Geografi Belasungkawa Budayawan, Cendekiawan, Jurnalis dan Kiai

 

: catatan manusia ambyar Mashuri Alhamdulillah.

Berita belasungkawa seperti kereta bawah tanah di sebuah kota metropolitan dunia. Cepat, bergegas dan terjadwal rapi. Sayangnya, jadwal itu bersifat rahasia.

Belum usai kabar duka dari Semarang, budayawan Kiai Prie GS, kemudian kemarin cendekiawan muslim Kang Jalaluddin Rahmat, hari ini, saya tersentak atas kepulangan dua orang yang namanya karib di telinga: Mas Yuyung Abdi dan Mbah Kiai Haji Minan Abdullah Salam, pengasuh salah satu Pesantren di Kajen, Pati.

Meski musabab kepulangan para beliau itu bukan semata-mata Covid, karena ada di antara mereka yang disebabkan penyakit lain, toh rasanya di dada masih membawa nama Covid dan semakin membuat nama Covid semakin berkibar sebagai bendera duka. Apalagi kemarin-kemarin, beberapa kawan dan kenalan juga berpulang. Geografi belasungkawa pun demikian merata.

Meski hanya bermaqom sebagai manusia ambyar, tentu kepulangan beberapa orang hebat dan berilmu itu menyisakan nyeri tersendiri di hati. Hanya doa-doa lirih yang sempat terucap dan berharap para beliau itu ditempatkan di maqom sebagaimana mestinya dan kebaikan-kebaikan mereka diterima.

Memang tidak semuanya saya kenal secara personal. Namun, kiprah mereka di bidangnya tidak diragukan lagi. Sedikit banyak, saya pernah kecipratan kebaikan mereka, lewat karya-karya dan keteladanan mereka.

Mungkin di antara mereka yanh saya pernah bersua dan mencecap ilmunya secara langsung adalah Kang Jalal. Seingat saya, pada 2003, ketika saya tercatat sebagai mahasiswa IAIN, saya pernah mengikuti perkuliahan yang diampu Kang Jalal. Temanya tentang tasawuf, kalau tidak salah. Dari sekian materi yang disampaikan, kebanyakan tidak saya mengerti, karena temanya terlalu tinggi. Namun, saya mencatat ada sebuah perkataan almarhum yang hingga kini masih saya ingat benar.

“Ilmu hikmah dan ilmu tasawuf itu berbeda,” tegas Kang Jalal.

Sungguh, saya terperangah mendengarnya, karena dalam pikiran saya yang ambyar, kedua ilmu itu tidak ada bedanya. Namun, Kang Jalal memberi keterangan dengan mencontohkan beberapa kasus yang membumi dan khas Indonesia. Alhasil, saya pun memahaminya, meskipun tidak tuntas.

Demikianlah. Semoga para marhum bergelimang rahmat-Nya.

MA
On Siwalanpanji, 2021
Ilustrasi ramban Google