Oleh : Firman Syah Ali
Pada era kepresidenan Soekarno belum ada istilah PNS. Waktu itu apa yang sekarang kita kenal sebagai PNS, ASN, aparatur negara, kepolisisian termasuk bagian dari buruh. Para buruh pemerintah tergabung dalam banyak serikat buruh, yang sering juga melakukan aksi mogok kerja bila ada keluhan.
Karena buruh pemerintah (pegawai negeri) merupakan bagian dari buruh maka hak-hak politiknya dijamin dan dihargai. Tentara, polisi dan buruh sipil pemerintah punya hak memilih dan dipilih tanpa harus cuti atau mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai buruh pemerintah.
Malapetaka tiba tatkala orde lama digantikan oleh orde baru. Rezim Orde Baru sangat ketakutan dengan istilah buruh dan perkumpulan buruh, maka kaum buruh dipecah jadi dua. Buruh Pemerintah diganti nama jadi Pegawai Negeri, serikat-serikat buruh pemerintah dibabat habis kemudian dibentuk serikat buruh tunggal yang diberi nama Korps Pegawai Republik Indonesia, disingkat KORPRI. Biasalah rezim militeristik, semua hal dimiliterisasi, termasuk bahasa. Sedangkan buruh swasta diganti nama jadi pekerja dan tenaga kerja, yang ditandai dengan berubahnya nama Departeman Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja. Karena rezim Orde Baru sangat masif dalam melakukan penghapusan istilah buruh, maka serikat-serikat buruh merubah nama organisasinya menjadi serikat pekerja. Namun tidak semua serikat buruh mau berganti nama, sebagian dari mereka masih tetap bangga dan mempertahankan istilah buruh yang kesannya sangat revolusioner.
Politik bahasa ala rezim militeristik Orde Baru tersebut telah berhasil mengubah nama buruh menjadi nama-nama sebagai berikut :
1. Aparatur Negara
2. Aparatur Pemerintah
3. Abdi Negara
4. Karyawan Karyawati
5. Tenaga Kerja
6. Pekerja
7. Pegawai
8. Pegawai Negeri
9. dan lain-lain yang penting bukan “buruh”.
Selama Orde Baru, buruh pemerintah yang telah ganti nama menjadi Pegawai Negeri mendapatkan banyak previlege sedangkan buruh swasta yang telah ganti nama menjadi pekerja/tenaga kerja mengalami nasib sebaliknya. Tiga dasawarsa lamanya kaum buruh swasta menjadi iri dan cemburu kepada kaum buruh pemerintah.
Setiap tokoh ada masanya, setiap masa ada tokohnya. Berkat gerakan reformasi di mana saya (penulis) menjadi salah satu penggeraknya, Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998, yang langsung diikuti oleh reposisi dan reorganisasi ABRI. Gerakan reformasi telah berhasil mengembalikan militer ke barak, namun belum berhasil mengembalikan aparatur negara menjadi buruh.
21 tahun sudah kita hidup dan menikmati alam reformasi, namun kita saksikan KORPRI belum juga bubar, Kementerian Perburuhan belum juga kembali. Dikotomi antara buruh pemerintah Vs buruh swasta warisan orde baru, masih dilestarikan oleh pemerintahan era reformasi.
Akibat langgengnya pendikotomian tersebut, kini buruh pemerintah jadi korban. Hak-hak politik buruh pemerintah diberangus habis-habisan oleh negara. Buruh Pemerintah alias Pegawai Negeri dilarang komentar masalah politik, dilarang aktif di partai politik, dan apabila menjadi peserta pemilu (Calon presiden/kepala daerah/legislatif) harus mengundurkan diri dari profesinya sebagai buruh pemerintah (PNS).
Ini sangat zalim, karena di sisi lain para buruh swasta bebas berpolitik tanpa harus mengundurkan diri dari pekerjaanya sebagai buruh swasta. Namun karena terbiasa dibungkam selama 32 tahun orde baru, para PNS diam saja diperlakukan tidak adil oleh pemerintahan era reformasi.
Melalui tulisan ini, saya meminta kepada pemerintah dan DPR agar kaum buruh kembali dipersatukan, baik buruh swasta maupun buruh pemerintah (aparatur negara) dikembalikan ke pangkuan Kementerian Perburuhan. Artinya Kementerian Tenaga Kerja sebaiknya segera diganti menjadi Kementerian Perburuhan atau Kementerian Buruh, yang mengatur para buruh pemerintah (Aparatur negara) maupun buruh swasta. Tidak perlu lagi ada KemenPAN-BR dan BKN. Semua satu atap di bawah Kementerian Buruh/Kementerian Perburuhan.
Karena sudah kembali menjadi buruh, hendaknya hak-hak politik aparatur negara dikembalikan seperti sebelum Orde Baru. PNS punya hak politik penuh tanpa harus mundur dari pekerjaannya.
Mari jangan setengah-setengah menegakkan HAM. Dewasalah
Penulis adalah kader NU yang saat ini sedang didukung menjadi Walikota Surabaya.