Peleburan Litbangjirap Jadi Kemunduran IPTEK RI

 

Jakarta-menaramadinah.com-Dampak paling serius dari peleburan atau pengintegrasian lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ialah kemunduran ilmu pengetahuan teknologi (iptek) dan inovasi di Tanah Air. Cara tersebut menghilangkan esensi kegiatan riset dan inovasi.

“Kita akan mengalami setback (kemunduran) dan untuk memulihkan kembali hampir tidak mungkin. Karena kita dengan cara seperti ini, menghilangkan esensi kegiatan riset dan inovasi. Esensinya adalah kemandirian, otonomi di dalam melakukan penelitian secara akuntabel sesuai performance dan prestasinya,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam webinar Forum Alinea bertema “Uji Materi Regulasi BRIN”, Selasa (31/8).

Kemunduran iptek dan inovasi bisa terjadi jika ihwal ini berada dalam kendali penuh BRIN. Apalagi, pendekatan yang digunakan sangat birokratis dan penganggaran yang sudah didesain BRIN saat ini.

Karena potensi kemunduran itulah, dua peneliti mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya, Eko Noer Kristianto dan Heru Susetyo, menguji makna ‘terintegrasi’ yang tertuang di Pasal 48 (ayat 1) Undang-undang Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) dan frasa ‘antara lain’ di penjelasan Pasal 48 (ayat 1).

Menurut kuasa hukum keduanya, Wasis Susetio, adanya dua frasa itu membuat Pasal 48 (ayat 1) jadi multitafsir. “Adanya kata ‘antara lain’ itu bisa memperluas pengertian atau dikembangkan ke yang lain, termasuk ke makna peleburan, bukan hanya yang ditulis di pasal,” kata pengacara dari Kantor Hukum SANS & PARTNER itu.

Wasis menerangkan, pemohon ingin mendapatkan kepastian tafsir dua frasa itu. Sebab, oleh pemerintah, ‘terintegrasi’ dimaknai sebagai peleburan lembaga-lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang iptek (Batan, Lapan, LIPI, dan BPPT) juga badan litbang di 48 kementerian/lembaga. “Ini menimbulkan keresaahan,” kata Wasis.

Agar itu tak terjadi, Satryo mengusulkan BRIN seyogianya berperan sebagai lembaga pendana riset dan inovasi, bukan mengintegrasikan lembaga-lembaga iptek. BRIN seyogianya tidak melaksanakan kegiatan iptek. Aktivitas ini sebaiknya dilaksanakan oleh lembaga iptek.

“Fungsi integrasi BRIN dapat dilakukan dengan mekanisme pendanaan yang berbasis usulan/kompetisi antarlembaga iptek dengan memasukkan kriteria kolaborasi sebagai salah satu faktor penentu. Dengan demikian dana R&D akan termanfaatkan maksimal,” kata dia.

Hampir senada, Rektor Institut Teknologi Indonesia, Marzan Aziz Iskandar mengatakan, keberadaan BRIN seharusnya sebagai lembaga yang mengintegrasikan litbangjirap. BRIN tidak boleh masuk ke dalam urusan pelaksanaan invensi dan inovasi.

“Kalau BRIN ada di dalam (pelaksanaan kegiatan), maka semua sistem ini BRIN. Sistem semacam itu pasti tidak bisa menjamin check and balance. Potensial terjadi conflic of interest, sehingga sistem ini tidak bisa berjalan dengan baik,” kata Marzan.

Menurutnya, BRIN bertugas menyusun program dan anggaran yang menjadi amanat UU 11/2019. Kemudian yang melaksakan invensi dan inovasi adalah lembaga/organisasi riset (OR) litbang, OR jirap, OR nuklir, OR antariksa, perguruan tinggi, badan usaha, dan lembaga penunjang.

Sedangkan Ketua Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia (Apkesi) Agus Purwadianto mengatakan, perlu ada proses transisi kelembagaan litbangjirap sebelum dilebur ke BRIN. “Langkah ini memerlukan antisipasi kelembagaan maupun perorangan/kelompok peneliti secara dialogis dan win-win dalam bingkai kenegarawanan profesi,” kata dia.

Menurut Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) 2015-2018 dan 2019-2020 Bambang Setiadi, dalam pembangunan berbasis pengetahuan, inovasi berperan amat penting. Makanya, Indonesia harus fokus kepada iptek. Di antaranya dengan cara menyusun undang-undang yang mendukung serta memperkuat lembaga-lembaga pelaksana kegiatan riset.

Dia berharap ada revisi UU 11/2019. Sebab, di undang-undang ini tidak ada Dewan Riset Nasional (DRN). Juga terjadi kekaburan norma terkait kata ‘integrasi’ dalam peran BRIN. Imbasnya, kata dia, tidak ada forum untuk mengawal riset dan inovasi di Indonesia.

Di sisi lain, hampir semua negara di dunia memiliki DRN. Bahkan, DRN Amerika Serikat sudah berdiri sejak 1916. “Kami minta UU 11/2019 menjadi UU Sisnas Iptekin (Iptek dan Inovasi). Jadi, ada unsur inovasi. Kemudian, inovasi bukan diatur di banyak pasal, tapi jadi satu bab dan di bab itu dibahas pembentukan BRIN,” ucap dia.

Dalam usulan revisi UU 11/2019, Bambang mengingatkan pentingnya memberikan pemahaman kata ‘integrasi’ secara logis dan terstruktur dalam hubungannya dengan BRIN. Di sisi lain, kata dia, perlu mencantumkan strategi dan peta jalan (roadmap) inovasi.

Wasis Susetio berharap, uji materi terhadap UU Sisnas Iptek bisa berdampak pada pembatalan Pasal 48 (ayat 1) yang memuat kekaburan norma ‘integrasi’. Ia meminta majelis hakim menetapkan frasa ‘teringrasi’ di Pasal 48 (ayat 1) dan frasa ‘antara lain’ di penjelasan tidak bertentangan dengan Pasal 28D (ayat 1) UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai BRIN adalah badan yang hanya melakukan koordinasi menyusun, merencanakan, membuat program dan anggaran, Sumber Daya Iptek bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian dan Penerapan.

Atau frasa ‘antara lain’ dalam penjelasan Pasal 48 (ayat 1) UU Sisnas Iptek bertentangan dengan Pasal 28D (ayat 1) UUD 1945 dan tidak memunyai kekuatan hukum mengikat. “Konstruksi yang kita bangun hanya meluruskan, membangun koridor untuk menghindari penyimpangan tafsir karena ada frasa multitafsir,” kata Wasis.

Terkait bukti pendukung, pihaknya telah membongkar berbagai dokumen, risalah rapat, juga naskah akademik RUU Sisnas Iptek.
“Lucunya memang Pasal 48 ayat 1 UU Sisnas Iptek tidak ditemukan. Biasanya di situlah bagaimana argumentasi para pembentuk hukum di DPR melihat apa yang menjadi alasan-alasan,” tutur Wasis.

Di sisi lain, kata dia, di halaman 152 naskah akademik RUU Sisnas Iptek menyebutkan masalah anggaran, yang menandakan niat awal memang bukan membentuk sebuah badan/lembaga baru. Melainkan lebih pada mengoordinir lembaga-lembaga iptek yang sudah ada.

“Kalau ada UU yang melahirkan lembaga baru biasanya ada aturan khusus yang mengatur bagaimana lembaga baru itu berjalan dan bekerja. Tupoksinya akan diatur. Termasuk transisi. Tetapi dalam ketentuan di Pasal 48 hanya dikatakan dibentuk BRIN, yang sama sekali tidak ada penjelasan apa pun,” ujar Wasis.

Ia memastikan, intensi pembentuk UU Sisnas Iptek jelas bukan membentuk badan/lembaga baru untuk mematikan berbagai lembaga iptek yang ada. Konstruksi tafsir inilah yang perlu dikembalikan sesuai tujuan dari pembentukan UU Sisnas Iptek yang sesungguhnya. KHR