Film Sultan Agung Serang Batavia

PEMIMPIN YANG MEMBANGUN PERADABAN

– Review Film Sultan Agung: Tahta, Perjuang, Cinta (Hanung Brahmantyo- Moeryati Soedibyo Cinema, 148 menit)

Denny JA

Pemimpin politik yang menjadi legenda tak hanya memperkokoh kekuasaan politik. Ia juga harus punya passion dan ikhtiar membangun budaya, merakit peradaban.

Itulah renungan penting sehabis menonton film Sultan Agung, garapan Hanung Brahmantyo. Lebih dari dua jam, film ini mampu membuat saya menghela nafas, terdiam, kadang menitik air mata.

Sebagai penggemqr berat film sejarah dan biografi, saya sudah sampai pada kearifan sebagai penonton. Sepenuhnya saya bertoleransi kepada sineas yang tidak terlalu berambisi menampilkan akurasi detail sejarah, sejauh ia berhasil membangun drama.

Sejak adegan pertama, saya sudah menduga dan menerima pilihan “filosofi pembuatan film sejarah ini”: akan banyak fiksi.

Fiksi itu sudah ditampilkan dan berhasil mengguncang emosi ketika Raden Mas Rangsang berdua saja dengan guru yang sangat dihormatinya: Ki Jejer. Raden Mas di ambang jalan. Ia harus ambil keputusan. Ia harus memilih. Ini masa depannya. Ini soal jalan hidup. Juga soal cinta.

Ujar Raden Mas Rangsang: “ saya hanya ingin menjadi ulama.” Saya nyaman tinggal di padepokan itu. Apalagi hatinya sudah tertambat pada seorang wanita yang unik, agak urakan, misterius, berhati lembut. Wanita itu sepenuhnya tokoh fiksi, bernama Lembayung.

Dengan arif dan tenang, Sang Guru, Ki Jejer, menceritakan sebuah nubuat. Disebutlah wali songo Sunan Kalijaga. Sang maha guru itu sudah menuliskan. Akan datang Raja yang menyatukan tanah Jawa. Raja yang tak hanya kuat, punya kemampuan. Tapi ia uga dapat menyebarkan ajaran agama.

Ujar Ki Jejer, sejak ayahmu menitipkan dirimu ke sini, dan meminta saya merahasiakan asal usulmu, saya sudah merasa. Raja yang dikisahkan oleh Sunan Kalijaga itu adalah dirimu.

Terjadi perang di batin Raden Mas Rangsang. Haruskah ia menjadi raja, bukan ulama? Haruskan ia menikah dengan wanita pilihan Ayah sebagai konsewensi menjadi Raja, dan meninggalkan cintanya yang mendalam pada Lembayung, putri rakyat biasa?

Lalu bergulirlah film yang memaparkan sejarah. Tapi drama membutuhkan kisah cintq, intrik kekuasaan dan inspirasi perjuangan. Jika dokumen sejarah tak memadai untuk membangun itu, seorang pembuat film yang terampil harus mengisinya dengan imajinasi. Bahkan dengan fiksi.

-000-

Yang menarik dari kisah perjuangan, penghianatan dan intrik kekuasaan di seputar istana tidak digambarkan hitam putih. Ini tidak hanya konflik antara antara orang baik versus orang jahat.

Intrik dan konflik terjadi acapkali karena perbedaan persepsi tentang apa yang baik untuk rakyat mataram. Jika ada kepentingan pribadi yang melandasi penghianatan, ada riwayat yang bisa diterima. Acapkali konflik terjadi karena dilema, antara baik versus baik. Antara buruk versus buruk.

Di bawah kekuasaan Sultan Agung, kerajaan Mataram pun berkembang. Aneka penaklukan dilakukan. Surabaya, Malang dikuasai. Kerajaan Mataram meluas ke wilayah Jawa Timur, dan Tengah.

Ekspansi kekuasaan Sultan Agung akan meluas lagi ke Banten dan Batavia. Kesulitanpun muncul. Batavia dikuasai VOC. Berbeda dengan kerajaan lain yang bisa ditaklukan Sultan Agung, VOC punya teknologi senjata yang jauh lebih canggih. Mereka juga punya dana besar dan pengalaman perang.

Kekalahan Sultan Agung yang gagal menaklukan Batavia harus dibayar mahal. Pasukan dan basisnya tercerai berai. Ketidak puasan para elit istana menjadi awal terjadinya pemberontakan kepada Sultan Agung sendiri.

Dalam kesendiriannya merenungkan kegagalan, tampil pula sosok Sultan Agung yang kadang putus asa. Di hadapan ibu, ia tampil telanjang. Sang ibu menguatkan dan kembali mengingatkan tentang ajaran yang dibawa maha guru Sunan Kalijaga. Ajaran tentang aneka petatah petitih hidup. Ajaran tentang pentingnya agama, budaya.

Sultan Agungpun mulai mengalihkan perhatiannya dari perang dan penaklukan, dengan menghidupkan budaya. Ia sendiri mengajarkan anak anak menari. Ia perkenalkan wayang.

Spirit perjuangan menyusup di sana dan di sini. Ketika Lembayung, kekasih hati masa remaja, meminta Sultan Agung menghentikan perang, untuk pertama kali ia bicara dengan membentak di hadapan sang kekasih.

Sultan menyatakan visinya. Mengapa ia mengirim pasukan ke Batavia melawan penjajah walau kalah. Ujar sang Raja: “ini bukan hanya untuk hari ini. Aku ingin ratusan tahun dari sekarang, rakyat banyak tahu bahwa kita punya keberanian untuk melawan. Kita menolak bekerja sama jika akhirnya kita dijajah.”

Kita boleh kalah. Tapi kita tak boleh menyerah!

-000-

Tentu tak semua isu penting di seputar Sultan Agung dapat ditampilkan dalam film 148 menit. Namun sosok pemimpin yang punya passion dan ingin membangun peradaban cukup tergambarkan. Dan itu hal yang sangat penting.

Dalam sejarah, kita tahu legacy Sultan Agung dikenang sebagai raja Jawa terbesar bukan hanya karena ekspansi kekuasaannya. Sebelum kematiannya, ia memang berhasil menyatukan hampir seluruh tanah jawa, kecuali Batavia dan Banten. Ia juga meluaskan pengaruhnya ke Sumatera bahkan Sulawesi.

Namun Sultan Agung juga dikenang karena “karya pemerintahannya.” Ia membangun sistem pemerintahan dengan membentuk aneka kadiputen. Setiap kadipaten, ia angkat adipati sebagai penguasa lokal. Dengan cara itu, ia mendelegasikan kekuasaan sekaligus mengontrolnya dengan cara lebih efisien.

Kini, kadipaten berkembang menjadi kabupaten. Adipati pun berkembang menjadi bupati. Sistem administrasi kerajaan Sultan Agung ikut meletakkan satu batu bata bagi dinding pemerintahan modern.

Yang tak kalah penting adalah ia meneruskan ajaran Sunan Kalijaga. Agama Islam ia bumikan dengan mengakomodasi peradaban terbaik di era itu. Wayang, gamelan, ritus budaya Jawa bersinerji dengan ajaran Islam. Kelak upaya ini dikenang sebagi sinkretisme Islam dan budaya Jawa.

-000-

Dua hal menjadi renungan moral paling penting bagi penonton seperti saya yang peduli dengan ruang publik. Pertama, sangat ideal jika pemimpin politik juga punya passion membangun peradaban. Pemimpin harus membawa gagasan yang inspiring.

Kedua, perlunya Islam sebagai agama dominan disegarkan atau diinterpretasi dengan menyerapkan gagasan sosial tebaik zamannya. Jika dulu di era Sultan Agung dan Sunan Kali Jaga, itu adalah peradaban jawa. Masa kini Islam perlu diinterpretasikan dengan peradaban modern yang terbukti mengangkat harkat manusia.

Selesai menonton film, saya dan teman teman di Ciputat School menyantap hidangan malam. Tak lupa, bersama hidangan malam itu disajikan pula diskusi tentang film. Gurihnya diskusi itu menambah lezat rasa ayam goreng, dan es jeruk kelapa. Tentu tak lupa foto selfie.***

Sept 2018

Satria Jayantaka

Koresponden MM.com