Dr. Teguh: “Rizki Tidak Hanya Di Bumi, Tapi Juga Di Langit”

 

*Laporan Wawan Susetya*

“Terjadinya silaturahmi yang baik seperti ini menunjukkan bahwa trah Eyang Krama Semita rukun satu sama lainnya,” demikian kata KH. Dr. M. Teguh (wakil Dekan Fuad UIN SATU Tulungagung) saat menghadiri pertemuan rutin Paguyuban Krama Semita Minggu (11/4).

Dalam pertemuan di rumah Bapak Agus Sunaryo Desa Bendiljati Wetan Sumbergempol Tulungagung itu, Dr. Teguh juga menandaskan mengenai pentingnya silaturahmi. Dengan memperbanyak silaturahmi dapat memperpanjang umur dan meluaskan rizki.

“Yang namanya rizki tentu bukan hanya berkaitan dengan uang saja, tetapi juga kesehatan, kelapangan hati, bertambahnya ilmu dan sebagainya. Bahkan rizki itu bukan hanya berada bumi, tapi yang terpenting justru di langit,” katanya sembari mencontohkan bersambungnya doa kebaikan kepada orang lain.

Orang yang sakit di rumah sakit, kata Dr. Teguh, karena keadaannya yang lemah mungkin tentu tidak dapat bekerja. Tetapi kenyataannya mereka (orang yang sakit) itu tetap mendapatkan rizki. Buktinya mereka mendapatkan makanan, bahkan makanan yang disediakan kepada mereka malah lebih lengkap dibanding ketika sehat. Hal itu menandakan bahwa ada “rizki dari langit” termasuk adanya doa-doa yang mengalir kepadanya.

Dalam kehidupan ini seringkali tidak seperti yang dibayangkan. Misalnya, kata pria kelahiran Magelang Jateng, orang yang semestinya paling sehat dan berumur panjang adalah para dokter karena mereka yang paling mengerti masalah pengobatan terhadap sakit. Tapi kenyataan tidak demikian, mereka juga sakit dan umurnya rata-rata hampir sama dengan lainnya.

Demikian halnya para guru. Karena mereka yang paling pinter mengajar, mungkin anak-anak merekalah yang paling pinter. Tetapi kenyataannya tidak juga.

Orang yang paling ahli dalam pembangunan adalah para tukang, mungkin rumah merekalah yang paling baik. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan di antara mereka (para tukang) malah ada yang belum mempunyai rumah.

Sementara itu Ki Wawan Susetya selaku Ketua Paguyuban Krama Semita dalam kesempatan itu menjelaskan mengenai Syekh Subakir dan sejarah syi’ar dakwah Islam di Tanah Jawa. Seperti diketahui bahwa masuknya syi’ar Islam di Jawa (Nusantara) sejak abad 7 oleh para saudagar dari Gujarat Timur Tengah. Namun sayangnya masyarakat Jawa saat itu belum banyak yang menerima Agama Islam hingga abad 14.

“Setelah Syekh Subakir utusan Sultan Muhammad I dari Kekhalifahan Ottoman Turki me-numbali Tanah Jawa di puncak Gunung Tidar di Magelang pada abad 14, maka masyarakat Jawa berbondong-bondong memeluk Agama Islam,” ujar Ki Wawan.

Sebelum ditumbalinya Tanah Jawa, saat itu Syekh Subakir melakukan perjanjian terlebih dahulu dengan Hyang Ismaya (Semar, Badranaya). Intinya bahwa dalam syi’ar Agama Islam itu tidak ada paksaan sama sekali. Agama Islam hanya bagi mereka yang mau menerimanya, sedang bagi mereka yang menolak tidak dipaksa sedikit pun.

Dalam syi’ar Agama Islam saat itu, Syekh Subakir bersama pamannya Syekh Maulana Malik Ibrahim, Syekh Jumadil Qubro, dan sebagainya. Mereka adalah generasi awal Wali Sanga. Setelah itu dilanjutkan dakwah para Wali Sanga lainnya, seperti Sunan Ampel, Syekh Maulana Ishaq, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Gunungjati, dan Sunan Muria.

Syi’ar dakwah Islam pada abad 14 itu diterima oleh mayoritas masyarakat Jawa, sebab pembawa syi’ar adalah para Ulama yang selevel dengan kasta Brahmana. Sebagaimana diketahui bahwa pada saat itu di Jawa ada 4 kasta yaitu brahmana, ksatria, waisya dan sudra.

Hal itu berbeda dengan syi’ar pada abad 7 yang dilakukan oleh para saudagar yang sinkron dengan kasta sudra, kurang dihormati. Berbeda dengan yang terjadi pada abad 14 yang syi’ar Agama Islam dilakukan oleh para Ulama Wali Sanga yang identik dengan level brahmana yang sangat dihormati orang Jawa. Maka berbondong-bondonglah masyarakat Jawa memeluk Agama Islam.

Dalam pertemuan itu tuan rumah Bapak Agus Sunaryo berkenan membagi-bagikan hadiah kepada trah Eyang Krama Semita dengan berbagai kategori, seperti yang tertua dan termuda, yg datang paling awal dan paling akhir, yang lahir di bulan April, dan sebagainya.

“Mudah-mudahan hadiah ini dapat bermanfaat kepada para trah Eyang Krama Semita,” ujar Bapak Agus yang bertugas sebagai Pengawas di Dinas Pendidikan Kab. Tulungagung.