EDARAN KEMENAG NO 05 TAHUN 2022 EFEKTIFKAH?

Catatan Mochammad Rifai.

Edaran Kemenag RI tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bukan suatu keputusan kontroversial. Niatnya bagus.

Menjadikan tatanan kehidupan yang harmoni, nyaman tenteram sebagaimana tujuan agama diturunkan oleh Tuhan. Tidak hanya dimaksudkan untuk menjaga ‘ketergangguan’ umat lain semata tetapi juga tidak semua muslim sepakat dengan kondisi yang selama ini dipandang sebagai hal yang lazim karena di tengah-tengah masyarakat mayoritas.

Pengaturan penggunaan pengeras suara (speaker) di Masjid dan musala sejak pemerintahan orde baru khususnya saat bulan Ramadan sudah ada dan pelaksanaannya dikontrol oleh pemerintah. Efektif.

Takmir-takmir taat terhadap aturan pemerintah itu. Mengisi kegiatan di Bulan Ramadan dengan memperbanyak membaca Al-Quran itu memang diajarkan. Hampir masjid dan musala di Bulan Ramadan ramai dengan suara bacaan Al-Quran mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Sebelum diatur penggunaan pengeras suara, hal yang lazim mereka membaca Al Quran mulai habis shalat tarawih sampai pukul 12.00.

Alasannya klasik yaitu kepentingan siar Islam, di tengah-tengah masyarakat Islam itu sendiri. Kemudian aturan pemerintah penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala selama Bulan Ramadan hanya dibolehkan menggunakan perangkat pengeras suara luar sampai jam 21.00 selanjutnya dibolehkan dengan menggunakan perangkat pengeras suara dalam.

Menteri Yaqut Cholil Qoumas menuai kritik dari berbagai arah terkait dengan dikeluarkannya SE 05 Tahun 2022. Mulai dari analogi gonggongan anjing, pembatasan adzan sampai dengan pembatasan siar Islam.

Padahal yang diatur oleh Kemenag itu adalah penggunaan pengeras suara, kualitas, volume dan waktu.

Di setiap daerah sangat beragam, tergantung sejauh mana tokoh atau ulamanya dalam mengendalikan kegiatan masjid dan musala.

Memang ada di daerah tertentu, saking semangatnya, satu jam sebelum waktu subuh sudah terdengar suara rekaman bacaan surat-surat Al Quran, kemudian tarkhim, dilanjutkan dengan alunan adzan (live), terus pujian-pujian dengan volume lebih dari 100dB.

Bahkan terjadi semacam ‘jor-joran’ suara antara masjid dan musala. Penerimaan masyarakat tentu beragam antara yang pro dan kontra. Kalau masyarakat non-muslim tentu hal yang wajar.

Persoalan mainset, jujur saja masyarakat kita masih tinggi ‘kemaruk’ teknologi. Pinjam istilah Mbak Yeni Wahid, negara kita ini ada di ‘darurat logika’. Perlu keterlibatan steakholder terutama di tingkat sampai kampung-kampung untuk memahamkan maksud baik Menteri Yaqut. Hal baik apa pun kalau sudah menimbulkan ketergangguan pihak lain, tentu harus dihentikan.

Membaca Al Quran dengan suara lantang kalau ada orang sedang shalat, maka volume bacaannya sirri atau pelan. Tapi yang terjadi, di masjid-masjid pinggir jalan raya yang biasa dipakai shalat (magrib) para musafir, mereka tidak bisa nyaman karena bunyi keras dzikir dengan pengeras suara hingga tidak menghiraukan ada jamaah shalat susulan.

Itu mainset sekaligus pemahaman. Dzikir berjamaah dengan suara keras (pakai pengeras) bukanlah wajib, tetapi menjaga kenyamanan dan kekhusu’an orang sedang ibadah shalat itu hukumnya wajib.

Efektifkah SE Kemenag 05 tahun 2022 itu? Prokontra tentang SE itu kayaknya sudah masuk di ‘dagangan’ politik. Setiap ada peluang yang bisa dijadikan dagangan politik, begitu semangat diviralkan ke masyarakat seolah memandang kebijakan Kemenag itu tidak manfaat, macam-macamlah tudingan negatif.

Mereka yang seolah-olah kontra itu hanya memanfaat momen politik saja. Padahal ini harusnya menjadi garapan semua elemen demi terciptanya masyarakat yang harmoni, aman, nyaman dan damai.

Berhenti saling menyalahkan. Sangat manfaat bila semua (ormas dan para ulamanya) berkenan mengedukasi masyarakat agar tidak memanfaatkan mayoritas sebagai penentu yang ‘arogan’, seenak dan semaunya sendiri.

Kalau tidak ada kesungguhan dari para pihak dan dukungan dari para tokoh, ulama, kiai, dan lembaga-lembaga keagamaan (Islam) maka aturan itu tidak akan berjalan efektif. Pada hal Pak Menteri hanya minta waktu 10 menit pengaturan penggunaan perangkat pengeras suara (toa) luar sebelum adzan dikumandangkan.

Berikutnya yang biasa dengan pujian-pujian menggunakan pengeras suara dalam.
Hal yang bijak tetapi perlu komunikasi yang produktif sehingga tidak terjadi kesalahpahaman utama di internal umat Islam sendiri. Ini persoalan ranah kebangsaan, kebhinekaan, dan demokrasi yang sehat.

Tentu tidak cukup dengan modal aturan formal melainkan harus bagaimana bisa memahamkan dan mengubah minset masyarakat bahwa agama itu diturunkan untuk menciptakan kedamaian, kenyamanan dan kesejahteraan bersama.

Teknologi dimanfaatkan secukupnya. Dan kita harus selalu ingat bahwa kebaikan akan gugur tatkala ada yang terganggu (dalam logika dan kewajarannya).

Prinsipnya hidup tidak boleh egois, apalagi karena merasa mayoritas. Tetaplah merdeka dalam berperilaku beragama namun yang sehat, jauh dari mengganggu orang lain.
*Kepala SMA Negeri Glenmore, Banyuwangi.