Jejak Pelarian Pengikut Pangeran Diponegoro di Desa Desa Sidoarjo!(1)

 

: ngablak pagi Mashuri Alhamdulillah.

Di Jawa Timur, bila berbicara tentang pelarian pengikut Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825—1830), selalu mengarah ke Gunung Kawi, di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Pasalnya, di sana, merupakan pusara Mbah Djugo, yang bernama asli Kiai Zakaria III, cucu Diponegoro.

Hal itu dapat dimaklumi karena Mbah Djugo yang sebelumnya mukim di kawasan Kesamben, Blitar dalam perjalanan penyamaran dan pelariannya, demikian legendaris, meskipun pikiran orang selalu mengarah ke soal pesugihan begitu menyebut Gunung Kawi.

Namun, pengikut Diponegoro yang melarikan diri di Malang tidak hanya Mbah Djugo semata. Bahkan, banyak desa-desa didirikan oleh pengikut Pangeran Diponegoro, termasuk di kawasan Malang Raya. Salah satunya yang kondang adalah Batu, kota wisata yang terkenal dengan ikonnya apel. Asal-usulnya berasal dari akronim nama pengikut Diponegoron yang menyepi dan menjadi tokoh di sana, yaitu Mbah Wastu.

Usut punya usut, jejak pelarian pengikut Diponegoro tidak hanya di kawasan Malang, yang daerahnya bertopografi berbukit-bukit dan cocok sebagai tempat bersembunyi. Ternyata di Sidoarjo, beberapa pengikut Diponegoro meninggalkan tilas luar biasa di beberapa desa.

Oleh karena itu, dalam kesempatan asolole ini, akan ditelusuri beberapa desa di Sidoarjo yang menyimpan jejak pelarian pengikut Diponegoro, terutama terkait dengan sejarah desa, ketokohan mereka, dan beberapa pusara mereka. Tentu saja ngablak sekadarnya ini berdasar tradisi cangkeman, dan berbeda dengan penelusuran Bizawie (2019), terkait dengan jejaring ulama Diponegoro, dan disebut sebagai kolaborasi santri dan ksatria membangun Islam kebangsaan awal abad ke-19. Yeah, ngablak berikut ini tidak sedahsyat dan seraksasa penelusuran tersebut, hanya sebuah ikhtiar menghimpun kisah-kisah kecil di desa-desa yang juga kecil.

Mungkin yang lumayan ‘megah’ terkait dengan jejak pengikut Diponegoro di Sidoarjo adalah Masjid Al-Abror di kampung Kauman, yang sering disebut dengan masjid tiban. Masjid tersebut termasuk masjid tertua di Sidoarjo, meskipun terdapat beberapa versi terkait dengan pendirinya. Sebuah versi menjelaskan bahwa yang mendirikan masjid tersebut adalah trio Mbah Mulyadi, Sayid Salim dan Mbah Muso.

Nah, tokoh yang terkait dengan pengikut Pangeran Diponegoro adalah Mbah Mulyadi. Menurut sesepuh Kauman, Mbah Mulyadi, adalah salah satu prajurit Diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang pada 1830, ia menyingkir ke arah timur, menghindari kejaran Belanda. Selanjutnya, Mbah Mulyadi menyamar dan berdiam di kawasan kampung Pandean dan Kauman, Sidoarjo.

Sahdan, bersama tokoh Kauman yang sudah ada, yaitu Sayid Salim dan Mbah Muso, Mbah Mulyadi ikut mendirikan tempat peribadatan sederhana, yang konon dibangun dalam waktu semalam, sehingga disebut masjid tiban, dan kini disebut dengan Masjid Al-Abror. Makam Mbah Mulyadi dan kedua tokoh tersebut berada di belakang masjid, yang dulu sekompleks dengan alun-alun dan pusat pemerintahan Kadipaten Sidoarjo tempo doeloe, meski kini berdampingan dengan pertokoan dan sebuah departemen store besar.

“Tetapi, ada versi lain terkait dengan Mbah Mulyadi, Mas. Ada yang menyebut beliau itu adalah ulama Mataram yang bersekutu dengan Giri Kedaton akhir karena berseberangan dengan penguasa Mataram yang menyerang Giri. Ada pula yang menyebut beliau itu seorang pedagang,” tegas sebuah sumber aseli Kauman.

Lain Mbah Mulyadi, lain pula dengan Mbah Jenggot. Yeah, tokoh yang satu ini hanya disebut dengan Mbah Jenggot saja, karena diyakini semasa hidupnya memiliki ciri khas: jenggot panjang. Meski nama aslinya kabur, tetapi ciri khasnya tersebut diabadikan menjadi nama desa, yaitu Desa Jenggot, termasuk Kecamatan Krembung. Bahkan, di kalangan masyarakat desa, Mbah Jenggot disebut sebagai cikal-bakal atau sesepuh pendiri desa tersebut.

“Dinamakan desa ini dengan Jenggot karena yang babat alas desa ini orangnya berjenggot, sehingga namanya pun disebut Mbah Jenggot,” tutur Kasiyono, pria kelahiran 1953, warga setempat.

Banyak warga yang tidak mengetahui asal-usulnya, tetapi menurut Kasiyono, Mbah Jenggot masih ada hubungannya dengan Mbah Djugo, yang dimakamkan di Gunung Kawi, seperti yang sudah disebutkan. Bahkan narasumber tersebut menjelaskan bahwa Mbah Jenggot lebih tua dari Mbah Djugo. Dengan demikian, Mbah Jenggot adalah salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Tentu saja, sumber yang diacu adalah sumber lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut. Sebagaimana tradisi tutur desa-desa di Jawa, salah satu bukti keberadaan sang tokoh adalah keberadaan makamnya.

Adapun makam Mbah Jenggot berada di kompleks makam umum Desa Jenggot. Namun, karena ada hal khusus, beberapa sumber menyebut posisi tepatnya makam Mbah Jenggot secara berbeda, meskipun sebagian besar warga menyebut bahwa posisi formal makam Mbah Jenggot tepat berada di tengah makam desa. Menurut Muhammad Sunarjo (69), sesepuh desa sekaligus ketua TPKD Desa Jenggot, sebenarnya makam Mbah Jenggot berada di pojok barat daya.

“Makam di situ seakan tidak mau dikeramatkan dan diberi tetenger, karena setiap kali diberi nisan, nisannya selalu hilang,” tutur Sunarjo.

Hmmm. Mungkinkah karena semasa hidupnya ia melakukan penyamaran sehingga sudah wafat pun tidak ingin dikenali? Entahlah. Selain Masjid Al-Abror dan Desa Jenggot, terdapat beberapa desa di Sidoarjo yang menjadi tilas persembunyan dan pelarian para pengikut Pangeran Diponegoro. Mudah-mudahan dapat segera disambung, Coy!

MA
On Sidokepung, 2021
Ilustrasi  Sisa-sisa gapura utara Masjid Al Abror lama.