Kebatinan dan Mistik, Bagian dari Budaya Jawa

Suku Jawa merupakan populasi terbesar di Indonesia, yang mungkin komposisinya mencapai 40% – 50% dari total penduduk Indonesia. Masyarakat Jawa memiliki budaya dan tradisi yang tersendiri, tetapi juga menjadi bagian, dan sekaligus memperkaya kehidupan beragama masyarakatnya. Dalam sejarahnya, kehidupan masyarakat Jawa, selain memiliki pandangan dan kebijaksanaan sendiri yang tercermin dalam budaya kejawen atau ke-jawa-an, dan dicerminkan dalam berbagai aliran kepercayaan, juga diisi pengaruh dari beragam agama, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Islam.

Dalam masa sekarang, populasi orang Jawa yang menjadi penganut agama Islam merupakan jumlah terbanyak. Mereka, dalam pandangan hidup kesehariannya, terbagi dalam 2 kelompok besar. Yang pertama adalah yang disebut putihan, yaitu kelompok masyarakat Jawa yang bersifat agamis, yang menjalankan aturan-aturan agama Islam yang dianutnya secara konsisten. Banyak dari mereka sejak mudanya belajar agama sebagai santri. Yang kedua adalah yang disebut abangan, yaitu bagian dari masyarakat Jawa, yang walaupun menjadi penganut Islam, mereka tidak agamis, tapi tetap religius. Kadangkala terjadi semacam ‘konflik ideologi’ dimana kelompok putihan mencerca kelompok abangan yang dianggap tidak menjalankan agama Islam dengan benar.

Pihak abangan memandang agama Islam sebagai agama dan budaya bangsa Arab. Karena itulah mereka tidak sepenuhnya mengisi hati dan kehidupan mereka dengan “agama dan budaya Arab” tersebut. Mereka merasa mempunyai kepribadian sendiri. Mereka memandang agama, ibadah, kepercayaan dan juga “akhlak” adalah masalah hati, batin, yang semuanya tidak harus tercermin dalam peribadatan yang murni Islam. Lagipula, manusia tidak dinilai hanya dari amal atau ibadahnya saja, tetapi juga dari akhlaknya. Karena itu ibadah mereka tidak harus semuanya tercermin seperti dalam kepercayaan dan peribadatan formal Islam. Ibadah mereka yang sesungguhnya ada di dalam hati. Walaupun mereka juga menjalankan peribadatan Islam, tetapi mereka juga memiliki ‘kebijaksanaan’ sendiri mengenai keTuhanan, yaitu kehidupan kepercayaan yang didasari pada nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan oleh para leluhur, dan diwarnai kebijaksanaan ajaran para pendahulu yang tercermin dalam penghayatan tradisi-tradisi tertentu, legenda-legenda, filosofi dalam cerita pewayangan, dan sebagainya, yang semuanya menyatu di dalam hati menjadi kepercayaan dan budaya jawa yang mengisi hidup mereka.

Kebatinan Jawa pada dasarnya adalah pemahaman dan laku penghayatan kepercayaan manusia Jawa terhadap Tuhan, yang kemudian diajarkan turun-temurun menjadi tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba, jauh sebelum hadirnya agama Hindu-Budha dan Islam di pulau Jawa. Penghayatan keTuhanan itu bukan agama. Agama yang mereka anut bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Agama Hindu dan Budha yang sudah lebih dulu masuk ke Jawa telah diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa dan mewarnai sikap kebatinan Jawa, karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme Jawa.

Kebatinan ketuhanan Jawa (Kejawen) pada dasarnya adalah sebuah kepercayaan ketuhanan, bukan agama, dan kepercayaan ketuhanan kejawen itu tidak membutuhkan kitab suci, karena pendekatan mereka kepada Tuhan dilakukan secara langsung dan pribadi, dengan rasa, dengan batin, Dan pengertian umum Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konsep kejawen adalah hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung dan pribadi, melalui olah rasa dan batin manusia jawa berusaha secara langsung mengenal Tuhan dan menyatu denganNya. Ketuhanan kejawen itu tidak mendasarkan diri pada ajaran sebuah kitab suci dan tidak melalui nabi-nabi seperti halnya agama modern, tetapi dengan rasa dan batin mereka berusaha mendekatkan diri dan berusaha secara langsung mengenal Tuhan. Itulah yang disebut agama Kaweruh.

Dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan antara agama modern dengan ketuhanan kejawen. Penganut agama modern menggunakan ajaran-ajaran dalam kitab sucinya sebagai sumber pengetahuan mereka tentang Tuhan dan menjadi acuan peribadatan mereka. Semua keharusan dan larangan di dalam kitab suci harus dipatuhi, menjadi dasar peribadatan yang tidak boleh dilanggar. Pengenalan dan pengetahuan mereka tentang Tuhan umumnya hanyalah sebatas apa yang sudah tertulis dalam kitab suci dan yang diajarkan dalam agama mereka saja, tidak lebih, dan tidak boleh lebih, apalagi menyimpang dari itu, sehingga menjadi umum bahwa kemudian mereka akan meninggikan agama dan kitab suci mereka, bahkan mempertuhankannya, lebih daripada mereka mempertuhankan Tuhan. yang kemudian memunculkan banyak pencitraan, dogma dan doktrin dan pengkultusan tentang Tuhan, tentang pahala dan dosa, surga dan neraka. Sedangkan penganut ketuhanan kejawen berusaha secara langsung mengenal Tuhan dan menyelaraskan kehidupan mereka sesuai penghayatan ketuhanan mereka masing-masing untuk mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawula Lan Gusti.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Budha, Islam, atau Kristen. Perilaku ini bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang mereka terhadap perkembangan jaman. Prinsipnya, yang baik diambil, yang jelek dibuang. Penerimaan Jawa terhadap nilai-nilai yang datang dari luar diposisikan sebagai ‘baju’, isinya tetap Jawa. Agama yang dianut bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Maka selalu saja ada perbedaan yang signifikan antara Hindu Jawa dan Budha Jawa dengan yang asli di India, dan Islam Jawa dengan yang asli Arab.

Budaya kebatinan Jawa, pada prakteknya, selain berisi ajaran-ajaran budi pekerti dan ketuhanan, juga diwarnai dengan ritual-ritual kepercayaan dan ritual-ritual yang berbau mistik, yang merupakan produk-produk asli kebudayaan Jawa, yang merupakan bagian dari budaya kepercayaan Jawa, seperti keris, wayang, tari-tarian, pencak silat dan musik pengiringnya, aliran kebatinan, merawat sedulur papat, ritual selametan, tahlilan, ruwatan, sedekah bumi, sekatenan – arak pusaka, dsb, walaupun sekarang sudah diisi dengan keagamaan Islam sesuai agama yang sudah mereka anut.

Kejawen atau Kejawaan (ke-jawi-an) dalam pandangan umum berisi kesenian, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi tradisional orang-orang Jawa. Kejawen juga mencerminkan spiritualitas orang Jawa. Penganut ajaran kejawen tidak menganggap kepercayaan kejawennya sebagai agama dalam pengertian formal seperti agama monoteistik seperti Islam dan Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku dalam upaya mendekatkan diri dan menyelaraskan hidup mereka dengan Tuhan, menjalankan “laku” untuk pencerahan cipta, budi, rasa dan karsa. Ajaran kejawen tidak terpaku pada aturan yang formal seperti dalam agama, tetapi menekankan pada konsep “keselamatan dan keberkahan hidup”.

Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti ‘memuliakan’ pusaka beserta sesajinya, pertunjukan wayang, pembacaan doa, penggunaan bunga-bunga sebagai sesaji, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan mistik.

Sejatinya Kejawen adalah kearifan lokal jawa yang mengarahkan kesadaran pada kesejatian diri masing-masing manusia, pengenalan diri pada kehidupan, dan menghidupkan kesejatian yang ada di dalam diri manusia. Kejawen adalah budaya kebatinan dan spiritualitas berkenaan dengan keTuhanan dan budi pekerti. Agama yang dianut bisa apa saja menurut keyakinan masing-masing, tetapi budi pekerti selayaknya menjadi acuan perilaku orang jawa, jangan ditinggalkan. Jangan sampai orangnya beragama dan agamis, tapi perilakunya tidak berbudi pekerti, jauh dari perilaku mulia, apalagi berpribadi mulia. Jangan menjadi orang jawa yang hilang jawa-nya.

Secara kebatinan dan spiritual, mereka percaya bahwa kehidupan manusia di alam ini hanyalah sementara saja yang pada akhirnya nantinya akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila hanya sendiri saja dan dengan kekuatannya sendiri saja, adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana. Karena itulah manusia harus menyelaraskan dirinya dengan kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi (roh-roh dan Tuhan), beradaptasi dengan lingkungan alam rahmat dari Tuhan dan memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Kepercayaan kepada alam, roh-roh dan Tuhan ini seringkali dikonotasikan sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme, yang kontras dengan ajaran agama.

Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang mereka miliki akan mereka syukuri sebagai karunia Allah. Mereka percaya adanya ‘berkah’ dari alam, roh-roh dan Tuhan, dan mereka percaya bahwa kehidupan mereka akan lebih baik bila mereka ‘keberkahan’. Karena itu dalam budaya Jawa dikenal adanya upaya untuk selalu menjaga perilaku, kebersihan hati dan batin dan laku-laku prihatin dan tirakat dan berbagai ritual untuk menjaga supaya hidup mereka selalu diberkahi, seperti ritual Puasa Mutih, Puasa Senin-Kamis, Puasa Wetonan, ritual Sedekah Bumi, Selametan, Syukuran, Ruwatan, ziarah ke makam keluarga dan leluhur, “memuliakan” pusaka yang dimiliki, memberi sesaji kepada roh-roh tertentu di sekitar rumah tinggal, dsb, yang terkesan pada masa sekarang sebagai perilaku mistik dan klenik.

Berbagai perbedaan inilah yang menyebabkan kaum putihan mencela kaum abangan, dianggap sebagai penganut kepercayaan yang sesat, penuh mitos dan mistik, dan politheis. Tetapi di sisi lain, pihak putihan juga tidak konsisten dengan kemurnian agama mereka, karena mereka juga ikut meramaikan ritual-ritual pihak abangan, seperti acara Garebek Maulud dan Sekatenan, Kirab Pusaka, Selametan, Syukuran, Sedekah Bumi, ziarah kubur, dsb. Sebagian dari mereka juga menjalani kebatinan, keilmuan gaib dan laku prihatin, yang kemudian diajarkan dan diadaptasikan menyatu menjadi ajaran budaya Islam, yang aslinya tidak ada dalam budaya Islam Arab.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com