Jejak Pelarian Pengikut Pangeran Diponegoro di Desa Desa Sidiarjo (2)

 

: ngablak siang Mashuri Alhamdulillah.

Apakah pengikut Pangeran Diponegoro melarikan diri ke Sidoarjo, memilih lokasi tak berpenghuni? Hmmm. Bisa jadi, beberapa pelarian eksponen Perang Jawa (1825—1830) bukan asal lari, bersembunyi dan menghabiskan sisa usia di sebuah tempat. Dimungkinkan, terdapat perhitungan tertentu, sehingga memilih tempat istimewa, kuyup wangi rembesing madu, sebuah istilah Jawa untuk menyebut masih berbau wangi masa lalu. Dengan kata lain, di antara mereka ada yang memilih lokasi yang memiliki sejarah panjang.
Asumsi saya tersebut bukan asal jeplak saja. Sebagaimana ngablak kemarin, Mbah Jenggot, salah satu prajurit Pangeran Diponegoro, yang menjadi cikal bakal Desa Jenggot, Kecamatan Krembung, bukan asal saja ketika ia memutuskan mukim di kawasan tersebut. Dari blusukan saya di sana, saya menemukan sebuah fakta menarik. Di sebelah utara Desa Jenggot, terdapat sebuah ‘genengan’ atau dataran yang lebih tinggi dari sawah sekitarnya, yang disebut Genengan Reco. Enam puluh tahun lalu, gunduk tanah di tengah areal sawah itu penuh dengan arca dan batu bata kuno.

Areal sawah seluas 30 meter persegi itu sejak dulu disebut Genengan Reco. Hal itu karena di sana dulu terdapat cukup banyak arca. Ada yang utuh, tetapi ada yang terpotong, baik itu tangan dan kepalanya, dan jumlahnya cukup banyak. Tentu saja, tidak ada daftarnya. Pada saat itu, kita masih sibuk dengan revolusi kemerdekaan. Ketika saya mencoba menerobos data di Leiden, ehm, saya juga tak menemukan catatan kolonial terkait dengan Generasi Reco tersebut.

“Saya tidak tahu jumlahnya, tetapi banyak yang tugel-tugelan,” terang Muhammad Sunarjo (69), sesepuh desa sekaligus ketua TPKD Desa Jenggot,

Yang menarik, bentuk arcanya adalah manusia, bukan buto atau raksasa. Dengan kata lain bahwa kasawan itu bukan semacam pintu gerbang atau gapura kuno yang biasa dihiasi dengan arca Dwarapala, tetapi dimungkinkan merupakan tempat pemujaan, karena berdasarkan kesaksian narasumber, arca yang ada berupa manusia, yang tentu saja mengarah pada arca dewa-dewa zaman klasik. Dalam rentang waktu cukup lama, kawasan Genengan Reco itu dikeramatkan dan dianggap angker, sehingga jarang yang berani merambahnya. Namun, sekarang tidak lagi. Selain arca-arcanya sudah tidak tentu rimba, api zaman pun sudah berganti.

“Dulu, tempat itu disebut wilayah terlarang, angker dan keramat. Sejak mbah-mbah saya. Soal keberadaan arca itu, kira-kira 60 tahun lalu, ketika saya masih kecil sampai lajang, arca-arca itu masih ada, tetapi sekarang sudah tak ada lagi,” tutur Sunarjo.

Ketika saya ke sana, memang tempat itu ‘tidak ada apa-apanya’. Saya tidak menemukan tilas arca sama sekali, meskipun ketika saya mendatanginya, saya bertanya kepada warga dengan kata kunci: reco. Hingga kini, warga masih sangat familiar dengan kawasan itu dan tidak asing sebagai kawasan yang bernama Genengan Reco.

Ternyata, bukan hanya soal arca saja di sekitar itu. Sawah-sawah di sekitar Generan Reco mengandung benda arkeologi luar biasa. Berdasarkan kesaksian Sunarjo, yang dibenarkan oleh Kasiyono, seorang warga, dan beberapa warga lainnya, sawah-sawah di sekitar genengan Reco sering ditemukan batu bata kuno. Bahkan pernah ditemukan pondasi yang tersusun dari batu-bata besar-besar.

“Saya menduga masih ada hubungannya dengan Candi Pari dan sezamannya. Bahkan, di sini diduga sebagai rumah perwira raja atau bekel,” tutur Sunarjo.

Bagaimana kalau sebuah candi? Hmmm. Tidak ada yang dapat memastikan. Namun, ketika saya bergeser sepelembaran batu ke utara, sekitar 200 meter, saya menemukan sebuah tempat unik bernama Panepen Nalacita. Di sana, masih ada sebuah pohon besar, tinggalan batu-bata kuno, batu kenong, dan lumpang. Dalam administrasi kekinian, kawasan itu masuk Desa Waung, Kecamatan Krembung. Sayangnya, saya tidak dapat mengetahui dengan persis hubungan Genengan Reco, Panepen Nalacita, dan Mbah Jenggot. Meski demikian, saya berasumsi, bahwa Mbah Jenggot mukim di sana, bukan asal mukim, tetapi melihat potensi kawasan itu yang masih punya tilas masa lalu.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Kraton, Kecamatan Krian. Sesuai dengan nama desa, yaitu Kraton, memang ada dugaan kuat bahwa di sana merupakan bekas berdiri kraton pada masa lalu. Hal itu dibuktikan dengan tinggalan masa lalunya, yang berserak di beberapa kawasan desa. Sahdan, banyak warga yang menemukan pondasi dari batu-bata kuno, serpihan bata kuno, dan sumur kuno di sawah garapan mereka.

“Desa ini disebut Kraton, mungkin karena ada orang yang menemukan pecahan batu bata atau bata utuh di sawah meraka, juga sumur kuno, yang dianggap sebagai kraton zaman dulu, sehingga desa ini disebut dengan Kraton. Di sawah-sawah, memang pernah ditemukan batu bata yang tertata, tetapi bukan candi. Meski demikian, adanya kraton itu juga masih perkiraan saja, karena belum ada penelitian,” tutur H. Abd Rohim Cholil, biasa disapa Abah Modin, sesepuh setempat yang lahir di Kraton, 5 Maret 1940.

Selain tinggalan arkeologis tersebut, yang unik, di desa yang terdiri atas empat dusun yaitu Sidowaras, Sidomukti, Kraton dan Parengan tersebut juga ada kisah penting terkait pelarian perajurit Pangeran Diponegoro, eksponen Perang Jawa. Tak heran, meski tinggalan arkeologisnya mengarah pada zaman Majapahit, tetapi sejarah Desa Kraton yang tercatat masih muda. Hal itu karena peran pelarian pengikut Diponegoro tersebut bukan sekadar lari, tetapi dianggap sebagai pendiri desa. Bisa jadi demikian, karena mereka dekat kekuasaan Jawa, di Mataram baru, yang pada masa-masa itu memang sebagai pusat peradaban baru. Adapun beberapa desa lain di Jawa, banyak yang sudah tersapih dengan budaya lama karena keterputusan pewarisan dan gagap dengan yang pengetahuan baru yang berkembang. Maklum, zaman penjajahan. Tapi itu asumsi saya lho! Ehm!

Sementara itu, terkait dengan peran pengikut Pangeran Diponegoro di Desa Kraton, menurut Edi Suripto (65 tahun), carik atau sekdes Desa Kraton, tak dapat dipisahkan dari sejarah Desa Kraton karena mereka terbilang sebagai cikal bakal. Ditegaskan, pendiri Desa Kraton adalah para murid dan pasukan Diponegoro yang melarikan diri usai terjadinya perang yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Kedua murid yang sampai ke desa tersebut bernama Truno Joyo dan Truno Menggolo. Para murid itu tidak mau menyerah pada Belanda, setelah Pangeran Diponegoro tertangkap pada 1830.

“Mereka melarikan diri dan mendirikan desa bernama Kraton,” tegas Edi Suripto.

Saya sempat terdiam. Mengingat nama desa bernama Kraton, dimungkinkan desa sudah ada sebelum kedatangan kedua pengikut Pangeran Diponegoro. Hal itu mengingat terdapat beberapa nama desa Kraton di Jawa Timur. Selain di Sidoarjo, di Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan kawasan lainnya, juga ada desa bernama Kraton.

Namun, pernyataan carik desa itu dibenarkan Abah Modin bahwa Desa Kraton memang didirikan oleh pasukan Diponegoro, Mbah Truno Joyo dan Mbah Truno Menggolo. Menurutnya, keberadaan nama desa yang sama di beberapa dimungkinkan adanya saling berhubungan dan didirikan oleh orang-orang yang masih memiliki kekerabatan pada masa lampau. Dengan kata lain, menurut pria yang ditokohkan masyarakat setempat itu, disebutnya nama desa dengan Kraton karena pendirinya berasal dari Kraton Jawa. Bukankah Pangeran Diponegoro adalah bangsawan Jawa, masih rembesing madu dan berbau kraton?

“Saya merupakan salah satu keturunan dari pendiri desa ini,” tutur Abah Modin.

Entah mana klaim yang benar, yang jelas, di Desa Kraton memang terdapat tinggalan arkeologis yang dimungkinkan semasa dengan Majapahit. Dugaan saya, pelarian Mbah Truno Joyo dan Mbah Truno Menggolo, yang merupakan nama alias atau nama gelar pada masa Perang Jawa, ke arah timur tidak sekadarnya. Mereka memilih tempat, tidak asal menetap, untuk meneruskan hidupnya di tempat baru. Dengan kata lain, mereka juga mempertimbangkan masa lalu kawasan yang dijadikan sebagai tempat untuk mukim dan beranak-pinak. Hal itu berlaku terutama untuk pengikut Diponegoro yang memiliki daya linuwih.

Sementara itu, dipandang dari sudut pandang toponim, yakni pelacakan asal-usul tempat atau daerah dari kata pembentuknya, nama Desa Kraton menunjukkan sebuah tempat yang dulunya menjadi tempat raja atau ratu tinggal. Apalagi mengingat mengingat tipologi desa-desa di sekelilingnya sekarang dalam batas administratif, yaitu Desa Krian, yaitu adanya Dusun Krajan dan Dusun Magersari, yang dalam kacamata toponim menunjukkan kelengkapan ruang dari sebuah istana kerajaan tempo doeloe, pada era klasik. Apalagi berdasarkan sebuah info tertulis bahwa seorang keturunan raja Majapahit, Ratu Indhu Bhre Lasem, dikabarkan pernah tinggal di Kraton Kriyan.

Demikianlah! Cik seriuse, Rek! Uhui!

MA
On Sidokepung, 2021
Ilustrasi: Genengan Reco dan batu bata kuno di Panepen Nalacita. Jepretan sendiri.