Kemiskinan Menurut Islam

Oleh :
Dewien Nabielah Agustin.

Arti dari kemiskinan adalah kondisi individu / keluarga yang mengalami kondisi miskin dalam kehidupan sehari-hari. Masalah kemiskinan sudah menjadi suatu kondisi dimana orang miskin memiliki arti tersendiri bagi golongan masyarakat yang lain.

Menurut sebagian pemikir islam, kata miskin terambil dari kata sakana (bahasa Arab),
yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya
berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya,
dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga
“mematahkan” tulang punggungnya. Jadi fakir diartikan sebagai orang yang
sangat berkekurangan atau sangat miskin (Shihab, Quraisy. 2016).

Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran. Sebagian mereka berpendapat
bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak
cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan
sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si
miskin.

Menurut islam menilai bahwa kekayaan adalah salah satu kenikmatan Allah SWT,
yang harus disyukuri. Kemiskinan juga diartikan sebagai cobaan, suatu bencana
yang hanya dengan pertolongan Allah SWT, ia dihindari. Hal ini seperti yang telah difirmankan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, dalam surat Adh Dhuha
ayat 8 : “Dan Ia (Allah) telah mendapati Engkau (Muhammad SAW) dalam
keadaan papa, kemudian ia mengayakan”. Ayat tersebut mengartikan bahwa Allah
SWT mengingatkan Nabi Muhammad SAW. tentang betapa besar anugerah Allah
kepada beliau, antara lain menjadikannya berkecukupan (kaya) setelah
sebelumnya papa (miskin).

Di sisi lain, Al-Quran mengecam mereka yang mengharamkan hiasan duniawi yang diciptakan Allah bagi umat manusia (QS Al-A’raf [7]: 32) dan menyatakan bahwa Allah menjanjikan ampunan dan anugerah yang
berlebih, sedang setan menjanjikan kefakiran (QS Al-Baqarah [2]: 268).

Tak mengherankan jika dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan, ” Hampir
saja kefakiran itu menjadi kekufuran karena Nabi Saw”. Dan kita sering berdoa, “Ya Allah,
Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran” (HR Abu Dawd).

Islam tidak mengukur kemiskinan dari harta sebagai tolok ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah
kekayaan hati dan kepuasannya. Sebuah lingkaran betapapun kecilnya adalah
sama dengan 360 derajat, tetapi betapapun besarnya, bila tidak bulat, maka ia pasti kurang dari angka tersebut. Karena itu, Islam mengajarkan apa yang
disebut “qann’ah”, namun itu bukan berarti “nrimo” (menerima apa adanya), karena
seseorang tidak dapat menyandang sifat “qana’ah”, kecuali setelah melalui lima
tahap:
a. Menginginkan kepemilikan sesuatu.
b. Berusaha sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu menggunakan apa
yang diinginkannya.
c. Mengabaikan yang telah dimiliki dan diinginkan itu secara suka rela dan
senang hati
d. Menyerahkan kepada orang lain dan merasa puas dengan apa yang
dimiliki sebelumnya

Demikian yang bisa penulis sampaikan.
Wallohu a’lam bisshowwab.
“Staf Pengajar STIBADA Ampel Sby, Pembaca Setia Menara Madinah Com”