Evolusi Busana Muslimah di Indonesia

Hampir bisa dipastikan, para istri kiai tempo doeloe adalah seorang alimah yang luar biasa mumpuni pengetahuan dan dalam wawasan keislamannya serta pandai membaca kitab-kitab kuning gundul berbahasa dan beraksara Arab.

Merekalah biasanya yang mengampu atau mengajar para santri putri di pondok pesantren. Bukan hanya di Indonesia saja, mereka dulu, sejak 1940an, juga ikut mendirikan dan mengajar sekolah perempuan (“madrasah lil banat”) di Mekah ketika mendampingi suami mereka disana.

Meskipun mumpuni dan dalam pengetahuan keislamannya, sangat tidak sebanding dengan para “ustazah” zaman now yang cuma modal gaya dan pakaian doang tapi nol-njendol ilmu pengetahuan dan wawasan keislamannya, mengapa mereka memakai busana sederhana seperti itu? Dengan jarik dan kerudung selempang. Kenapa tidak “berpakaian syar’i” hitam-hitam: jilbab, hijab plus cadar hitam? Apakah mereka (atau para kiai suami mereka) tidak paham dengan tata-busana Muslimah yang “syar’i”?

Tentu saja mereka paham. Sangat paham. Justru karena mereka paham itulah para bu nyai ini berpakaian seperti itu.

Dulu, di Indonesia dan juga Arab Saudi tidak umum jenis pakaian jilbab/hijab hitam gelombor plus cadar yang juga hitam itu. Di Saudi sendiri, seperti pernah saya tulis, pakaian jenis / model ini baru dipaksakan implementasinya secara nasional sejak awal 1980an seiring dengan menguatnya kelompok Islamis ekstrim yang menguasai pemerintah dan lembaga keagamaan. Sebelumnya tidak ada. Menurut mereka, warna hitam yang paling mendekati “perintah syariat” karena dengan berpakaian hitam “onderdil” perempuan tidak kelihatan.

Di Indonesia, jilbab/hijab/cadar hitam sebagian diperkenalkan oleh para alumni baru Arab Saudi dan sebagian lagi diperkenalkan oleh para penceramah mualaf Salafi lewat pengajian, TV atau YouTube. Dan itu baru terjadi belakangan ini saja. Dulu sama sekali tidak ada. Kalaupun ada sangat terbatas sekali karena memang tidak umum. Jangankan jilbab/hijab hitam-hitam, jenis busana jilbab/hijab biasa saja tidak ada. Maka ndobos sekali kalau RA Kartini itu dulu berjilbab / berhijab. Berjilbab/berhijab ketularan dari mana dia? Siapa penjahitnya?

Padahal sudah sejak abad ke-17 bahkan sebelumnya, para ulama Nusantara sudah ada yang belajar di Makah dan Madinah, dan puncaknya terjadi pada abad ke 19 & 20. Sebagian menetap di Makah, sebagian pulang ke Nusantara. Tapi tidak ada yang memperkenalkan pakaian jilbab yang diklaim “syar’i” itu. Sebagian biografi mereka saya tulis di bukuku, “Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam” yang diterbitkan oleh I.B. Tauris & Bloomsbury, Inggris.

Apakah hanya karena busana para bu nyai yang model begini terus dianggap tidak syar’i, tidak Islami, dan “auto-neraka”? Dan apakah hanya karena memakai jilbab/hijab gelombor warna hitam plus cadar terus dianggap syar’i, Islami, dan “auto-syurgah”? Mbok kalau mau nyocot itu dipikir dulu jangan asal njeplak kayak codot mendem limun oplosan.🙊

Dody

Jurnalis Citizen