Suluk Santri Tarekat Ajaran Tarekat Syadziliyah Pondok PETA Tulungagung

 

KH. Mustaqim bin Muhammad Husain adalah mursyid Tarekat Syadziliyah. Tarekat yang dinisbatkan pada nama Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dari Tunisia, Afrika Utara. Sebagai putra Husain bin Abdul Jalil yang lahir di Desa Cangkring, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri 1901, Kiai Mustaqim merupakan keturunan ke 19 Mbah Panjalu, yakni penyebar Islam yang dimakamkan di Ciamis, Jawa Barat.

Sebagai keturunan ulama besar, jejak spiritualnya terlihat sejak usia dini. Belajar membaca Alquran dan ilmu agama kepada Kiai Zarkasyi Tulungagung mulai usia 12 tahun. Mustaqim muda juga memiliki kebiasaan berdzikir yang tak putus putus.

Konon kebiasaan itu yang membuat dirinya mengalami mukasyafah atau terbukanya mata batin. Kiai Mustaqim mampu melihat sesuatu yang tidak terlihat orang lain. Sesuatu yang bersifat gaib.

Seiring berjalannya waktu Kiai Mustaqim mendirikan Ponpes Pesulukan Tarekat Agung atau terkenal dengan nama PETA. Berdiri sejak tahun 1930 (versi lain 1940) PETA mengambil tempat di wilayah Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung.

Berbeda dari pesantren lain yang sebagian besar mengajarkan kitab kuning. Di PETA para santri juga dididik suluk atau mengarungi jalan spiritual menuju Tuhan. Setiap santri yang hendak berbaiat menjadi pengikut tarekat Syadziliyah wajib menanggalkan ilmu kesaktian yang dimiliki.

Tidak terkecuali ilmu kejawen. Sebagai prasyarat diwajibkan mandi kungkum atau berendam di laut selatan. Ada kisah tersendiri mengenai tarekat Syadziliyah ini.

Kiai Mustaqim berbaiat pada KH Abdur Razzaq bin KH Abdullah dari Ponpes Tremas Pacitan. Seperti yang diketahui, KH Abdur Razzaq merupakan saudara Syaikh Mahfuzh al Turmusi, ulama besar asal Tremas yang menjadi pengajar di Masjidil Haram Mekah.

Sebelum berbaiat, Kiai Mustaqim merupakan pengamal taat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yakni tarekat dengan Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1872) sebagai pelopornya. Perkenalan Kiai Mustaqim dengan tarekat Syadziliyah bermula dari pertandingan pencak silat di Ponpes Tremas Pacitan.

Mungkin sudah menjadi garis takdir yang kuasa. Dalam pertandingan itu santri asal Cirebon yang menjadi jawara silat dikalahkan santri asal Tulungagung. Kiai Abdur Razzaq pun penasaran.

Dia pun berusaha mencari tahu siapa guru santri yang menumbangkan santrinya. Begitu mengetahui guru si santri bernama Kiai Mustaqim asal Tulungagung, Kiai Razzaq langsung bertolak ke Tulungagung. Tanpa canggung, di depan Kiai Mustaqim, Kiai Razzaq meminta diajari amalan dan ijazah.

Alih alih bersedia. Kiai Mustaqim mengatakan dirinya tidak berhak memberikan ijazah. Dibanding dirinya, Kiai Mustaqim juga mengatakan Kiai Razzaq lah yang justru lebih berhak memberi ijazah. Sempat terjadi perdebatan alot.

Keduanya sama sama menolak dianggap mampu. Sama sama menyatakan tidak layak memberi ijazah. Untungnya jalan tengah bisa diambil.

Keduanya bersepakat saling berbaiat. Bersepakat saling bertukar ijazah. Kiai Mustaqim menerima ijazah Hizib Baladiyah atau Hizib Burhatiyah dan Tarekat Syadziliyah. Sebaliknya Kiai Mustaqim mengijazahi Kiai Abdur Razzaq Hizib Kafi dan Tarekat Qodiriyah.

Dalam barter pengetahuan ilahiyah ini sempat terlontar dari Kiai Mustaqim dirinya tidak yakin mampu menjalani tarekat Syadziliyah.

“Aurad Syadziliyah itu berat. Karena ada amalan ngere atau keluar rumah dengan hanya membawa sepotong baju dan makan dari pemberian orang, “kata Kiai Mustaqim seperti diriwayatkan dalam buku “Napak Tilas Masyayikh.

Apa jawaban Kiai Abdur Razzaq?. “Kiai (Kiai Mustaqim) pasti kuat,” jawabnya. Bahkan dikatakan juga : “Nanti pusat tarekat Syadziliyah akan berpindah ke Kedung”. Kedung yang dimaksud adalah Kauman, Tulungagung, tempat Kiai Mustaqim berada. Ungkapan setengah ramalan itu terbukti. Ponpes PETA Tulungagung menjadi pusat persebaran tarekat Syadzliliyah.


Jurnalis Citizen MM.com