Mengupas Paguyuban sapta darma Indonesia

Sapta Darma merupakan aliran kerohanian di Indonesia yang berarti ‘tujuh kewajiban suci’.Aliran ini diyakini bermula dari turunnya wahyu kepada Bapa Panuntun Agung Sri Gutama pada dini hari Jumat Wage tanggal 27 Desember 1952 di kediamannya di Kampung Koplakan, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur Aliran kerohanian ini memiliki tiga ajaran utama, yaitu sujud, Wewarah Tujuh, dan sesanti. Ibadah penganut Sapta Darma dapat dilakukan secara pribadi di rumah atau secara bersama-sama di tempat ibadah yang disebut sanggar.

Sejarah
Penerima ajaran Sapta Darma adalah Hardjosapoero yang lahir di Desa Semanding, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, pada tahun 1910. Hardjosapoero yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cukur menerima wahyu pertama mengenai ajaran aliran kerohanian ini pada tanggal 27 Desember1952 yang berlanjut hingga wafatnya pada tanggal 16 Desember 1964. Sepeninggal Hardjosapoero yang bergelar Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, pucuk pimpinan aliran kerohanian ini diserahkan kepada Soewartini Martodihardjo yang bergelar Ibu Tuntunan Agung Sri Pawenang hingga wafatnya pada tanggal 24 Mei 1996.
Pada tahun 1961, Sapta Darma telah mempunyai cabang di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Pada tahun 2014, penganut aliran kerohanian ini di Jawa Tengah tersebar di sejumlah wilayah seperti Pati dengan jumlah penganut sebanyak 5.000 orang, Klaten sebanyak 2.611 orang, dan Purworejo sebanyak 1.027 orang
Ajaran
Ajaran Sapta Darma sekilas memiliki makna yang sederhana, tetapi sebenarnya sangat luas karena meliputi segala aspek kehidupan di dunia manusia, roh, jin, dan setan. Inti sari dari ajaran ini bersumber pada sujud, Wewarah Tujuh, dan sesanti.

Kerohanian Sapta Darma bertujuan untuk kebahagiaan pengikut-pengikutnya, baik di dunia maupun di akhirat. Intisari dari ajaran ini adalah membentuk pribadi manusia yang asli berdasarkan keluhuran budi dan menjadikan penganutnya memiliki sikap kesatria utama (bahasa jawanya : manghayu-hayu bagya buwana)
Dalam ajaran Sapta Darma, manusia dianggap sebagai gabungan dari roh dan materi. Roh manusia berupa sinar cahaya Allah sehingga manusia dapat berhubungan dengan-Nya, sedangkan materi berupa tubuh manusia. Gabungan roh dan materi ini dihasilkan melalui perantara orang tua, ayah dan ibu. Manusia juga dianggap sebagai makhluk tertinggi di atas hewan dan tumbuhan sehingga menurut aliran ini, di dalam tubuh manusia terdapat radar yang apabila dilatih dengan baik akan dapat memberikan kewaspadaan dalam menjalani hidup.
Wewarah Tujuh yang berarti ‘tujuh petuah’ merupakan pedoman hidup yang harus dijalankan oleh setiap warga Sapta Darma. Isi Wewarah Tujuh adalah sebagai berikut.
Kewajiban Warga Kerokhanian Sapta Darma
Setiap Warga harus melaksanakan wajib
1. Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng.
2. Dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-undangan negaranya.
3. Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan bangsanya.
4. Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.
5. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.
6. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta halusnya budi pekerti, selalu merupakan petunjuk jalan mengandung jasa serta memuaskan.
7. Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan).

Sesanti atau semboyan warga Sapta Darma dalam bahasa Jawa berbunyi “Ing ngendi bae, marang sapa bae, warga Sapta Darma kudu suminar pindha baskara.” (bahasa Indonesia: “Di mana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus senantiasa bersinar laksana surya.”). Sesanti ini bermakna bahwa setiap warga Sapta Darma berkewajiban untuk selalu siap membantu siapa saja yang memerlukan bantuan.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com