Asal Usul dan Pantangan Orang Krian

 

: ngablak dalu Mashuri Alhamdulillah.

Sejarah masa lalu Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, demikian menjulang. Sayangnya, tinggalan masa lalunya kocar-kacir. Nisan dan bata kuno raib tak tentu rimba. Tak heran, banyak orang yang tidak mengetahui masa lalu kota kecamatan ‘pusat perdagangan’ yang terletak di posisi strategis, persimpangan menuju kota-kota di Sidoarjo barat ini. Bahkan, ketika saya bertanya perihal asal-usul nama Krian, yang bungkam pun berjamaah. Seorang sesepuh yang saya temui pun hanya menjawab dengan berseloroh bahwa Krian berasal dari yang enak-enak. Konon, bermula dari bahasa Jawa, berupa kirata basa ‘keri-keri nanging doyan’, artinya geli-geli tapi doyan. Ups! Asolole, Coy!

Akhirnya, saya pun memasu hal-ihwal berdasarkan tradisi cangkeman yang berlaku di kawasan Krian tempo doeloe. Dari sinilah saya memperoleh ‘dongeng’ masa lalu yang luar biasa. Ada yang berupa kilasan kisah tokoh, pantangan, anjuran, dan lain sebagainya, yang menjadi semacam aturan tidak tertulis atawa keyakinan di kalangan masyarakat Krian masa lalu. Saya pun yakin bahwa masih banyak hal belum terungkap dalam ngecemes saya yang ala kadarnya ini.

Krian merupakan desa/kelurahan yang naik pangkat menjadi sebuah kecamatan. Sebagai desa, Krian terdiri atas beberapa dusun, yaitu Krian, Krajan, Magersari, Jagalan, dan Gresikan. Ada dugaan kuat kawasan Krian pernah menjadi pusat pemerintahan kuno. Agar dugaan itu agak mengarah sasaran, saya pun menelusurinya lewat toponim. Ternyata, Krian berasal dari kata Jawa Kuna: ‘kryan’. Kata itu memiliki arti cukup banyak, yaitu sang puteri atau orang besar atau berpangkat. Ada nama dusun-dusunnya (sekarang RW, karena Krian adalah kelurahan), yang mengarah pada dugaan tersebut, yaitu Krajan dan Magersari, meskipun Krajan disebut pula sebagai nama dusun utama dari kompilasi beberapa dusun. Namun, dugaan itu tetap kuat. Pasalnya, desa tetangga Krian bernama Desa Kraton. Selain itu, ada pula sebuah makam sesepuh Krian yang disebut sebagai Punden Mbah Puteri. Sayangnya, tidak ada catatan tertulis sama sekali. Cangkeman semua.

“Terdapat dua punden yang dikeramatkan di desa ini, yaitu Mbah Puteri, di belakang Balai Desa, di tepi Jalan Magersari dan Mbah Waru di tengah Pasar Krian,” tutur R. Soetanto (70 tahun), pensiunan Lurah Desa Krian, 2 Februari 1995—Januari 2001.

Dituturkan, di makam Mbah Puteri, dulu berdiri pohon beringin besar, tetapi sekarang sudah tidak ada. Bahkan, ada sebuah realitas lain yang menarik. Makam Mbah Puteri terletak di Dusun Magersari, yang berarti adalah tempat tingga puteri raja atau pembesar tempo doeloe. Adapun yang hilang dari situs itu tidak hanya beringin saja, tetapi juga beberapa artefak lain yang penting.

“Dulu, di areal punden atau makam Mbah Putri itu banyak makam. Lokasi itu sudah digunakan sebagai makam jauh sebelum jalan Magersari dibangun (nama jalan di depan makam Mbah Puteri, red.). Makam-makam itu punya nisan yang besar-besar dan tinggi, tetapi sekarang sudah tidak ada, hilang,” tutur Soleh (59 tahun), juru pelihara Punden Mbah Puteri. “Karena itu, ada yang bilang, nama makam yang diyakini sebagai Mbah Puteri adalah Mbah Surowono. Jadi laki-laki, bukan perempuan seperti yang diyakini orang. Namun, di sini dulu, memang banyak makam,” lanjutnya.

Hmmm. Terlepas soal itu, terdapat beberapa keyakinan unik di Krian. Keyakinan yang berbau pantangan ini berlaku untuk orang khusus. Konon, bagi para pejabat di Krian dipantangkan untuk melayat orang mati. Jika melayat pun memiliki protokol tertentu, yang disarankan tidak dilanggar, karena berbahaya. Seperti protokol kesehatan sajah! “Boleh melayat orang mati, tetapi jika di kuburan harap di luar kuburan saja. Perlu diketahui, bila ada orang mati, biasanya 1—4 baru berhenti. Diyakini, jika diterjang, jabatannya pendek,” tutur R Soetanto.

Selain itu, ada pula pantangan bagi kalangan khusus yang agak berbau cihui. Menurut Soetanto, bagi pejabat, orang kaya, berpengaruh, agar tidak ‘melirik’ janda atau bermain perempuan. Soetanto menegaskan, contohnya sudah banyak. Jika sampai melakukannya, orang bersangkutan akan kehilangan yang ia punya. Jika pejabat, hilang jabatannya; jika kaya, hilang kekayaannya; jika berpengaruh, hilang pengaruhnya. “Hal itu karena danyang Desa Krian itu perempuan, maka orang yang hebat di sini tak boleh macam-macam sama perempuan. Buktinya seabrek,” tegas R. Soetanto.

Selain itu, ada pula semacam paugeran atau keyakinan lama, biasa disebut gugon tuhon, yang bersifat umum. Diyakini, orang Krian pantang menikah dengan orang Kraton, karena kedua desa tersebut rebutan tua. Sebagaimana yang sudah disinggung, hal itu karena di Krian diyakini merupakan pusat sebuah kerajaan kuno. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa Krian termasuk kawasan penting pada masa Majapahit. Ada sumber yang menyebut bahwa Krian dulu berada di bawah Kadipaten Terung, yang pusat pemerintahannya berada di Desa Terung, kini termasuk desa di bawah Kecamatan Krian. Jaraknya juga sepelemparan batu. Adipati Terung bernama Raden Husen, adik tiri Raden Patah yang berkuasa di Kerajaan Demak. Ada pula yang menyebut, Krian adalah sebuah Katumenggungan dan pernah berdiri sebagai pusat pemerintahan.

“Sepengetahuan saya, selalu saja ada jalan agar orang Krian tidak jadi berjodoh dengan Kraton. Sudah banyak contohnya,” lanjut sesepuh Krian.

Repotnya, perkembangan zaman memang sudah demikian dahsyat. Bisa jadi pantangan itu hanya sekadar pantangan. Lha, kalau sudah terlanjur jatuh cintrong sehidup semati, bagaimana? Saya sendiri ogah menelisik contoh yang dipaparkan oleh sesepuh tersebut, meskipun ia menyebutkan sambil menekuk jari-jari tangannya hingga habis. Namun, klaim sejarah Krian yang bersaing tua dengan Kraton memang dapat dibenarkan. Di Kraton terdapat cukup banyak tinggalan berupa batu-bata dan sumur kuno, seperti taklid pada nama desanya: Kraton. Di Krian, dulu juga banyak batu bata kuno. Sayangnya, kini tak dapat ditemukan lagi bekasnya.

Mungkin di antara masa lalu Krian, yang masih menyisakan catatan adalah Kelenteng Teng Swie Bio, yang berdiri sejak tahun 1902.
Apalagi kelenteng yang berdiri di perempatan dan dekat Masjid Jami’ Krian itu memiliki ciri khusus, karena satu-satunya kelenteng di Indonesia yang memuja Dewa Musik, Meng Lang. Tak heran, kelenteng itu dikenal dengan grup musiknya dan pada setiap perayaan Imlek dilakulan pencucian patung dewa tersebut. “Patung dewa musik di Kelenteng Teng Swie Bio di Krian merupakan satu-satunya di Indonesia,” tutur sebuah sumber.

Jreng! Demikianlah.

MA
On Sidokepung, 2021
Ilustrasi Punden Mbah Puteri. Jepretan sendiri. Kelenteng Teng Swie Bio dan patung dewa musik, ramban Google.