Menikah Itu Tentang Berbeda

Menikah Itu Tentang Berbeda

Oleh : Wulan Saroso

Khaulah binti Tsa’labah perempuan tua yang tak lagi punya daya tarik. Di usia pernikahannya yang telah berangsur senja, suaminya yang juga telah menginjak renta, tiba-tiba melakukan tindakan yang biasa dilakukan oleh para lelaki jahiliyah. Sang suami, Aus bin Samit men-zihar-nya dengan mengatakan,”Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku!” Menurut adat jahiliyah, pernyataan seperti itu merupakan bentuk talak. Khaulah pun gundah.
Kegundahan itu bertambah, ketika beberapa saat kemudian, sang suami memintanya berhubungan intim. Khaulah menolak. Sempat sang suami memaksa, namun Khaulah bertahan. Maka Khaulah pun segera pergi menemui Rasulullah saw untuk mengadukan perihal statusnya, apakah masih sebagai istri Aus bin Samit atau sudah status bercerai.
Rasulullah saw tak langsung menjawab karena belum mendapat keputusan Allah. Sementara Khaulah gelisah menentukan sikapnya kepada sang suami. Berulangkali ia menanyakan kepastian kepada Rasulullah saw. Hingga kemudian Allah menjawab kegelisahannya melalui surat Al Mujadalah.

Khaulah dan suaminya potret pasangan suami istri biasa. Seperti halnya kita juga yang sudah diberi kesempatan Allah berdampingan dengan pasangan hidup kita. Mereka menjalani pernikahan dengan segala pernak pernik dan lika-likunya. Dalam pernikahan ada senyum, tawa, bahagia, kesal,
marah, lelah dan semua bentuk rasa kehidupan terkemas paket lengkap di sana.
Di usia pernikahan dianggap dewasa, idealnya pernikahan Khaulah dan suaminya sudah lepas dari konflik. Interaksi antara mereka harusnya tenang dan rukun. Namun ternyata, masih ada juga ada prahara. Apalagi ketika pengaduan Khaulah telah dijawab oleh Allah, penyelesaiannya masalahnya Khaulah juga yang berperan.
Status mereka tetap sebagai suami istri. Namun sang suami diwajibkan menunaikan denda dengan memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Ternyata, sang suami tak mampu menunaikan semua denda itu karena kondisinya yang tua dan miskin. Alih-alih menghina suaminya sebagai lelaki yang tak tahu diri, Khaulah memilih turun tangan membantu hingga kewajiban suaminya tunai.
Bijaksananya Khaulah, pantas mendapat penghormatan istimewa di kemudian hari dari amirul mukminin Umar bin Khaththab ra.

Sepanjang masa pernikahan pasti ada konflik. Sebelum ajal menjemput, antara suami dan istri pasti ada saja perbedaan baik sikap, cara pandang, pendapat, keinginan dan banyak lagi. Berharap pernikahan tanpa adanya perbedaan ibarat pungguk merindukan bulan. Maka bukan perbedaan itu yang dirutuki, namun kearifan menyikapi perbedaan itulah yang harusnya disemai, dirawat dan ditumbuhkan.

Mudah bagi Khaulah untuk meninggalkan lelaki yang dirasa tak lagi bermanfaat buatnya. Mungkin ia bisa hidup lebih bebas tanpa terusik dengan lelaki yang cuma menjadi beban perasaan dan hidupnya. Hanya saja, Khaulah memiliki prinsip memaknai pernikahan. Prinsip itulah yang membawanya menemui Rasulullah saw untuk menanyakan statusnya. Dan prinsip itu mengangkat derajatnya di mata Allah hingga pengaduannya langsung dijawab oleh Allah.

Kenapa kita ingin menikah?
Karena ibadah? Mendapat keturunan? Menyalurkan hasrat seksual? Menenangkan jiwa? Bersanding dengan sosok yang dicinta?
Maka ketika keinginan itu tak diperoleh di perjalanan pernikahan, apakah kemudian pernikahan layak usai?
Bila ternyata pernikahan tak juga memberikan keturunan, apakah artinya pernikahan tak lagi bermakna? Bila pasangan sudah tak lagi nyaman diajak berhubungan intim, apakah usai sudah kemesraan? Bila dirasa tak ada lagi cinta yang membara, apakah cukup sampai di sini pernikahan? Dan semua keinginan kita terhadap pernikahan, apabila tak juga terwujud, apakah artinya pernikahan kita formalitas belaka?

Taqwa…
Sebenarnya hanya itu tujuan Allah menciptakan lembaga pernikahan.
. يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan namaNya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.
(An-Nisa’ : 1)

Ketika pernikahan kita tak membawa kepada tingkatan ketaatan yang lebih baik kepada Allah, maka perlu kita koreksi lagi road map pernikahan kita. Walaupun sudah mencapai rentang usia pernikahan yang berbilang.
Di surat Annisa : 1 disebutkan kata ‘ittaqu’ yang artinya bertaqwalah, hingga dua pengulangan. Yang memaknakan bahwa pernikahan adalah ajang untuk menambah kualitas kedekatan manusia pada Rabbnya. Suami dan istri bisa bersatu dalam perbedaan, semata karena kehendak dan rahmat Allah. Suami dan istri pun kemudian bisa mengarungi samudera pernikahan yang gelombangnya kadang mengayun namun tak jarang juga mengganas, semata karena rahmat Allah. Bukan karena ganteng atau piawainya suami mencari uang atau karena cantik atau lincahnya istri merawat tubuh. Apapun itu yang dilakukan sebagai upaya merawat kasih sayang antara suami dan istri, hanyalah sarana. Dan Allah yang kemudian menjadikan sarana itu menjadi berkah yang berbuah taqwa.

Tanpa taqwa, Khaulah bisa memilih meninggalkan suaminya.
Tanpa taqwa, Khaulah bisa memilih merutuki suaminya
Atas nama taqwa, Khaulah mencari jawaban agar konflik sesaat bisa segera tuntas dan keharmonisan suami istri kembali hadir.

Setiap manusia berubah dan mengalami perubahan karena banyak faktor kehidupan yang mempengaruhi. Usia, kesehatan, lingkungan, pekerjaan, bencana dan sebagainya. Menyesuaikan harmoni perubahan yang terjadi pada diri sendiri dengan yang juga terjadi pada pasangan, adalah kerja peradaban yang besar. Karena Allah langsung yang mengawasinya, melalui kata ‘raqiban’ di akhir surat AnNisa ayat 1. Maka pernikahan adalah ajang terbaik manusia untuk memperoleh derajat kebaikan yang terus bertambah di hadapan Allah. Memberikan cinta, sentuhan, pelayanan, waktu yang terbaik untuk pasangan hidup kita sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah. Sehingga kita tak merasa merendahkan diri kepada manusia ketika melakukannya. Bila setiap suami dan istri menjalankannya, yang ada adalah hamba Allah yang selalu berusaha memuliakan pasangannya di setiap saat.
Rasulullah saw adalah manusia yang paling baik sikapnya terhadap keluarganya