Komisi X DPR RI: Dana BOS itu Hak Warga Negara. Bukan “Perangkap” Menggabungkan Sekolah.

Jakarta-menaramadinah.com-Rencana Kemendikbudristek RI menghapus Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang memiliki kurang dari 60 siswa selama tiga tahun terakhir menuai banyak kritikan. Walaupun mas Menteri Nadhim Makarim menyatakan bahwa kebijakan ini belum akan diberlakukan di tahun 2022.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang petunjuk teknis pengelolaan Dana BOS Reguler.

Diminta tanggapannya, di sela- sela Rapat Panja Merdeka Belajar -Kampus Merdeka di Ruang Rapat Komisi X DPR RI (Kamis, 9 September 2021) Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar H. Muhamad Nur Purnamasidi menyatakan; selain bertentangan dengan Undang-undang, kebijakan tersebut tidak ubahnya dengan “membunuh” perlahan sekolah swasta, terutama yang berada di daerah pedesaan. Terlebih di kawasan yang termasuk dalam kategori daerah 3 T.

Padahal eksistensi sekolah swasta ini jauh lebih dulu ada sebelum sekolah negeri didirikan. Tidak sedikit pula sekolah yang awalnya swasta yang akhirnya beralih status menjadi sekolah negeri atau beralih status di -negeri -kan.

Saya menilai kebijakan ini memiliki dampak yang luas. Akan ada banyak guru yang menjadi ” pengangguran” dadakan. Banyak Siswa mengalami putus sekolah, karena sekolahnya terpaksa ditutup.

Selama ini, Banyak sekolah yang sangat mengandalkan dana BOS untuk dapat tetap bertahan dalam operasionalnya. Terlebih di masa situasi Pandemi Covid 19 ini, kemampuan ekonomi masyarakat menurun drastis. Saya berharap kebijakan ini ditinjau ulang, bahkan di cabut saja. Lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya. Peraturan Menteri ini hanya akan menimbulkan kegaduhan baru, yang justru menghabiskan energi dan terga ggunya berbagai prioritas program pendidikan yang di gagas mas menteri.

Perlu saya kemukakan bahwa dalam perjalanan kesejarahan bangsa, sekolah swasta memiliki andil yang signifikan. Bahkan posisi dan perananya sangat strategis dalam masa pergerakan melawan penjajah dengan memberikan “pencerahan” semangat patriotisme dan nasionalisme.

Lebih lanjut, politisi alumni Fisip Unej dari dapil Jatim IV Jember Lumajang ini menandaskan bahwa BOS itu adalah menjadi hak warga negara sebagaimana amanat konstitusi. Saya mensinyalir kebijakan mas menteri ini sebagai bagian skema penggabungan sekolah. Saya sangat menyayangkan bila kebijakan ini diberlakukan dengan menjadikan BOS sebagai perangkat “senjata” yang membunuh pelan- pelan terutama bagi sekolah Swasta. Karena selama ini, tidak dipungkiri masih ada dikotomi negeri dan swasta. Padahal keduanya bisa saling bersinergi, saling menopang dan melengkapi serta memiliki tujuan yang sama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bahwa awal mula sekolah swasta itu didirikan bagian dari kepedulian serta tanggung jawab masyarakat untuk membantu pemerintah menyediakan layanan pendidikan, nir nilai yang sifatnya keuntungan.

Upaya penggabungan sekolah dengan menjadikan Dana BOS sebagai “perangkap” saya nilai tidak pada tempatnya. Penggabungan sekolah, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan baik geografis, sosiologis, budaya maupun kearifan lokal yang dimiliki. Pungkasnya. Om lyan