stunting
Seringkali kita mendapati balita yang giginya menghitam atau gigis dalam bahasa Jawa, gigi gigis ini dalam ilmu kedokteran gigi disebut sebagai karies rampan. Sayangnya kondisi ini dianggap biasa oleh banyak orang tua, pasalnya mereka berpikir toh nanti gigi gigis akan tanggal dan kemudian digantikan dengan gigi permanen. Padahal balita yang menderita karies rampan maka dipastikan akan kesulitan mengunyah makanan, susah tidur di malam hari, hingga meningkatkan potensi anemia pada anak. Balita penderita karies rampan juga berpotensi memiliki gigi permanen yang bermasalah di saat dewasa kelak.
“Jika anak susah mengunyah makanan maka zat penting dalam makanan tidak bisa diserap sempurna oleh tubuh sehingga asupan gizi bakal berkurang. Anak yang menderita karies rampan akan sering demam sehingga susah tidur di malam hari, padahal 50 persen hormon pertumbuhan anak bekerja di malam hari. Penderita karies rampan juga mengeluarkan sekresi berlebih akibat metabolismenya terganggu yang berpotensi menimbulkan anemia pada anak. Artinya karies rampan bisa jadi pintu masuk stunting,” begitu kata Prof. Ristya Widi serius.
Profesor termuda di Universitas Jember ini lantas memaparkan hasil penelitiannya tahun 2014 di wilayah Puskesmas Kenjeran Surabaya kala menyelesaikan studi doktoralnya. Dari data yang didapatnya, pada balita yang menderita kurang gizi, dari 20 gigi susu yang dimilikinya maka 10 gigi susu terkena karies rampan. Kondisi lebih buruk terjadi pada balita yang menderita gizi buruk, sebab dari 20 gigi yang dimiliki maka 18 gigi susu terkena karies rampan. Data ini sesuai dengan data prevalensi balita di Indonesia yang menderita karies rampan yang mencapai 90,05 persen. “Padahal masa balita adalah periode emas dalam masa pertumbuhan, jika di masa balita tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup maka pertumbuhan fisik dan psikisnya juga tidak maksimal,” kata profesor yang menyelesaikan S1 Kedokteran Giginya di Universitas Jember ini.
Menurut pegiat gowes di Kampus Tegalboto ini, karies rampan dapat terjadi karena dua hal, yakni kebiasaan anak yang salah dan kekurang pahaman orang tua. Kebiasaan yang salah dan kekurang pahaman tadi antara lain membiarkan balita makan makanan manis secara berlebihan, dan membiasakan balita minum susu dengan cara memakai botol susu atau ngedot, apalagi sambil tidur. “Sebenarnya makan makanan manis boleh saja, asal setelah makan segera gosok gigi. Kemudian jangan biasakan balita minum susu dengan cara ngedot sebab susu formula yang mengandung gula akan terkumpul di mulut, apalgi jika dilakukan balita sambil tidur. Sebaiknya selepas diberi ASI, balita dibiasakan minum susu dengan gelas khusus, jangan memakai botol susu dengan dot,” saran Prof. Ristya Widi.
Untuk mengatasi balita penderita karies rampan, Prof. Ristya menyarankan upaya pencegahan sebagai cara yang paling efektif. “Caranya dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan sosialisasi bagaimana menjaga kesehatan gigi dan mulut mulai bagi balita termasuk bagi orang tuanya. “Bisa dimulai di tingkat sekolah seperti di TK, Posyandu, sekolah hingga sosialisasi bagi para orang tua. Harapannya balita Indonesia terbebas dari karies rampan dan terbebas juga dari stunting,” pungkas Prof. Ristya yang akan membawakan orasi berjudul Karies Rampan Dan Kurang Gizi Pada Balita.
Medical Social Work Berperan Penting Dalam Penanganan Problema Psikososial ODHA
Angka penderita penyakit HIV/AIDS atau yang lebih dikenal dengan istilah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia termasuk di Jember makin meningkat. Tentunya penanganan ODHA memerlukan penanganan yang komprehensif, baik di sisi kesehatan maupun non kesehatan termasuk di dalamnya penanganan problema psikososial ODHA. “Para ODHA sering kali mengalami problema psikososial seperti mendapatkan stigma negatif, tidak mendapatkan pekerjaan, dijauhi hingga dikucilkan. Perlakuan ini membuat para ODHA cemas, rendah diri, menarik diri dari pergaulan hingga ada yang bunuh diri,” tutur Prof. Hadi Prayitno memulai bahasannya yang dituangkan dalam orasi berjudul Problema Psikososial ODHA Dan Peran Medical Social Work.
Guru besar asal Sumenep yang aktif mendampingi ODHA di Jember semenjak 2010 ini lantas menceritakan pengalamannya. “Di Jember saja dari data tahun 2018 lalu diperkirakan ada 4.385 ODHA, meningkat dari yang semula 2.200 ODHA di tahun sebelumnya. Banyak diantara ODHA ini adalah mereka yang menjadi PSK di luar Jember, atau laki-laki yang bekerja di luar Jember lantas ketika pulang membawa penyakit HIV/AIDS, bahkan menulari pasangannya. Tentu saja mereka harus didukung dan diberdayakan agar tetap sehat dan tetap bisa berkarya,” kata Prof. Hadi Prayitno yang juga ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jember ini.
Guru besar di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat di Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP ini berpendapat bahwa penanganan ODHA haruslah lintas disiplin, diantaranya melibatkan tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, psikiater, ahli gizi, psikolog hingga pakar hukum. “Dan satu lagi perlu keterlibatan medical social work atau pekerja sosial medis. Pekerja sosial medis inilah yang akan mendampingi para ODHA dalam menyelesaikan masalah psikososial yang dihadapi oleh para ODHA. Kebutuhan pelayanan oleh pekerja sosial medis didorong oleh kesadaran bahwa persoalan orang sakit tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biofisik semata, melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya dan emosional,” papar guru besar yang akrab dipanggil Pak Hadi ini.
Prof. Hadi menambahkan, oleh karena itu peran pekerja sosial medis tidak hanya pada penanganan ODHA saja, tapi juga meliputi penyakit lainnya. “Bahkan profesi pekerja sosial medis di negara maju sudah sejajar dengan profesi dokter dan psikolog. Pekerja sosial medis memberikan bantuan pada pasien agar mampu meningkatkan kemampuan pasien dalam berinteraksi dengan keluarga dan masyarakatdengan melakukan intervensi pribadi, keluarga dan masyarakat. Bahkan keberadaan pekerja sosial medis ini sudah diatur melalui surat keputusan Menteri Kesehatan nomor 9873 tahun 1992 yang mengatur dimana RSU kelas A harus memiliki 12 orang pekerja sosial medis, sementara RSU kelas B dengan 8 orang pekerja sosial medis dan RSU kelas C wajib memiliki 3 orang pekerja sosial medis,” pungkasnya. (iim/mun)