
By : Astra Jingga.
Coba kita amati baik-baik, setiap ada tragedi, kecelakaan atau musibah yang menimpa kaum mayoritas, ada semacam standard procedure bagaimana mengalihkan tanggung jawab dan menguatkan dengan hal yang tidak penting dan tidak menyentuh substansi persoalan..
Ini juga terjadi dalam tragedi ambruknya mushala di Ponpes Al-Khoziny di Sidoarjo.
Pertama yang memberikan statemen adalah pengasuh ponpesnya yaitu H Abdus Salam Mujib, seraya meminta maaf kepada wali santri setelah bangunan musala ambruk pada Senin sore, dengan menyebut kejadian tersebut sebagai takdir Allah.
Itu bukan takdir Allah, itu kesalahan teknis dan arsitektural setelah saya analisa, itu bangunan yang tidak memenuhi syarat arsitektural yang benar dengan kapasitas yang sudah overload dalam satu bangunan. Analogi sederhanya; kursi yang dibuat dari kayu kelas tiga, dipaku tidak kokoh dan dipakai untuk tempat duduk seadanya bagi 4 orang, tapi diduduki 10 orang dewasa..
Itu permasalahan teknis dan arsitektural saja, tidak ada faktor-faktor abstrak dan transenden disana.
Itu analisa yang sangat gampang sekali kalau memakai sudut pandang yang normal.
Tidak ada campur tangan Tuhan, lagian Tuhan juga tidak mengerti arsitektur dan dia juga bukan mandor bangunan..
Lalu setelah itu ada pemuka agama dan kementerian terkait datang, memberikan statemen bahwa yang meninggal dalam kejadian itu dianggap sebagai syuhada.
Apa gunanya memberikan predikat syuhada atau tidak dalam suatu tragedi?
Palingan juga nanti iming-imingnya tidak jauh dari kata “surga dan bidadari”.
Menyelesaikan masalah nggak?
Ya jelas tidak!
Kementerian Agama sebagai lembaga pembinaan dan fasilitator melalui regulasi dan kebijakan, seharusnya menetapkan regulasi atau aturan standar-standar bangunan, sanitasi, dan hal-hal lainnya yang menyangkut keamanan dan kelayakan sebuah pondok pesantren agar kejadian serupa tidak terulang lagi..
Bukan malah menghibur para korban dengan iming-iming delusional dengan memberikan predikat syuhada kepada yang meninggal.
