Oleh : Firman Syah Ali
Akhir-akhir ini terminologi radikal, radikalis, radikalisme, teror, teroris dan terorisme sangat akrab di telinga dan mata kita. Televisi yang kita tonton, koran yang kita baca, postingan media online dan media sosial yang kita baca, penuh dengan istilah radikal dan terorisme. Bahkan bukan sekedar istilah, jatuhnya korban jiwa tak berdosa juga terpampang jelas di depan mata kita, menjadi tontonan yang sangat mencekam.
Sebetulnya apa dan di mana akar radikalisme tersebut? menurut beberapa serial diskusi, seminar dan artikel ilmiah, akar radikalisme ada empat;
pertama, teologi kebenaran tunggal, yaitu pemahaman akan ketuhanan yang mengganggap hanya cara dia berketuhanan yang benar sedangkan cara berketuhanan orang lain salah. Di dunia ini hanya cara berketuhanan dia yang boleh hidup, sedangkan cara berketuhanan orang lain wajib dimusnahkan dan ditumpas. Penganut teologi kebenaran tunggal ini tidak pernah mau kalah dan tidak pernah mau dianggap salah. Dunia Akhirat hanya milik dia, kunci surga juga milik dia, selanjutnya dia tampil lebih Tuhan daripada Tuhan itu sendiri. Seolah-olah bukan Tuhan yang menciptakan dia, tapi dia yang menciptakan Tuhan dan memaksakan Tuhan ciptaannya kepada orang lain. Ini hanya seolah-olah lho.
Semua pemeluk agama di dunia punya potensi menyimpang jadi penganut teologi kebenaran tunggal, kalau dalam islam yang terkenal sebagai penganut teologi kebenaran tunggal adalah kelompok khawarij dan penerusnya. Banyak ulama mensinyalir bahwa penerus khawarij adalah salafi wahabi, wallahu a’lamu.
Kedua, Transnasionalisme. Yaitu ideologi lintas kebangsaan yang menganggap negara kebangsaan sebagai musuh ideologi yang wajib dimusnahkan. Sebetulnya kalau dipahami secara dangkal dan tekstual, semua agama di dunia bersifat transnasional, tapi kalau dipahami secara kontekstual, maka para pemeluk agama bisa hidup di dalam negara-negara kebangsaan. Beberapa kelompok penganut agama yang tekstualis dan eksoteris menjadikan sifat transnasionalis agamanya itu sebagai sebuah ideologi pergerakan yang anti negara kebangsaan, anti demokrasi dan sebagainya. Kalau dalam islam, ideologi transnasionalisme diusung oleh kaum Tahriri, Alqaeda, ISIS dan organisasi-organisasi sayap serta organisasi jaketnya. Tapi sebetulnya ideologi transnasionalisme tidak melulu berkaitan dengan agama, sebab kapitalisme, sosialisme dan komunisme juga merupakan transnasionalisme. Disinilah hebatnya para pendiri bangsa indonesia, semua bentuk transnasionalisme tersebut dinasionalisasikan ke dalam sebuah ideologi besar bernama Pancasila.
Ketiga, penganut agama atau ideologi non agama yang tekstual thingking. Kitab suci agamanya atau kitab pedoman ideologi non agamanya dibaca dan dipahami sesuai teks, tidak mau tau dengan konteks. Situasi dan kondisi masyarakat saat kitab suci atau buku pedoman tersebut disusun, mereka nggak mau tau. Yang penting bunyi teksnya begitu ya harus diterjemahkan begitu dan dilaksanakan seperti itu. Kalau teks memerintahkan bunuh dan bantai, maka di era sekarangpun semua yang berbeda harus dibunuh dan dibantai. Orang-orang yang salah cara membaca teks tersebut biasanya mengorganisir diri dan membuat kerusakan di muka bumi.
Keempat, Nafsu kuda tenaga ayam. Semangat beragama dan berideologinya sangat tinggi, sedangkan ilmu agama atau ilmu tentang ideologinya kosong melompong. Orang-orang seperti ini biasanya membabi-buta dan bersedia menjadi pengantin bom bunuh diri. Orang-orang sakit jiwa tersebut mengingatkan kita pada tokoh joker dalam film hollywood terbaru.
Itulah empat akar utama radikalisme. Namun sekuat apapun akar radikalisme, akhirnya akan mati juga kalau tidak dipupuk. Apa saja pupuk radikalisme tersebut?
Pertama, ketidakadilan alias kezaliman alias kesewenang-wenangan. Ini merupakan pupuk yang paling efektif untuk tumbuh kembangnya pepohonan monster yang bernama radikalisme. Oleh karena itu negara harus berusaha menegakkan keadilan jangan sampai mempertontonkan ketidakadilan kalau ingin radikalisme tidak tumbuh dan berkembang.
Kedua, Disparitas sosial ekonomi. Disparitas sosial ekonomi biasanya merupakan konsekuensi logis ketidakadilan sebuah negara, walaupun tidak selalu itu penyebabnya. Disparitas sosial ekonomi akan menyebabkan kondisi yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Dalam situasi seperti itu biasanya masyarakat mudah sekali diajak radikal, baik radikalisme kanan maupun radikalisme kiri (komunisme), dan jangan lupa juga ada kemungkinan munculnya radikalisme tengah.
Ketiga, Konflik elit politik yang berkepanjangan, bisa membuat masyarakat lelah kemudian terpengaruh gerakan-gerakan radikalis.
Solusi cerdas yang harus diterapkan oleh negara adalah memotong akar-akar tersebut dan jangan sampai memupuk pohonnya. Percuma akar dipotong kalau pupuk tetap ditabur, nanti akan tumbuh akar-akar baru.
Mari kita bangun negara jaya indonesia yang harmoni, jauh dari radikalisme dan terorisme. Semoga Tuhan berikan kebaikan yang banyak untuk bangsa kita.
*) Penulis adalah Bendum IKA PMII Jawa Timur/Wakil Sekretaris LP Maarif NU Jawa Timur