Sosialisasi Kebangsaan Di Sasana Budaya Ngesthi Laras

SALAH SATU program Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yang dilakukan Sarmuji, SE, MS.i (anggota DPR RI komisi XI dan ketua DPD Partai Golkar Jatim) ke beberapa daerah di Jawa Timur, yakni berkunjung ke Sasana Budaya “Ngesthi Laras” di Dusun Glotan, Desa Tanggung, Kec. Campurdarat, Tulungagung Sabtu malam (14/2).

Bagaimana situasi jalannya silaturahmi di Sasana Budaya “Ngesthi Laras” yang diketuai Ki Handaka, S.Sos tersebut?

Berikut laporan Wawan Susetya dari Menara Madinah kepada pembaca yang budiman.

Sebelum kehadiran Sarmuji, anggota DPR RI komisi XI dari fraksi Partai Golkar dan ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur ke Sasana Budaya “Ngesthi Laras” di Desa Tanggung Glotan, terlihat para waranggana atau niyaga telah memperdengarkan alunan suara gamelan. Kebetulan gamelan tersebut merupakan bantuan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada tahun 2019 lalu. Gendhing Suka Sukur sayup-sayup terdengar mengumandang menyambut kedatangan anggota DPR RI Sarmuji beserta rombongan yang dikomando oleh Jaeri, staf Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Ki Wawan Susetya dan Ki Handaka selaku tuan rumah beserta Kades Tanggung Suyahman serta Dr. Muhammad Teguh Ridwan menyambut kehadiran tokoh Jawa Timur yang tengah mengadakan lawatan kunjungan ke beberapa daerah. Sekitar seratus orang warga Tanggung Glotan maupun beberapa orang aktivis dan pegiat kebudayaan di Tulungagung telah menunggu sebelumnya di Sasana Budaya “Ngesthi Laras” yang merupakan peninggalan maestro seni-budaya almarhum Ki Sudjinal.

Ki Regu Siswadji selaku perwakilan keluarga almarhum Ki Sudjinal mengucapkan selamat datang kedatangan anggota DPR RI Sarmuji dan Sahat Simanjutak wakil ketua DPRD Jawa Timur beserta rombongan. Dalam kesempatan itu, Ki Regu juga mengapresiasi atas kedatangan Sarmuji selaku anggota DPR RI sekaligus ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur ke Sasana Budaya “Ngesthi Laras” Tanggung Glotan.

Ia selaku sahabat dekat almarhum Ki Sudjinal memberikan kesaksiannya dengan mengatakan, “Memang sosok almarhum Ki Sudjinal telah mencurahkan perhatiannya yang sangat besar terhadap pelestarian seni-budaya, seperti seni krawitan, pedhalangan serta macapat di Sanggar Ngesthi Laras ini. Bukan hanya itu tapi juga seni kethoprak dan panembrama dan sebagainya.”

Sasana Budaya “Ngesthi Laras” didirikan oleh almarhum Ki Sudjinal pada tahun 1970 dengan memfasilitasi warga sekitar melestarikan seni-budaya terutama krawitan dan pedhalangan. Meski dalam perjalanannya mengalami pasang-surut, namun Sanggar “Ngesthi Laras” hingga kini masih berjalan mengajak warga sekitar melestarikan seni budaya. Selanjutnya sejak tahun 2017 lalu, Sasana Budaya “Ngesthi Laras” dinotariskan menjadi lembaga kebudayaan di bawah kepemimpinan putra almarhum, Ki Handaka, S.Sos.

Kades Tanggung Suyahman juga menghaturkan terima kasih atas kehadiran Sarmuji anggota DPR RI ke Sasana Budaya “Ngesthi Laras” pada malam itu. Pihaknya selaku pimpinan pemerintahan desa merasa bangga dan mensyukuri karena keberadaan Sanggar Ngesthi Laras telah mengangkat nama baik Desa Tanggung yang dipimpinnya. Misalnya, Suyahman menginformasikan bahwa tiga hari sebelum itu di sanggar tersebut telah kedatangan Saudari Monis sebagai pegiat kebudayaan perwakilan dari Dirjen Kebudayaan yang menyosialisasikan pemajuan kebudayaan.

“Bahkan, Sasana Budaya Ngesthi Laras juga pernah mendapat kunjungan Ibu Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Juga termasuk para pejabat lainnya, seperti perwakilan dari Kemendikbud,” ujar Suyahman menceritakan.

Jaeri, staf Gubernur Jatim yang memimpin rombongan malam itu menyampaikan bahwa sebelumnya Ibu Khofifah Indar Parawansa pernah memberikan bantuan peralatan kesenian di Sasana Budaya “Ngesthi Laras” Tanggung Glotan pada tahun 2019.

“Ibu Gubernur berpesan semoga bantuan peralatan seni budaya tersebut dapat dimanfaatkan sebaik mungkin bagi Sanggar Ngesthi Laras,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, Sarmuji selaku anggota DPR RI (komisi XI yang membidangi keuangan dan perbankan) dan ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur merasa larut saat mendengarkan alunan gendhing-gendhing klasik yang dibawakan para niyaga Sasana Budaya “Ngesthi Laras” dengan pengendhang Ki Handaka alias Kaka. Setelah gendhing selesai, tak diduga Sarmuji membawakan Tembang Macapat, yaitu Mijil:

“Dedalane guna lawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane, tumungkula yen dipun dukani, bapang den simpangi, ana catur mungkur.”

Artinya: Jalan menuju kekuatan (menjadi orang yang bermanfaat) dan kesaktian, harus bersikap rendah hati, mau mengalah yang akan membawa keluhuran atau dimuliakan, menunduklah kalau sedang dimarahi, hindarilah angkara murka, menjauhlah dari pembicaraan orang yang tak bernilai (membicarakan orang lain).

Rupanya Tembang Mijil itu pula yang pernah dinasihatkan oleh ayahandanya kepada Sarmuji hingga membekas sampai sekarang. Tentu bukan hanya itu saja tembang-tembang Macapat yang pernah dinasihatkan dari ayahandanya kepadanya semasa masih kecil dulu.

“Bapak saya dari Ponorogo, sedang ibu saya dari Ngantru Tulungagung, tapi saya lahir di Surabaya. Bapak saya yang asli Ponorogo itu memang mendalami khasanah seni-budaya Jawa, terutama makna dari Tembang Macapat,” ujar Sarmuji yang menempuh kuliah di Unej (Universitas Jember) Jawa Timur.

Itulah sebabnya, pria yang memiliki tiga orang anak laki-laki semua itu merasa bersyukur dan bergembira melihat Sasana Budaya “Ngesthi Laras” yang masih nguri-uri (melestarikan kesenian tradisi) sebagai peninggalan para leluhur budaya bangsa.

Sarmuji juga mendendangkan Tembang Gambuh: “Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kalantur, tanpa tutur katula-tula katali, kadaluwarsa kapatuh, kapatuh pan dadi awon.”

Artinya; Tembang gambuh keempat, yang dibicarakan tentang perilaku yang kebablasan, tanpa nasihat terjerat penderitaan, kebiasaan bisa berakibat buruk.

Dikatakan oleh Sarmuji bahwa tembang tersebut mengisyaratkan keadaan zaman sekarang di mana banyak orang yang telah kebablasan atau berlebih-lebihan dalam kehidupan. Akibat ulahnya yang tanpa mengikuti nasihat orang-orang tua itu akhirnya mengalami penderitaan.

“Demikianlah bahwa kebiasaan itu sesungguhnya bisa berakibat buruk,” ujarnya menandaskan.

Berkaitan dengan acara Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, Sarmuji merasa yakin bahwa masyarakat Tulungagung dan sekitarnya tentu sudah memegang prinsip mengenai hal itu, yakni; Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI harga mati.

“Saya berkeyakinan bahwa budaya dan tradisi kemudian menjadi kebiasaan, lalu kebiasaan menjadi karakter bangsa. Nah, bila bapak-bapak dan ibu sekalian sudah menjalankan seni-budaya krawitan seperti ini niscaya secara otomatis empat pilar tersebut akan teradobsi dengan baik,” tandasnya.

“Oleh karena itu,” lanjut Sarmuji, “bapak-bapak jangan sampai bosan melestarikan khasanah seni-budaya yang adiluhung seperti ini.”

Menurutnya, ia merasa terhibur ketika berkunjung ke daerah terutama saat seni krawitan ditampilkan seperti di Sasana Budaya “Ngesthi Laras” itu. Terus-terang, jelasnya, dalam keseharian Sarmuji yang berada di komisi XI DPR RI yang membidang masalah keuangan dan perbankan selalu dihadapkan pada angka-angka. “Saya di komisi XI DPR RI, setiap hari selalu dihadapkan pada angka-angka saja, entah pertumbuhan ekonomi, nilai rupiah atas dolar, dan sebagainya. Bikin pusing. Kalau di sini mendengarkan gamelan kan beda, bikin adhem dan menentramkan hati,” imbuhnya.

Hampir senada, Sahat Simanjutak wakil ketua DPRD Jatim yang malam itu hadir di Sasana Budaya “Ngesthi Laras” Glotan juga menyatakan ketertarikannya terhadap seni-budaya seperti krawitan.

“Meski marga saya itu dari Batak, tetapi saya itu kelahiran Trenggalek. Jadi sebenarnya saya itu ya Jawa. Meski demikian, karena marga keluarga saya itu Batak (Simanjutak), maka tetap saya tetap menggunakan marga leluhur saya,” ujar Sahat yang saat itu tidak berangkat bersama-sama dengan Sarmuji.

“Saya tadi itu berada di Trenggalek, di rumah orang tua saya. Begitu saya mendapat kabar Pak Sarmuji ada acara di Tulungagung, maka saya langsung ke sini. Ya tentu saya sebagai anak buah, ketika ada pimpinan di daerah, maka saya berusaha menemui beliau,” katanya sambil tersenyum.

Sahat berharap agar para pengelola Sasana Budaya “Ngesthi Laras” terus melestarikan seni-budaya sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan sosialisasi empat pilar kebangsaan yang tengah dilakukan oleh anggota DPR RI Sarmuji pada malam hari itu.

Sementara itu Dr. Muhammad Teguh selaku akademisi UIN Syekh Ali Rahmatullah Tulungagung mengutip pernyataan alm. KH Maimoen Zubair mengenai PBNU yang tak lain merupakan kepanjangan dari empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

“Di Sasana Budaya Ngesthi Laras ini nampak sekali kemajemukannya yang mengisyaratkan Bhineka Tunggal Ika. Sebab di sini ada yang memeluk Agama Hindu, Kristen, penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME, dan tentu saja mayoritas muslim. Meski demikian mereka bersatu dalam menabuh gamelan dalam seni krawitan seperti pada malam hari ini,” ujar pria kelahiran Magelang itu.

Dr. Teguh sempat berseloroh, “Bila anak Bapak Sarmuji itu tiga laki-laki semua, sebaliknya anak saya itu tiga putri semua.”

Tentu saja suasana dalam pertemuan sosialisasi empat pilar kebangsaan pada malam itu nampak regeng dan santai, apalagi sambil diselingi tembang-tembang Macapat dari tetabuhan gamelan (seni krawitan).

Pandhawa Dadu Dan Bima Suci

Sarmuji sempat merespon dan menanggapi terhadap lakon wayang “Pandhawa Dhadhu” yang sangat fenomenal itu. Dalam permainan dadu itu, Pandhawa bukan hanya kehilangan seluruh harta bendanya saja, tetapi juga seisi negaranya Ngamarta. Kekalahan Pandhawa atas Kurawa dalam permainan dadu tersebut karena praktik tipu daya kelicikan yang dilakukan oleh Patih Sengkuni. Karena kekalahan dalam permainan dadu itu, selain kehilangan negaranya Ngamarta, para Pandhawa masih harus menjalankan hukuman buang di hutan belantara selama 12 tahun dan bersembunyi selama setahun.

“Saya menemukan ‘benang-merah’-nya dalam lakon Pandhawa Dhadhu yang fenomenal itu. Dalam lakon tersebut ada pesan penting yang saya rasakan bahwa seperti itulah dunia politik. Itu merupakan hal yang biasa dalam dunia politik. Oleh karena itu orang yang terjun ke dunia politik ya harus siap kehilangan segalanya seperti yang dialami Pandhawa! Masuk politik jangan setengah-setengah, tetapi harus all out!” ujar Sarmuji yang sejak mahasiswa telah menggembleng dirinya dalam berorganisasi.

Tentu yang diharapkan oleh Sarmuji adalah masuk politik dengan tujuan menegakkan kebenaran dan keadilan serta berusaha menyejahterakan rakyat. Itulah sebabnya ia merasakan betapa sangat penting nasihat-nasihat yang pernah diterimanya dari ayahnya terutama melalui khasanah Tembang Macapat mengenai akhlak, kejujuran, patriotisme, dan sebagainya.

Sarmuji juga mengapresiasi mengenai lakon Bima Suci dalam pewayangan yang sarat dengan nuansa spiritulitas. Artinya bahwa dalam seni wayang kulit juga terdapat pelajaran spiritual yang sangat mendalam.

Sementara itu Dr. Teguh yang disertasinya (S-3) berkenaan Falsafah Bima Suci menjelaskan bahwa lakon Bima Suci tersebut merupakan lakon carangan karya Sunan Kalijaga dalam memperkenalkan ketauhidan kepada orang Jawa. Konsep tersebut sinkron dengan ungkapan “Man arafa faqod arafa rabbahu” (Barangsiapa mengenal dirinya niscaya ia mengenal Tuhannya).

Dalam lakon Bima Suci tersebut, jelas M. Teguh, dikisahkan mengenai keinginan Sang Bima untuk mengetahui asal-usul kehidupan atau yang disebut sangkan paraning dumadi dan tujuan akhir setelah kematian (kasedan jati). Singkat cerita, Bima bertanya kepada gurunya Resi Durna mengenai hal itu. Lalu, Resi Durna memerintahkan Bima supaya mencari perwita sari di dasar samudera. Karena kesungguhan Bima, akhirnya ia bertemu dengan Dewa Ruci yang melambangkan sebagai guru sejati Bima.

Kesan Dan Cindera Mata

Pada pertemuan sosialisasi kebangsaan malam itu, Ki Handaka juga meminta kepada generasi muda, Zidna agar menjelaskan keikut-sertaannya dalam lomba jurnal ilmiah internasional. Zidna yang tak lain putri Dr. Teguh menginformasikan bahwa ia bersama kawan-kawannya yang berada di bawah bimbingan Sasana Budaya “Ngesthi Laras” telah mengikui lomba jurnal ilmiah mengenai fosil (benda alam) dan spiritualitas.

“Alhamdulillah, karya ilmiah kami telah mendapat respon dan tanggapan dari para juri yang kebanyakan bergelar profesor dari berbagai negara,” katanya syukur.

Sebelum diakhiri acara sosialisasi, Ki Wawan Susetya selaku tuan rumah memberikan beberapa buku karyanya kepada Sarmuji dan Sahat Simanjutak. Ki Handaka pun juga memberikan cindera mata berupa gana (fosil batu) berbentuk Ki Lurah Semar sebagai pamomong para Pandhawa.

Dalam kesempatan itu, Sarmuji dan Sahat pun juga memberikan bantuan n guna mendukung kelestarian seni-budaya yang dikelola Sasana Budaya “Ngesthi Laras”

 

o0o